18. Kemarahan Axel

187 22 29
                                    


HAPPY READING.

Hanya Bisa menjatuhkan air matanya di bawah hujan. Karena itu adalah cara terampuh agar tak ada yang menyadari jika dirinya sedang menangis.




Desember, 2004.

Tepat di bulan Desember, dimana Indonesia mulai memasuki musim hujan.

Waktu itu umurnya masih empat tahun ia ingat persis saat tubuh mungilnya di ikat di gendongan sang ibu.

Sedangkan tangan Belova di pegang erat oleh Mona.

Meraka berjalan, sembari mengemis di jalan dengan segelas air mineral yang sudah kosong untuk menjadi wadah, jika ada orang yang berbaik hati untuk memberikan uang receh yang sangat mereka butuhkan untuk makan.

Walau umurnya masih seperti itu, ia sudah sedikit paham dengan situasi yang terjadi.

Kakaknya Belova memegang perutnya yang lapar, sedangkan ibunya yang sepertinya menangis di bawah derasnya hujan. Tak terlihat karena air hujan sudah bercampur air mata, tapi bisa di lihat dari mata sang ibu yang memerah.

" Angan nangis. " Ujar Raina, tangan kecilnya berusaha menyeka air mata Mona. Mamahnya hanya tersenyum lembut, lalu mengambil tangan kecil itu kemudian mengecupnya.

" Sabar yang nak, pasti hari ini kalian dapat jatah makan. " Ujar Mona lembut sembari mengelus tangan mungilnya dan tak lupa satu tangannya lagi mengelus kepala Belova dengan sayang.

" Ayo mah, kita cari uang yang banyak lagi, buat beli susunya adik. " Ujar Belova melihat adiknya. Ia berusaha untuk mejinjit untuk mencapai pipi Raina untuk di ciumnya.

Terasa hujan semakin deras, akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh pada sebuah tenda yang sudah tak terpakai.

Wajah Raina dan Belova seakan pucat menahan lapar, di tambah lagi wangi soto si warung sebelah membuat perut mereka berbunyi.

" Aper. "

" Pengen soto mah. "

Ujar kedua anak itu.

" Tahan dikit lagi yah... Mamah cari makan dulu buat kalian berdua. Belova jaga adiknya. " Ujar Mona lalu berjalan pergi mencari makanan menerobos hujan yang makin deras.

Ia memasuki sebuah warung, ia menelan ludahnya kasar saat melihat beberapa orang menyeruput kuah soto panas.

Lamunannya buyar saat suara sarkas dari seorang ibu-ibu yang ia ketahui itu adalah pemilik warung itu datang menghampirinya.

" Ngapain di sini! " Sarkas pemilik warung itu.

Mona meliriknya takut-takut,"Saya beli nasi sama sotonya bisa bu?" Tanya Mona hati-hati , ia hanya memegang uang sekitar delapan ribu di tangganya. Berharap uang segitu bisa mencukupi perutnya dan kedua anaknya.

Pemilik warung itu terkekeh keras, membuat beberapa pengunjung itu menatap ke arah mereka berdua.

" Bu-buk, uang delapan ribu itu nggak bisa dapat nasi plus soto. Kalau ibu mau, bisa saya kumpulkan bekas sisa milik pelanggan saya. Atau makanan basi di belakang banyak kok bu." Ujar pemilik warung itu sambil terkekeh.

Mona menggeleng keras tak mau, ia memohon-mohon pada ibu itu agar mendapat nasi dan soto untuknya.

" Saya mohon bu, anak saya kelaparan. Tolong saya bu." Mohon Mona.

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang