.Selamat datang kembali di neraka, langkah Ami tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara hatinya. Rasanya menyakitkan setiap kali mengingat senyum simpul ibu mertuanya. Selama ini ia tidak pernah mengeluh atau mengadu perlakuan bu Cendana dan suaminya pada siapapun.
"Ada apa Bu, Ibu merasa pusing?" pelayan tampak khawatir dan sigap memegang lengan Ami.
"Aku ingin jalan-jalan dulu sebelum masuk."
Seperti ada yang menghalangi langkah Ami, sebelum masuk ke rumah itu ingin sekali dirinya mengeluarkan beban di hati setidaknya berteriak pada alam agar semesta tahu hal berat apa yang telah dilewatinya.
"Tapi Bu...." kalimat pelayan menggantung saat Ami kembali masuk ke mobil dan mau tidak mau pelayan itu mengikutinya.
"Jalan Hadimurtala." Ami menyebutkan sebuah tempat pada sopir agar mengantarnya ke alamat tersebut. Ami ragu apakah ada yang menunggu kepulangannya, hari ini jadwalnya pulang tapi tidak ada yang menjemput jadi pada pelayan ia meminta untuk dicarikan taksi saja.
Sudah berapa lama dia tidak melihat orang tuanya, mereka juga tidak bisa datang sesukanya untuk bertemu kadang-kadang dia menghubungi orang tuanya secara sembunyi-sembunyi tidak pernah sekalipun Ami menceritakan bagaimana keadaannya selamat tinggal di kediaman Cendana.
Sebuah rumah sederhana sudah tampak di mata Ami ragu untuk turun, matanya sembab ia takut orangtuanya khawatir.
"Sudah sampai."
Pelayan menatap Ami, ia juga melihat arah pandang wanita itu. "Ibu sudah sampai, kita turun sekarang?"
Iya, dia sudah tiba apa salahnya turun dan memeluk wanita yang telah melahirkannya? Ami tidak ingin merapikan penampilannya, ia harus siap jika ibu bertanya kenapa dirinya menangis dia juga akan mengungkapkan semua kebenaran yang selama ini disimpan rapat.
Setelah membayar Ami dan pelayan turun mereka masuk ke pekarangan rumah orang tuanya.
"Ami?"
Ibu memeluk Ami saking bahagia melihat putrinya pulang. "Baru saja Bram ke sini, lihat apa yang dibawakannya. Ibu sudah menolak loh tapi katanya dia tidak ingin ibu naik angkot lagi."
Dada Ami terasa remuk.
"Kamu pasti bahagia ya, Ibu tahu Mi. Ibu juga bahagia punya menantu seperti Bram."
Pelayan hanya bisa menatap iba istri majikannya, ia juga tahu seperti apa perasaan Ami tapi sama seperti Ami yang hanya bisa diam.
"Ayo masuk, ibu masak dendeng sapi. Bram makan banyak tadi."
Apa yang bisa dilakukan Ami jika ibunya sebahagia ini, rasanya sungguh tidak tahu diri bila memberitahunya keadaannya. Ami juga tidak tega memudarkan senyum wanita yang telah melahirkannya.
"Ngomong-ngomong kamu dari mana? Bram bilang kamu sibuk sekali belakangan ini ya. Ibu doakan Bram lolos di pemilihan nanti."
Ami terdiam.
"Ibu bahagia?"
"Tentu, selama kamu bahagia Ibu juga."
Dan Ami segera mengubah ekspresinya, ia tersenyum penuh pada malaikatnya, sakitnya tidak sebanding dengan senyum ibu Ami tidak akan menghancurkan hati ibu dengan mengatakan bagaimana sebenarnya perlakuan ibu mertua juga suaminya selama ini.
"Dia juga memberikan Ibu uang, Minggu depan akan ada tukang yang masuk. Dia ingin merenovasi rumah ini."
"Sebaiknya jangan Bu." Ami menyanggah dengan cepat. Ini rumah kelahiran dan kenangan masa kecilnya masih melekat kuat setiap kali pulang ke sini, mungkin dia tidak akan merasakan apapun jika rumah ini dirombak.
"Kenapa? Ibu tidak meminta Ami. Ibu hanya tidak enak menolak terus, dari dulu juga kan dia minta direnovasi."
Ami menggeleng. "Aku nyaman dengan rumah ini, sesekali aku pulang aku betah."
Ibu tersenyum. "Ibu mengerti, tenang saja. Foto-fotomu Ibu simpan dengan baik, lemarimu juga akan Ibu jaga."
Sama saja, Ami tidak setuju. "Aku, putri Ibu yang memohon, tidak bisa Ibu penuhi?"
Mungkin dari sekian banyak luka yang digoreskan oleh Bram dan keluarga laki-laki itu ia masih memiliki tempat pulang yang nyaman, di rumah ini masih tersimpan kenangan yang membuktikan bahwa Ami pernah bahagia.
"Apa yang harus Ibu katakan pada suamimu?"
Ami tidak ingin berpikir apapun yang menyangkut dengan laki-laki itu, lukanya belum kering dan dia baru saja kehilangan janinnya.
"Apa saja, buat dia mengerti."
Mungkin sedikit terlambat ketika ibu menyadarinya, dengan ragu wanita itu bertanya. "Apakah terjadi sesuatu?"
"Tentu tidak," jawab Ami memaksakan senyumnya agar terlihat natural. "Aku ikut senang Ibu dihadiahkan mobil oleh papa Nahla, rencana kami di akhir tahun nanti tapi syukurnya ada rezeki."
"Alhamdulillah kalau begitu." ibu terlalu yakin bahwa keadaan putrinya baik-baik saja, ia tidak masalah jika Ami jarang berkunjung dan ibu juga tidak pernah mempermasalahkan tentang mertua putrinya yang menjaga jarak dengannya. Selama mereka baik pada Ami beliau sudah bersyukur.
"Ibu maklum kesibukanmu sebagai istri direktur, Bram sering bilang kalau ada waktu akan mengajakmu bersama."
Dia sering datang? Ami tidak memahami sikap Bram, untuk apa dia sering datang ke rumah orangtuanya dan kenapa pria itu tidak memberitahunya? Ingin sekali Ami bertanya apakah Bram pernah meminta sesuatu atau menekan orang tuanya tapi pikiran itu menetap di kepalanya, Ami tidak mungkin bertanya soalan itu.
"Ami." ibu menatap harap pada putrinya. "Saat kamu mengatakan ingin menikah dengannya Ibu yakin Bram akan menjagamu dengan baik, sekarang Ibu melihat buktinya. Ibu ingin minta berbaktilah pada Bram, lakukan apa yang bisa menyenangkan suamimu."
Ami mengangguk, sementara hatinya merintih. Tuhan, aku baru saja kehilangan janinku atas perbuatan keji ibu mertua, sayang sekali aku tidak bisa mengatakan apa-apa pada ibu. Aku yakin, suamiku juga bertepuk tangan dengan keadaanku sekarang.
******
"Dari mana kamu?"
Pelayan yang menuntun Ami hingga ke kamarnya telah turun kembali seperti permintaan wanita itu.
"Rumah ibu."
"Kamu tidak meminta izin ku?"
Sejak Ami bangun ia tidak melihat suaminya hingga dokter memperbolehkannya pulang laki-laki itu juga tidak datang. "Tidak ada Mas di sana."
"Kamu lupa aku pernah melarangmu ke sana?"
Ami tidak sanggup berdiri lagi ia juga tidak ingin berpikir apapun karena inginnya sekarang adalah berbaring walaupun tidak akan membuatnya nyaman.
"Aku ingin memeluknya setidaknya masih ada orang yang memperhatikanku."
"Jadi kamu mulai membantah?!"
Ami baru saja ditimpa musibah, yang kehilangan adalah daging mereka tapi kenapa hanya dirinya yang merasa sedih?
"Boleh aku tahu satu hal?"
"Ami!" Bram tidak ingin dibantah.
"Apakah Mas yang menyuruh ibu menyeretku di tangga?" tenang dengan mata lurus menatap dinding Ami bertanya, ia enggan melihat wajah Bram. "Sekarang Mas senang kan, aku harus mengucapkan selamat karena keinginan Mas terkabulkan?"
Ami tidak tahu raut kaget Bram mendengar tanya wanita itu, yang diketahui olehnya adalah Ami terjatuh di kamat mandi.
"Jangan memfitnah ibu!"
Ami tidak menjawab lagi, terserah kalau suaminya tidak percaya percuma juga jika menyuruh laki-laki itu memeriksa CCTV karena nyonya Cendana pasti sudah melenyapkan bukti tersebut.
"Kamu tahu resikonya jika membohongiku Ami."
Iya Ami akan bersiap, selama ini dia memang diperlakukan kasar oleh Bram mungkin saja ke depannya dia harus menerima pukulan dari pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)
RomancePersoalan klise antara menantu dan ibu mertua ; Suami tak punya prinsip