Part 1

61 3 0
                                    

Hujan?

Tidak-mungkinkah ini hanya tetesan air?

Eh?! Ombak?

Namun bagaimana mungkin ada suara ombak di kamar kosanku?

Setidaknya itulah yang aku pikirkan begitu merasakan perasaan sejuk serta gemuruh air yang tidak biasa.

Ataukah aku masih terbawa arus mimpi? Ya, mungkin memang demikian.

Kalau saja sepasang mataku terbuka untuk melihat kondisi, mungkin aku akan tahu jawaban dari pertanyaan tersebut.

Hanya saja, kesejukan dan perasaan damai ini membelengguku terlalu kuat lantas membuatku terlena. Rasanya terlalu sukar membuka mata dan bangun untuk berangkat kuliah pagi.

Sampai akhirnya, kelopak mataku mulai berkedut begitu merasakan tetesan air yang kian banyak bahkan mungkin terkesan mengguyur. Bukan hanya wajah tetapi hampir seluruh tubuhku.

Rasa penasaran lantas menggerogoti, lalu keinginan untuk segera bangun merajai pikiranku. Sayangnya, kedua mataku benar-benar enggan untuk terbuka. Terlalu berat hingga aku pikir mungkin ada batu besar yang tengah menindihnya di atas sana.

Aku masih terlena dengan perasaan itu ketika sebuah tangan dingin yang entah berasal dari mana mendadak mengusap telingaku, menepuk pipiku dengan pelan, hingga suara berat yang samar pun mulai ikut terdengar.

Aku pikir itu milik seorang pria, tetapi bagaimana mungkin ada pria di kosan putri yang aku huni? Tidak pernah ada penghuni kos yang berani membawa seorang pria ke tempat ini.

Bukan karena mereka terlalu taat aturan hingga enggan melanggar, hanya saja, kebanyakan terlalu takut menemui maut.

Menemui maut?

Itu adalah ungkapan yang sering diucapkan penghuni kosan kami. Siapa yang akan berani membawa lawan jenis ketika ibu kos yang terlihat baik dari luar itu, dalamnya adalah psikopat gila yang tidak segan memukuli pria mana pun yang berani mendekati pagar kos ini.

Meski rasa ngeri terus membayangi para penghuni yang lain, namun tidak banyak yang ingin benar-benar keluar dari kosan tersebut, dan tentu saja termasuk aku. Biayanya terbilang murah untuk ukuran kamar 3 × 4 m, didampingi WC serta dapur mini yang bisa digunakan memasak.

Kembali ke persoalan utama ....

Ya, aku mungkin tinggal seorang diri di kamar yang menurutku sudah lebih luas bila dibandingkan kamar kosan lainnya, masalahnya, bagaimana mungkin ada tangan kasar disertai suara berat khas milik pria.

Tapi ... tunggu, mungkinkah ini perbuatan Miranda? Aku kenal betul tabiat anak satu itu. Gemar membuatku ketakutan dengan segala tingkah absurdnya yang kekanakan.

Tidak jarang gadis muda sepantaranku itu melakukan hal mengerikan seperti; tiba-tiba berdiri di depan jendela kamarku dengan kostum hantu, kadang pula menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa yang sebagian kulit wajahnya terkelupas.

Aku sungguh tidak habis pikir bahwa dia bisa melakukan hal semacam itu dalam waktu singkat, dan sangat antusias.

Jadi, sekali lagi, mungkin saja yang mengerjaiku adalah Miranda.

"Lebih baik kamu melarikan diri sekarang sebelum aku membuka mata. Jika kamu masih menggangguku saat itu, maka aku tidak akan berbaik hati lagi. Aku akan membalasmu!" ancamku sembari menggertakkan gigi.

Lucunya, aku tidak berniat membuka mata sesegera mungkin hanya untuk menggodanya. Sebaliknya, keningku justru berkerut saat merasakan tepukkan di pipiku berubah menjadi belaian diiringi oleh tawa kecil.

Miranda ini benar-benar ....

Namun tubuhku menegang sesaat setelah mendengar suara, "Nak, kamu bangun?"

Mendadak Menjadi Puteri Bajak LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang