Bab 3

2.3K 419 18
                                    

Jangan lupa vote :)

🔥

Jika ada yang bertanya pada Ami, apakah selama 28 tahun ini pernah bermimpi buruk? Jawabannya tidak. Dibesarkan oleh kedua orang tua dengan penuh kasih sayang walaupun berasal dari keluarga sederhana hidupnya bahagia, tidak pernah ada kejadian buruk yang menimpanya begitu juga dengan orang tua.

Begitu menikah kehidupannya berubah, yang tadinya baik-baik saja kini menjadi luar biasa.

"Aku butuh krim." luka di telinga belum juga mengering, Ami meminta salap pada dokter pribadinya.

"Padahal luka ini perlu dirawat." Meriska menatap prihatin pada istri Bram.

"Aku belum mendapatkan izin keluar." Ami menyuruh Meriska mengambil krim yang dimaksud.

"Baiklah."

Baik pelayan maupun dokter pribadi berada di pihak Ami tapi mereka tidak sanggup melawan keluarga besar Cendana dan tidak pernah berpikir untuk melawannya.

"Oleskan saat mau tidur saja, krim ini akan mempercepat penyembuhan luka."

"Terimakasih."

Ami keluar dari kamar Meriska, kamar yang digunakan wanita itu setiap bekerja. Ada seseorang yang melihat Ami dengan tatapan dingin dan senyum mengerikan, ia tampak puas dengan keadaanku to iz yang menimpa Ami tapi kesal karena kepergian Ami dengan Bram dua hari yang lalu.

Elena, dialah wanita itu. Ia sudah berusaha keras dan melihat hasil bahwa selama ini Bram sudah jarang mengajak Ami pergi ke acara besar. Selama dua tahun ini dia yang sering mendampingi Bram ke manapun laki-laki itu pergi, sekarang tidak apa-apa jika Bram masih memperkenalkannya sebagai asisten utama, lihat saja ke depan.

Kembali ke kamar Ami melihat pantulan diri, ia memang cantik bukan hanya Bram, orang lain juga mengakuinya baik dari kalangan pria maupun wanita. Kecantikan hakiki yang telah membuat hidupnya menderita seperti ini.

"Apa yang kamu lihat?"

Ami terkejut dengan kedatangan suaminya. Bram jarang pulang siang hari, apakah terjadi sesuatu?

"Masih seperti dulu, wajah yang menarik." dikatakan dengan nada merendahkan. "Menggoda mungkin?"

"Aku tidak seperti itu."

"Nyatanya kamu menerima lamaranku."

"Aku baru tahu Mas dari keluarga seperti ini."

Seperti ada yang menusuk jarum di kepala Bram sigap ia mencengkeram dagu Ami. "Apa maksudmu keluarga seperti ini?"

Ami kesulitan menjawab karena cengkeraman tangan pria itu.

"Jawab!"

Bagaimana caranya menjawab? Rahangnya ikut sakit karena cengkeraman itu.

"Kurang apa hidupmu sekarang, status sosialmu di atas rata-rata kamu juga terpandang."

Benar, sekarang semua orang mengenal Ami. Bukan dia yang mengenalkan dirinya ke publik tapi keluarga Cendana. Di luar ia begitu diagungkan oleh keluarga suaminya seolah mereka sangat menghormati padahal kenyataannya jauh dari keadaan yang dipamerkan itu.

Perlahan cengkeraman itu lepas dan tatapannya juga berubah, ia ingat alasannya pulang adalah karena menginginkan sesuatu.

Karena dipaksa Ami harus mendesah meliukkan tubuh seolah menikmati sentuhan suaminya, itu dilakukan agar Bram tidak menyiksanya. Sebagai wanita dewasa tentunya gairah itu muncul karena buaian yang terlalu lama tapi akhirnya menyakitkan, Bram menghempaskannya begitu saja tanpa ingin menuntaskan dan tidak mau tahu batin Ami.

Lahir batin di siksa dan itu sudah berlangsung selama dua tahun dan selama itu pula Ami tidak tahu bagaimana cara suaminya menyelesaikan masalah batinnya itu.

Jangan menyinggung harga diri karena di rumah itu Ami tidak berhak untuk itu. Kadang dia tidak kasat mata bagi penghuni di sana kadang pula dianggap sampah, Ami tidak pernah mempermasalahkan hal itu lagi.

Hal yang lebih sering dilewatinya adalah ia terlelap sendiri tidak sadar kapan Bram masuk dan tidur di sampingnya, hanya sesekali menemukan pria itu karena ketika marah laki-laki itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja dan Ami tidak dibenarkan masuk ke ruangan itu.

Paviliun adalah satu-satunya tempat ternyaman setelah kamar putrinya, walaupun tidak bisa berada lama-lama di sana Ami bisa mengekspresikan dirinya bersama pelayan. Tidak jarang Ami memasak sendiri untuk makan siang ketika ibu mertuanya tidak berada di rumah, namun dia juga harus hati-hati karena mata Elena lebih tajam dari silet. Kadang hal yang tidak dilakukan olehnya pun menjadi sebuah laporan, Elena pawang terkeji di keluarga Cendana dan semua pelayan di sana mengetahuinya.

"Sebuah kehormatan Ibu mau berkunjung ke sini." Sarinah kepala pelayan yang sudah bekerja selama 10 tahun di rumah itu.

"Jangan sungkan." di depan para pelayan Ami bisa tersenyum begitu manis. "Aku ingin memasak sesuatu untuk Nahla."

"Kami akan membantu, Bu."

Dibantu oleh pelayan Ami menyiapkan bahan dan bumbu untuk masakan siang hari ini, karena ada menu khusus untuk sang putri wanita itu begitu bersemangat.

Memasak sambil bercengkrama suasana paviliun terasa begitu hangat, seseorang yang mengendap masuk menatap tajam pada orang-orang itu. Semua yang berhubungan dengan Ami tidak disukainya, termasuk kaum rendahan itu.

Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang