Untuk Angkasa
Bahkan sang bintang pun tak akan pernah bisa menggantikan kamu sang bulan yang selalu ada disetiap malamku...
Walaupun awan menutupimu tapi hadirmu selalu terasa setiap kali aku membutuhkanmu...
Angkasa terima kasih karena sudah berse...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shanaya mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan, ketika dering ponselnya mengganggu tidurnya yang nyaman. Gadis itu mendengus kesal kemudian mengambil ponselnya diatas meja. Pukul 00.23. apa orang yang meneleponnya sudah gila. Tengah malam menganggu tidur seorang gadis sepertinya.
"Ngapain sih telepon tengah malam?!" Ucapnya mengangkat telepon tanpa melihat nama si pemanggil.
"Maaf mbak saya cuma mau nyampein, kalo yang punya hp ini kecelakaan tadi di perempatan dekat alun-alun. Mobilnya tertabrak truk sampai terpental."
Shanaya yang mendengar itu segera membuka matanya lebar-lebar. Ia merubah posisinya menjadi duduk kemudian melihat nama yang tertera dilayar ponsel.
Mama...
Seluruh badannya kini melemas. Tangannya bergetar hebat melihat sebuah nama yang tertera dengan jelas dilayar ponselnya. Air mata kini mulai mengalir membasahi pipinya. Ia menangis. Shanaya menangis antara tidak percaya atau percaya dengan nama yang ia lihat sekarang. Waktu benar-benar seperti berhenti detik ini juga.
Dengan mulut bergetar ia kembali menempelkan ponselnya pada telinga. Ia dapat mendengar suara diseberang sana memanggil-manggilnya dengan panggilan mbak.
"Sekarang mama saya dimana pak?" Tanyanya dengan mulai sesenggukan.
Setelah ia mendengar lokasi rumah sakit mamanya. Shanaya segera turun dari kasurnya dan berlari keluar kamar. Ia tidak peduli dengan muka bantalnya atau rambutnya yang sekarang pasti seperti singa ia sama sekali tak peduli.
"Bi!!! Bibi!!!" Teriak Shanaya menuruni tangga dengan terisak. Ia sekarang benar-benar takut. Ia takut kehilangan mamanya. Orang yang paling ia sayang. "Biii!!! Mama Bii!!!" Gadis itu mengetuk pintu kamar Bi Nanik kencang. Terlihat wanita paruh baya membuka pintu kamarnya setelah itu menatap anak majikannya khawatir.
"Ya ampun non Naya kenapa?"
Shanaya menggelengkan kepalanya cepat." Bi mama kecelakaan sekarang mama lagi dirumah sakit" ucapnya mencoba menahan isakannya.
Bi Nanik membulatkan matanya kaget menatap Shanaya yang kini juga menatapnya dengan sendu. Ia bisa melihat ketakutan dan kekhawatiran didalam mata anak majikannya itu.
"Kita susul nyonya sekarang ya non," ucap Bi Nanik yang langsung dibalas anggukan cepat oleh Shanaya.
Mereka melangkah cepat keluar rumah dengan perasaan campur aduk. " Non Naya sini dulu bibi cari taxi didepan gang bentar,"
Shanaya mengangguk sambil berusaha menelepon Angkasa. Ia butuh pertolongan Angkasa sekarang. Gadis itu sama sekali tidak tenang ia terus mondar-mandir gelisah dengan tangan yang sibuk menelepon Angkasa berulang kali. Tapi sama sekali tak ada jawaban dari laki-laki itu.
Shanaya menolehkan kepalanya kearah mobil yang mulai mendekatinya. "ayo non," Shanaya mengangguk cepat dan masuk kedalam mobil.
Disepanjang perjalanan Shanaya benar-benar tak bisa diam. Ia terus menggigit bibir bawahnya cemas. Begitu juga Bi Nanik disebalahnya. Wanita paruh baya itu hanya bisa merengkuh Shanaya untuk sedikit memberikan gadis itu ketenangan.
"Bi, Shanaya takut," ucapnya menutup mata dan memeluk Bi Nanik erat. Ia benar-benar takut kehilangan lagi untuk ketiga kalinya. Hanya mamanya yang ia punya. Ia tidak bisa membayangkan jika mamanya juga ikut meninggalkannya sendirian.
Bi Nanik mengelus rambut Shanaya pelan. Wanita paruh baya itu juga menutup matanya sebentar hingga bulir air juga ikut membasahi pipinya. Ia sudah bekerja lama dikeluarga Shanaya. Ia begitu tahu bahwa Dinar dan Shanaya adalah orang baik. Bahkan Dinar sudah menganggapnya seperti ibu. Begitu juga dengannya ia sudah menganggap Dinar sebagai anak dan Shanaya sebagi cucu.
Setelah sampai didepan rumah sakit Shanaya segera turun dan berlari menuju IGD. Sampai didepan sana ia dapat melihat seorang pria duduk dengan memegangi ponsel Dinar. Shanaya dengan cepat berjalan kearahnya.
"Bagaimana keadaan mama saya, Pak?" Tanyanya setelah sampai dihadapan pria tadi.
"Dokter masih melakukan pemeriksaan. Kamu pasti anaknya ya?" Shanaya mengangguk cepat kemudian beralih menatap pintu IGD dengan perasaan cemas.
"Ini hp sama tasnya, tadi semua barang ini jatuh didekat mobil jadi saya ambil," Shanaya menatap tas itu lama kemudian mengambilnya.
Ia menundukkan kepalanya sedikit ke pria didepannya. "Terima kasih, pak,"
Pria itu mengangguk prihatin kemudian memilih pergi dari sana. Ia rasa sekarang ia tidak perlu lagi ikut campur karena sudah ada keluarga yang datang.
Shanaya duduk di bangku panjang rumah sakit dengan tangannya yang terus memijat pelipisnya. Ia terus berdoa dalam hatinya supaya tidak terjadi sesuatu pada sang mama. Kemungkinan-kemungkinan yang akan ia dengar nanti benar-benar membuatnya pusing dan tak tahu harus bagaimana.
Bi Nanik yang dari tadi berdiri disamping Shanaya kini beralih posisi duduk disebelahnya. Tangannya mengelus punggung Shanaya pelan kemudian membawa tubuh Shanaya kedalam pelukannya.
"Non Naya harus kuat sama apapun yang terjadi nanti ya!? Yang harus non Naya lakukan sekarang hanya berdoa semoga nyonya baik-baik saja,"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.