Bab 9

2K 407 44
                                    

jangan lupa voment biar semangat up

😍

Sesuatu yang dilihatnya beberapa jam lalu masih terekam walaupun belum mengetahui alasan Elena berada di ruang kerja suaminya. Ada beberapa hal yang aneh diantaranya adalah, Ami tidak diizinkan masuk ke ruangan itu termasuk para pegawai lainnya tapi kenapa Elena bisa? Lalu saat Bram keluar kenapa laki-laki itu menatap ke sekelilingnya dengan tatapan awas?

Malam itu Ami, Bram dan ibu mertua sedang makan malam bersama. Sudah menjadi kebiasaan saat makan malam atau mungkin karena ada Ami di sana, yang dibahas oleh bu Cendana adalah salah satu kegiatan Elena yang menurut wanita ibu mertua penting. Kadang disertai tanggapan oleh Bram namun tak jarang pria itu mengacuhkan ibunya.

"Tidak bosan membicarakannya terus?"

Ami ragu ketika jadinya mengartikan kalimat suaminya dengan 'Apa yang istimewa dari Elena?' apalagi setelah dia melihat dengan mata kepala sendiri wanita itu keluar dari ruangan kerja Bram.

"Tidak, dia memang membanggakan. Kamu tahu apa kata ibu wakil menteri?"

Bram tidak menjawab tapi bu Cendana tetap melanjutkan kalimatnya seolah Bram antusias untuk mendengar. "Elena tidak buru-buru menikah karena punya high value terhadap laki-laki."

"Huekk!!"

Ami segera menutup mulutnya dengan kedua tangan, ini suapan yang ke empat kenapa tiba-tiba merasa mual?

"Tidak sopan."

Wanita itu meminta maaf karena memang tidak sengaja.

"Kamu iri pada Elena?"

Ami menggeleng ia tidak punya maksud meremehkan ucapan ibu mertuanya tapi lambungnya memang bergejolak.

"Kita sedang makan Ami," tegur Bram.

"Beda memang kamu dengan Elena," geram bu Cendana.

Kali ini bukan mual tapi Ami memuntahkan isi perutnya, ini sangat tidak sopan dan membuat bu Cendana murka begitu juga dengan Bram. Tidak terketuk hatinya untuk menuntun Ami ke wastafel.

Seorang pelayan mendekat dan memijit pelan tengkuk Ami di saat suami dan ibu mertua wanita itu tidak peduli.

"Ibu pasti masuk angin," kata kalian itu dengan nada rendah.

Ami juga berpikir seperti itu, karena jika kesalahannya ada pada makanan rasanya tidak mungkin karena makanan ini sama seperti semalam.

Tanpa kata dua orang yang berada di meja makan tadi meninggalkannya begitu saja, terutama Bram harusnya dia menanyakan ada apa dengan istrinya bukan malah meninggalkannya.

"Tolong bawakan air hangat." tenggorokannya masih sakit namun tidak lagi mual.

"Apa-apaan ini Bram!"

"Aku juga tidak tahu."

"Aku menyuruhnya meminum apa saja bila perlu sampai rahimnya tidak berfungsi lagi."

Bram juga bingung, hampir dua tahun ini ia melihat Ami masih meminum pil KB tidak mungkin wanita itu hamil.

"Bukan masalah Nahla yang masih kecil tapi aku tidak ingin kamu punya anak lagi dari wanita itu!"

Suara dari ruang tengah tidak kecil, bukan hanya Ami tapi tiga orang pelayan di ruang makan juga mendengar kecaman bu Cendana.

"Itu tidak akan terjadi." Bram akan memastikan terlebih dahulu jika memang benar laki-laki itu akan mengambil tindakan.

"Ibu tidak akan diam saja, dia sudah berani menentangku!" kilat mata bu Cendana teramat tajam, tidak akan ada pertimbangan apalagi permohonan maaf bila yang ditakutkannya benar-benar terjadi.

Hamil? Rasanya tidak mungkin, walaupun intens berhubungan intim dengan Bram ia selalu menjaga diri dengan cara minum pil sekalipun tidak pernah lupa.

Di saat bu Cendana sedang mengungkapkan kemarahan pada Bram, Elena muncul dari balik pintu ia baru saja datang.

Bram pergi dari harapan ibu dan menuju ke ruang makan ia tahu Ami masih berada di sana. Dengan raut dingin pria itu menyuruh Ami mengikutinya ke kamar. Setiap berhadapan dengan laki-laki itu perasaan Ami tidak pernah baik, selalu ada ketakutan setiap kali mendengar nada dingin dari kalimat suaminya.

Ketika akan menaiki tangga Ami sempat melihat ibu mertua dan Elena, kedua orang itu juga sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Rencana apa yang disusun oleh mereka untuknya?

"Kamu hamil?" dingin dan tajam dua kata yang dilontarkan disertai tanda tanya. Bram menatap dengan tajam membaca raut sang istri mana tahu wanita itu berkelit.

"Aku tidak tahu."

"Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhmu sendiri?"

Ami menggeleng, jika yang dimaksud tentang kehamilan memang dirinya tidak tahu karena tidak ada tanda-tanda. Dari siklus menstruasi sudah lama tidak teratur kadang ada kadang tidak dan itu semua efek dari penggunaan pil tersebut.

"Besok pagi kita ke rumah sakit, jika benar kamu hamil aku harus mengambil tindakan."

Ami tertegun. Buah memang tak mungkin jatuh jauh dari pohonnya, kenapa Ami benci pepatah itu?

"Aku tidak melakukan kesalahan."

"Terserah apa katamu, yang perlu kamu lakukan adalah menuruti semua perintahku."

"Jika mungkin benar, yang kukandung adalah anakmu dan Mas akan membunuhnya?"

"Tutup mulutmu!" Bram tidak ingin Ami membantah dan melemparkan tanya padanya, akan baik-baik saja bila wanita itu mau mendengarkanya.

Tatapan Bram tajam bak kilat elang, keringat dingin mulai mengucur di tengkuk Ami.

"Dengarkan aku atau kamu akan celaka."

Ami tidak yakin kalau dirinya hamil tapi dalam hati melawan, dia tidak melakukan kesalahan kenapa suaminya bersikap semena-mena lalu bagaimana dengan laki-laki itu sendiri?

"Aku melihat Elena keluar dari ruang kerja Mas." Ami ingin sekali mendengar penjelasan itu.

"Apa?" Bram terkejut.

"Aku baru tahu, Mas memberikan akses padanya." sementara dirinya saja tidak diizinkan, dalam hati Ami berharap semoga suaminya mengatakan sesuatu setidaknya sebuah penolakan.

"Untuk apa dia ke sana?"

"Aku di kantor seharian, jadi aku tidak tahu."

Ami terdiam, posisi yang tidak menguntungkan ada di pihaknya.

Info pembelian PDF 0856-6214-533

Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang