Bab 10

2.3K 429 38
                                    

Jangan lupa Vote biar rutin up ya,
Komen juga, senang baca komen kalian 😂

Selamat membaca 😘

"Plak!"

Telapak tangan besar Bram menghantam pipi Elena, panas dan sakit bukan main dengan tamparan itu.

"Itu karena kecerobohanmu!"

Dan "Plak!" sekali lagi. "Kamu tahu betapa bodohnya aku di depan istriku?"

Malu pada Bram dan marah ditambah benci pada dirinya sndiri karena ini pertama kalinya mendapatkan tamparan dari laki-laki yang begitu dicintainya.

"Aku bahkan lupa bahwa kemarin sempat pulang."

Air mata Elena jatuh namun ia tidak tersedu, ini sangat memalukan.

"Berapa kali kukatakan jangan main-main denganku!"

"Maaf Pak."

"Apa yang kamu rencanakan hah?" Ingin sekali rasanya Bram mencekik wanita di depannya. "Seberapapun berharga kamu di depan ibu di mataku kamu tetaplah babu!"

Bu Cendana menghargainya? Jika memang benar begitu tidak mungkin sampai detik ini wanita tua itu masih membiarkan Ami ada di sini, hatinya berbisik getir.

"Kamu ingin aku mengatakan apa pada Ami, atau kubawakan saja kepalamu ke hadapannya?"

Desis nan tajam hampir tak terdengar sayangnya hanya ada dirinya di sana tidak mungkin Elena tidak mendengar.

"Maaf Pak." dengan suara bergetar Elena meminta maaf, ia ragu jika ancaman itu hanya candaan mengingat betapa murkanya ekspresi Bram.

"Aku membatalkan semua perjanjian itu. Dan kamu!" dengan telunjuk kiri Bram menunjuk wajah Elena. "Jaga jarak dariku!"

Elena ingin memohon tapi suaranya tidak keluar dan mungkin saja percuma, Bram sedang marah.

Selama ini dia sudah berusaha setia di sisi bu Cendana bahkan sebelum Ami hadir ke rumah itu Elena sudah menjadi orang kepercayaan orang tua Bram, dia melakukan semua yang diperintahkan oleh wanita bahkan kerja kerasnya selalu diselesaikan dengan sempurna. Lalu berapa tahun lagi ada yang harus menunggu?

Agenda akhir tahun dan sekarang perjanjian yang baru ditandatangani kemarin telah kandas, artinya Elena harus memulai dari nol lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari Bram. Atas segala situasi dia yang disalahkan, karena statusnya masih babu di hadapan Bram maka mau tidak mau dia harus menerima konsekuensi buruk ini.

Elena keluar dari ruangan Bram setelah diusir oleh laki-laki itu, ia sedang berusaha untuk menempati posisi tertinggi dalam keluarga itu tapi cukup banyak penghalang. Jika bukan karena Ami jalannya tidak akan banyak sandungan seperti ini.

Sementara di rumah Ami mulai penasaran dengan ruang kerja suaminya, ada apa di sana sampai Bram tidak mengizinkannya masuk. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh laki-laki itu darinya?

Seharian di kantor, jawaban yang mendasari rasa penasaran Ami. Ia berada tepat di depan pintu ruangan kerja Bram, untuk bisa masuk ke sana Ami harus mengetahui sandi pintu tersebut.

Ami tidak ingin memikirkan hal kotor sebelum dia melihat buktinya dengan mata kepala sendiri. Alasan yang mendasar, pertama Elena adalah orang kepercayaan ibu mertuanya bisa saja Bram memberikan pekerjaan tambahan untuk wanita itu namun demikian Ami tetap akan mencari tahu

Suara ibu mertua membuat Ami bergegas pergi dan kembali ke kamar, benar bu Cendana sedang mengetuk pintu kamarnya.

"Ada apa?" Ami tidak dekat dengan ibu mertuanya karena memang wanita itu menjaga jarak dengannya selain tidak menyukainya ibu mertua juga tidak sungkan memarahi Ami tanpa Ami tahu kesalahan yang dilakukan.

"Bram pasti sibuk jadi aku sendiri yang akan mencari tahu soal kebenaran kondisimu."

"Aku akan pergi dengannya sore nanti." begitu kata Bram. "Papa Nahla sudah membuat janji temu dengan dokter."

"Aku tidak ingin menunggu lama." bu Cendana menyuruh Ami bersiap.

"Aku hanya ingin pergi dengannya."

"Ami!" bu Cendana benci karena harus menyebut nama wanita itu. "Kamu perlu kuseret?!"

"Ibu." Ami menatap dengan penuh permohonan. Tidak ada pilihan yang tepat, baik pergi dengan ibu mertua maupun suaminya karena mereka sama-sama kejam dan Ami tidak bisa menebak seperti apa nanti perlakuan terhadapnya jika mereka mengetahui dia hamil.

"Cepat!"

Ami sudah berusaha mengelak tapi bu Cendana berhasil menarik lengannya dan menarik dengan kuat, karena tarikan kasar kaki Ami tidak bisa menginjak tangga pertama alhasil tubuhnya terpelanting dan berguling jatuh hingga lantai bawah.

Kepala Ami membentur sudut tangga terakhir ia tergeletak di lantai sebelum matanya terpejam ia sempat melihat senyum simpul di sudut bibir ibu mertuanya.

******

Dan benar, Ami hamil sayangnya dia harus mengetahui saat dirinya keguguran, sekarang di rumah sakit ia ditemani oleh salah satu pelayan.

"Aku ingin melihat Nahla." air mata Ami menitik di sudut matanya, dia tidak bisa melawan kekejian ibu mertua hingga kandungannya menjadi taruhan.

Pelayan ikut simpati melihat keadaan Ami, status mereka berbeda tapi keadaannya sama yaitu sama-sama bisa menyuarakan keinginannya.

"Mana HP ku?" suara Ami masih sangat lemah, entah sudah berapa hari dia dirawat Ami tidak bertanya, hanya Nahla yang ingin dilihatnya.

"Ini."

Ami menerima dan mencari kontak Bram. Apakah selama dia dirawat pria itu datang ke sini? Rasanya tidak mungkin, Bram orang yang sangat sibuk.

"Tidak ada jawaban?" tanya pelayan itu saat Ami mengembalikan ponselnya.

Ami menggeleng.

Harusnya wanita yang sudah bersuami ada yang melindungi tapi buktinya tidak, ia malah takut berhadapan dengan Bram apalagi jika laki-laki itu sedang marah. Mungkinkah Bram dan ibunya bersekongkol membuat keadaannya seperti ini? Ia ingat kata-kata Bram malam itu bahwa jika dirinya hamil maka pria itu akan melakukan tindakan.

Apakah ini tindakan yang dimaksud?



Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang