Bab 1

8.7K 636 18
                                    

"Sudah tiga tahun tinggal di sini, belum paham juga?" wanita berusia 58 tahun menatap dingin pada sosok perempuan yang tak lain adalah menantunya.

"Maaf." dia Nurul Azmina, wanita dari keluarga sederhana yang dikatakan oleh orang-orang beruntung menjadi istri seorang pengusaha, merasa tidak ada yang salah dengan tatanan hidangan.

"Sudah kukatakan dari awal entah apa yang dilihat Bram dari kamu!"

Ami, si menantu menelan kalimat sinis mertuanya. Seperti kata ibunya, jangan memasukkan ke hati jika ada ucapan yang tidak berkenan.

"Surti!"

Ami tidak menahan ketika Cendana--ibu mertuanya--memanggil kepala pelayan, ia yakin tidak akan mendengar teriakan itu karena yang dimaksud ada di paviliun.

"Maaf Bu." bukan Surti tapi pelayan yang lain datang dengan tergopoh-gopoh dan menunduk  takut pada bu Cendana.

"Mana yang lain?"

"Di---"

"Kalian becus kerja nggak sih!" bukan hanya kalimat sinis tapi juga tatapan yang begitu tajam dilayangkan bu Cendana.

Ami sadar bahwa ibu mertua marah padanya tapi melampiaskan pada pelayan namun tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali diam.

Bu Cendana menatap muak pada Ami lalu berkata lagi. "Setiap hari kamu berteman dengan mereka, harusnya kamu bisa melakukan pekerjaan ini dengan mudah."

Sekali lagi Ami mengarahkan tatapannya ke meja mencari di mana letak salah dari susunan piring juga gelas yang diletakkannya dan ia juga belum melihat kesalahannya.

"Kamu!" Surti kembali ditunjuk. "Apa yang kamu lakukan ketika nyonyamu ke paviliun?"

Surti tidak berani mengangkat wajahnya.

"Kalian bercengkrama atau mengataiku?"

"Tidak mungkin Bu. Kami tidak berani melakukannya." Surti meremat tangannya, sekarang dia teramat takut.

Bu Cendana tersenyum sinis pada dua wanita yang berdiri di hadapannya, bukan hanya mereka tapi masih banyak pelayan lainnya yang diyakini mencibirnya dari belakang.

Ami punya alasan bertahan di rumah yang sangat besar itu tak lain adalah karena statusnya seorang istri juga ibu seorang putri sayangnya status sebagai istri mungkin hanya tertera di atas kertas. Ia tidak pernah menduga akan seperti ini disebabkan pada awalnya mereka menikah karena cinta, memasuki tahun kedua hingga sekarang hubungannya dengan sang suami mulai dingin padahal dia sedang berusaha mencairkan kekakuannya dengan ibu mertua.

Menikah dengan pria kaya raya yang cintanya cukup besar pada ibu memiliki konsekuensi, dari pertama suaminya sudah mengatakan mereka akan tinggal selamanya bersama sang ibu karena ibu mertuanya sudah lama menjanda ditambah sang suami anak semata wayang.

Walaupun tidak menyerang dengan kasar sikap dingin ibu jelas terlihat Ami diperlakukan berbeda di hadapan semua orang, yang lebih menyakitkan adalah ketika ibunya berkunjung dia tidak diizinkan untuk bertemu kemudian ia diberitahu bahwa keamanan anggota keluarga adalah hal yang paling utama. Jika ingin bertemu dengannya maka ibu harus menghubungi terlebih dulu seperti membuat janji setelah itu baru Ami diperbolehkan keluar dari rumah itu.

Semua perlakuan itu diterima Ami, ia masih dengan usahanya untuk memperbaiki diri agar layak dipandang sebagai menantu.

******

"Pilihanmu selalu bagus, terimakasih."

Mereka sedang makan malam ketika seorang wanita yang tak lain adalah asisten bu Cendana  tiba.

"Duduklah Elena, kita makan malam dulu." ibu tampak sumringah, tas-tas bermerek dengan warna gemerlap itu dititipkan pada seorang pelayan.

Elena wanita berpendidikan tinggi dan sudah menjadi asisten bu Cendana lebih dari tujuh tahun. Ada yang berbeda dari wanita itu dan Ami tidak pernah memberitahu suaminya mengenai sikap Elena karena tidak menganggapnya sebagai sebuah masalah.

Ia tidak sungkan menyapa Ami bila Bram ada di rumah tapi wanita itu akan bersikap dingin bahkan tidak peduli jika suaminya pergi.

"Boleh cerita apa yang kamu dapatkan dalam perjalananmu?"

Elena tersenyum amat manis. "Banyak, dan semuanya akan membuat Ibu bahagia."

Ami tidak tahu ke mana perginya wanita itu selama satu minggu, ia tidak pernah bertanya tidak juga penasaran.

"Entah bagaimana caraku mengungkapkan terima kasih untukmu." lalu bu Cendana tertawa.

Dulu Ami mempermasalahkan sikap ibu mertuanya itu tapi sekarang tidak lagi ia sudah terbiasa di perlakukan seperti itu. Awalnya terpaksa terlibat karena statusnya sebagai istri sekarang menjalaninya dengan lapang dada.

"Makan yang banyak, hindari minyak. Kulitmu terlalu halus untuk makanan itu."

Mungkin terdengar aneh atau tidak wajar pujian itu karena ditujukan pada seorang asisten, tapi sekali lagi itu terdengar biasa di telinga Ami juga pelayan yang lain.

Bagaimana dengan suaminya?

Ia sosok pria yang tidak pernah mempermasalahkan apapun, tepatnya Ami yang tidak pernah mengadu atau mengeluh karena itu tidak ada masalah.

"Aku menunggumu di ruang kerja, datanglah dengan kabar bahagia itu," kata ibu pada Elena lantas menatap putra semata wayangnya. "Istirahatlah, perusahaan membutuhkanmu setiap pagi. Jangan sibukkan diri pada hal-hal yang tidak penting."

Hal-hal yang tidak penting contohnya seperti apa?




Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang