Setelah acara pernikahan selesai, Nora menyeret Tira ke kamarnya. "Jelaskan kenapa Jihan bisa ada di sini!" tuntutnya.
Tira berpangku tangan. "Kenapa? Takut?"
Nora mengangkat alisnya. Tira mungkin berharap dengan kehadiran Jihan akan membuat dirinya kalap. Sayangnya, sudah terlalu lama ia berlatih menggunakan akal sehatnya ketimbang emosinya. Bertingkah kekanak-kanakan bukanlah perbuatan seorang ratu. "Buat apa saya takut? Dengar, Tira. Saya memang bukan ibu kandungmu. Tetapi selama kamu berada dalam asuhan saya, saya tidak pernah mengajari Elara dan Arby menganggapmu sebagai kakak tiri. Bahkan, kasih sayang kami berlebih kepadamu hingga membuat adik-adikmu iri.
"Kalau kamu memang ingin membalaskan sakit hatimu pada saya, setidaknya gunakan otakmu. Heran, volume otakmu itu berapa cc, sih? Sudah sebesar ini kerangka berpikirmu masih amburadul. Kamu pikir dengan mengungkap siapa saya pada semua orang akan membuat saya jatuh? Tidak, Sayang. Ayahmulah yang lebih dulu jatuh. Reputasinya hancur, bisnisnya hancur, kamu pun harus siap-siap menjadi gembel karena selama ini tanpa ayahmu kamu tak bisa apa-apa.
"Bila selama ini saya diam, setelah ini jangan harap kamu bisa saya biarkan berlaku semena-mena. Kamu mungkin berpikir saya lunak, tetapi saya tidak bodoh. Kartu hidup dan mati bisnis ayahmu ada di tangan saya. Ingat itu baik-baik. Cukup satu kali kamu menghancurkan anak saya. Sekali lagi kamu keluar batas, jangan harap kamu bisa selamat!"
Tira mengepalkan tangannya erat-erat. Dirinya tertohok atas gertakan ibu tirinya, sama sekali tidak mengerti kartu apa yang dipegang perempuan itu untuk menghancurkan dirinya dan ayahnya.
***
Resepsi digelar keesokan harinya, masih di lokasi yang sama, sebuah hotel bintang lima. Desain serta dekorasi bertemakan rustic glam yang indah.
Semalam mereka juga menginap di sana. Setelah mengantar Elara masuk kamar, Angga pergi entah ke mana. Elara yang tidak ingin mencampuri urusan Angga langsung membersihkan diri lalu tidur. Spekulasinya berkata pria itu menghabiskan malam pengantinnya bersama Attaruna, sepupu incest–nya.
Keterlaluan sekali, bukan? Bukannya Elara cemburu atau sakit hati, tetapi adakah orang yang berhubungan sesama jenis dengan saudaranya sendiri? Ide tersebut terlalu menjijikkan baginya.
Semenjak dimulainya acara, ia sudah berganti gaun dua kali. Tamu undangan yang hadir banyak sekali, termasuk rekan-rekan kerja Elara. Resepsi juga dimeriahkan oleh atraksi panggung artis ibu kota. Elara sempat melihat beberapa kameramen yang berasal dari stasiun TV swasta menyorot ke arah pelaminan. Benarlah kiranya bahwa Angga cukup terkenal di media.
Malam menjelang, acara pun ditutup untuk para undangan dan digelar tertutup untuk keluarga besar. Gaun Elara berganti dengan gaun malam. Angga mengajak istrinya berkeliling dan memperkenalkannya kepada anggota keluarga yang belum sempat Elara temui.
"Ini Om Robert dan Tante Martha," kata Angga memperkenalkan istrinya kepada keluarga adik bungsu ayahnya yang berdomisili di Surabaya. "Ini anak-anak beliau, Dyota dan Martenz."
Dua remaja laki-laki bertubuh jangkung menyalami Elara dengan hormat. Elara membalas sapaan mereka dan duduk di meja tersebut beberapa menit lamanya untuk beramah tamah sebelum pindah ke meja lain.
"Saya sudah pernah cerita belum, Pakde Bima itu kembarannya ayah saya? Pakde yang paling tua," terang Angga menggandeng Elara ke meja lain.
Elara mengangguk. "Kembar tapi, kok, nggak mirip?"
"Kembar non identik. Sebenarnya lumayan mirip, tapi beda postur aja."
Elara tersenyum maklum. Pakde Bima memiliki postur tubuh ramping dan proporsional, sedangkan ayah mertuanya bertubuh tambun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quid Pro Quo (END - Terbit)
RomanceBosan didesak menikah oleh orang tuanya, Elara Soebagio Matthews memutuskan menerima perjodohan dengan Airlangga Emerald Gunardi dengan sejumlah persyaratan. Tidak akan ada cinta dalam rumah tangga mereka. Pernikahan itu hanyalah sebuah legalitas di...