CHAPTER 33

6.9K 490 41
                                    

Aku berteriak histeris sembari memeluk Zaki, anak bungsuku.

Ia memejamkan matanya dengan bibir yang sudah membiru serta tubuh yang terasa amat dingin.

Mas Bahar dengan tatapannya menatapku dengan amat dalam.

"Kamu apakan Zaki, Sania?! Kamu menumbalkannya lagi?" Ia menarik tanganku dengan kasar.

"Mas! Lepaskan! Sakit!"

"Bapak, jangan gitu, Pak!" Adrian tampak membelaku.

"Diam, Adrian!" bentak Mas Bahar padanya.
Mas Bahar berhasil menarikku dan Zaki kurebahkan pada sebuah dipan kecil.
"Mas, kamu apa-apaan? Zaki sudah meninggal!" bisikku padanya.

"Dan ini ulahmu, Sania! Aku akan menghabisimu sekarang juga!"

Ia terus menarikku ke dalam kamar, di sana sudah terpasang golok dengan ketajamannya yang akan menjadi bukti ia menghabisikku. Tapi, aku tak bisa diam, aku tak bisa mati tanpa menikmati harta yang sudah aku kumpulkan.
"Mas, sadar, Mas!" teriakku padanya.

"Apa?! Sadar? Kamu yang harus lebih sadar Sania, lima anakku sudah kamu renggut nyawanya dengan cara sadis seperti itu."
"Pasti pria tua itu bukan, yang telah menghasutmu! Dasar pria tua gila!!" timpalku.
"Kamu yang gila, Sania! Gila harta duniawi!"
Golok sudah terpasang tepat di tangan kanannya, tangan kirinya memegang tubuhku amat kuat.

"Mas, cukup, Mas!!" Aku memberontak agar bisa lepas dari genggaman tangan Mas Bahar.
Golok yang tajam sudah di depan mataku tepat sekali dileherku. Aku harus bagaimana ini?
"Rasakan, Sania!"

Aku menggeleng. "Tidak semudah itu!"
Perlahan Mas Bahar dengan memejamkan matanya serta golok yang mulai berjalan ke arahku tepat berada di leherku.

Namun, alih-alih ia akan menghabisikku, aku langsung memberontak dengan sekuat tenaga dan berhasil lepas. Mas Bahar yang lengah, wajahnya aku bungkam dengan bantal serta golok yang berada di tangannya aku rebut dengan paksa.

"Sania! Bunuh suamimu! Tumbalkan kepalanya!"
Entah siapa yang berbisik padaku.
Mas Bahar tampak ingin melepaskan dirinya, tetapi tiba-tiba tenagaku lebih besar dari tenaganya ia tak bisa lepas dariku.
Perlahan, tapi pasti, dalam hatiku terasa yakin sekali bahwa Mas Baharlah yang akan tewas di tanganku.

"Ibu! Ibu!" Teriakan Adrian menundaku untuk menghabisi nyawa Mas Bahar.
"Diam, Adrian. Ibu tengah siuk dengan bapakmu!"

Tak menunggu waktu lama, leher Mas Bahar aku sayat secara perlahan.

"Arrggh!"

Mas Bahar tak bisa berkata apa pun di saat tubuhnya mulai melemas, perlahan aku buka bantal yang telah membungkam wajahnya.
Wajah yang membiru dengan sorot mata yang menyoroti diriku.

"Apakah dia sudah mati?" gumamku.
Kudekatkan telingaku tepat di dada bidangnya. Aku menggeleng. "Seperti ia masih bisa sadar."
Aku kembali menyayat lehernya sampai terputus, aku berniat membungkus kepalanya dan aku simpan sampai ada petunjuk setelahnya.
Untuk bagian tubuh Mas Bahar, akan aku apakan? Buang saja? Ah, Mas Bahar memang seperti sampah!

"Makan saja tubuh suamimu! Akan menambah kekuatan serta terhindar dari semua bahaya yang akan menimpamu!" Lagi-lagi bisikan itu terdengar lagi.

"Siapa kamu?!" Aku melihat kanan dan kiri serta semua sudut rumahku. Namun, tak ada siapa pun di sana.

Kasurku sudah dipenuhi oleh darah Mas Bahar.
"Amis sekali!"

Darah kental terus mengalir dari bagian kepala Mas Bahar serta leher yang sudah terputus.
Buru-buru aku mencari kain untuk menutup bagian ini agar darah bisa berhenti.

Bajuku turut menjadi sasaran dari darahnya.
Kubungkus kepala Mas Bahar yang sudah terputus dengan kain putih serta kresek hitam menjadi penutupnya, tetapi baunya masih sangat terasa.

"Bagaimana ini? Harus aku simpan di mana agar tak diketahui oleh orang?"

"Kalau bagian tubuh Mas Bahar akan aku potong beberapa dan aku masukan ke freezer untuk bahan masakanku nanti."

"Tapi, keadaan Zaki sekarang bagaimana? Lebih baik aku keluar sekarang. Jasad Mas Bahar untuk sementara aku tutup dengan selimut."

"Adrian! Zaki di mana?" kulihat ia sedang menangis sesenggukan dipojok kamarnya.
"Zaki meninggal, Bu. Ibu lupa?" jawabnya lirih.
Aku meraihnya dan segera memeluknya dengan erat.

"Bapak di mana Ibu?" tanyanya dengan air mata yang terus mengalir deras.

Aku harus menjawab apa?

"Bapak sedang pergi," jawabku terbata-bata.
Alisnya menyerit. "Pergi? Pergi ke mana? Bukannya tadi di kamar dengan Ibu?"
Apalagi yang harus kujawab? Ia sangat kritis sekali.

"Iya, Bapak tadi pergi sambil berlari, jadi kamu tidak tahu," jawabku, semoga ia percaya.
"Aku ingin menyusulnya, Bu. Zaki harus segera dikuburkan." Adrian tampak ingin berdiri dan pergi meninggalkanku.

"Eh, Adrian, kamu mau ke mana? Bapak tidak akan pulang!" timpalku.

Ia menoleh dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Jadi, Bapak pergi ke mana?"
Aku menunduk lesu, tak tahu harus menjawab apa.

"Ibu, Bapak ke mana? Bapak tak boleh pergi, Bu," ucapnya lagi.

"Biarkan aku pergi ke rumah Pak Haji Rosadi, Bu. Biasanya Bapak pergi ke sana!" Ia terus berjalan. Namun, aku bangkit dan mencegahnya.

"Jangan, Adrian. Bapak tidak pergi ke sana! Nanti biarkan Ibu yang memberi tahu warga bahwa Zaki telah meninggal," ucapku pelan.

Tatapan Adrian tampak berbeda, ia tampak melihat dari atas sampai bawah ada keraguan di balik benak dirinya.

"Jangan berbohong, Bu!"
Aku menggeleng meyakinkan dirinya.

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang