Part 14

11 0 0
                                    

Aku tidak tahu sudah berapa lama sepasang kakiku bergerak hanya untuk berjalan ke sana-kemari. Bahkan jemari yang seharusnya melakukan fungsi semestinya, mendadak beralih menjadi sesuatu yang dapat kugigit. Tepatnya pada bagian kuku.

Perasaanku masih sama kalutnya ketika aku masuk ke dalam kamar atau di saat aku berada di luar. Meski keinginan untuk keluar dari tempat ini terlalu besar, tetapi nyaliku menciut hanya ketika mengingat wajah dan pertanyaan Jigong, begitupula dengan Ameertz.

Kepalaku berubah menjadi lebih berat, saat memikirkan bahwa aku hanya akan mengurung diri lantaran tak ingin berhadapan dengan kedua pria itu.

Astaga! Seharusnya mereka tidak menanyakan perihal perubahanku.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana jika ke depannya, mereka terus mempertanyakan penyebab perubahan sikapku?"

Bisa jadi jika aku lebih berhati-hati, kemungkinan mereka tidak akan menyadari perubahan itu. Namun rasanya terlalu sulit mengingat aku tidak mengira bahwa Savana adalah tipe gadis yang gemar menempel di ranjang kamar seharian penuh.

Oh, aku bukanlah gadis seperti. Akan sangat berat jika aku akan mengikuti kebiasaannya secepat itu. Aku perlu waktu, tetapi sial bagiku mengingat Jigong dan Ameertz terlalu dini menyadarinya.

Sampai akhirnya, aku terlonjak begitu mendengar ketukan dari arah luar. Seseorang baru saja mengetuk pintu kamarku.

Tetapi, jemariku kembali gemetar begitu menyadari bahwa sosok di luar sana adalah Joging.

"Nona, apa Anda sudah merasa lebih baik?"

Tidak kubalas pertanyaan itu. Aku memilih berdiam diri hingga suara menyebalkan Jigong sekali lagi terdengar.

Kali ini aku bahkan telah melotot.

"Nona!" Suara pria itu kian terdengar keras, sedang gedoran yang dia lakukan pun sama brutalnya. "Nona! Jika Anda tidak kunjung menjawabku, aku tidak punya pilihan selain merusak pintu kamar Anda."

Oh tidak! Apa yang dia lakukan?!

Sembari menggertakkan gigi, kupaksa kedua kakiku melangkah ke arah pintu, tetapi berikutnya, sepasang netraku justru membeliak tatkala menyadari bahwa Jigong benar-benar mencoba merusaknya.

Tetapi sial memang, aku bahkan belum menyentuh gagang pintu ketika tiba-tiba saja tangan pria itu telah melubangi pintu kamarku. Lekas jeritanku terdengar nyaris bersamaan dengan pintu yang kian jebol.

Sebisa mungkin aku berlari menjauh. Terlambat sedikit saja, aku sudah pasti akan tertimpa reruntuhan kayu.

"Dasar gila!" Tak kutahan kemarahanku lantas kuhardik pria itu sangat keras. Kuremas rambutku kuat-kuat, memikirkan betapa nekat dan gilanya si Bodoh ini.

Jigong terkesiap, tubuhnya bergerak cepat menghampiriku. "Nona, maafkan aku! Aku pikir Anda sedang dalam bahaya. Aku mengira Anda pingsan karena sebelumnya Nona terlihat kurang baik."

Kuhempaskan sepasang tangan Jigong yang tengah memegangi bahuku. Kutatap matanya penuh kemarahan. Kendati sejujurnya aku hanya terkejut dengan perbuatannya, tetapi aku pikirkan hal ini dapat kumanfaatkan untuk membuatnya segan.

Dengan begitu, dia tidak akan lagi berani menanyakan hal-hal yang dapat membuat nyawaku terancam.

"Sebaiknya kamu tidak muncul di hadapanku!" Kudorong dadanya menjauh. "Aku tidak ingin dikawal pria ugal-ugalan yang bertindak terlalu gegabah."

Jigong menatapku dengan sendu. Aku bahkan menghindar begitu menyadari tangannya terangkat hendak meraih kembali bahuku. Pria itu terlihat kecewa saat berkata, "Nona, jangan seperti ini. Aku minta maaf. Aku hanya kalut memikirkan telah terjadi sesuatu kepada Nona."

Mendadak Menjadi Puteri Bajak LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang