Part 8

14 0 0
                                    

Aku masih menunduk ketika Jigong yang duduk berhadapan denganku menjawab, "Albert adalah pengawal pribadi Anda," katanya.

Aku menatap Jigong sementara pria itu balas menatap. Tidak ada yang bisa aku baca dari raut wajahnya yang teramat datar. Entah mengapa aku merasa sedikit resah saat memikirkan bahwa ada banyak hal yang bisa dia sembunyikan di balik raut wajahnya itu.

Lantas kemudian aku mengangguk. Tak kujawab perkataannya secepat yang dia lakukan beberapa saat lalu. Sebaliknya, pandanganku beralih kembali ke arah sekumpulan lumba-lumba yang nyatanya telah berenang menjauh. Kemungkin mereka sadar bahwa manusia yang coba mereka ajak bermain sedang tidak fokus.

"Jadi begitu ya ...," kataku yang kemudian dibalas deheman samar oleh Jigong. Begitu kembali kutatap pria itu, anehnya, pandanganku justru menunduk saat mendapati tatapan intens darinya. Jujur saja, ini bukan kali perama aku menyadari bahwa Jigong diam-diam menatap lekat ke arahku—atau lebih tepatnya Savana.

"Tentu saja dengan akses sebagai pengawal pribadi, kami berdua akan lebih sering bertemu, bukan?" sambungku, sedikit salah tingkah.

Sial!

Suasana mendadak hening, sementara tatapan Jigong beralih ke arah laut seolah sadar bahwa pandangannya membuatku tidak nyaman.

Pria itu lantas mengalihkan pembicaraan, "Nona, tampaknya para lumba-lumba telah meninggalkan kita. Mungkin ada baiknya segera naik ke atas kapal. Tuan bisa saja melihat dan akan marah."

Aku mendengkus kesal. "Jadi kamu membawaku ke sini tanpa memperhitungkan bahwa Ayahku akan marah atau tidak?" Hembusan napasku terdengar semakin keras saat mendapati bahwa Jigong mengangguk mengiyakan. Astaga, rupanya dia sedang membawa masalah baru padaku. "Kalau begitu, mengapa kita tidak segera pindah dari tempat ini sebelum Ayah melihat."

Sembari menggerutu, aku hanya bisa pasrah ketika tubuhku kembali diangkat umpama karung bawang, sedang Jigong meraih tali yang sempat kami gunakan saat meluncur turun ke bawah sini.

"Kalian yang di atas! Tarik naik talinya!" Jigong berteriak.

Begitu tali ditarik, otomatis tubuh kami terbawa serta ke atas, dan yang bisa kulakukan hanyalah memejamkan mata mengingat aku cukup takut saat memikirkan bahwa tali ini akan putus lalu menjatuhkan kami ke laut. Beruntung sebab itu tidak benar-benar terjadi.

Aku baru bisa menarik napas lega ketika kakiku telah menapak di atas lantai kayu kapal. Sebelumnya aku bahkan menahan napas cukup lama.

Sengaja kusandarkan punggung ke pembatas kapal agar tubuhku kembali mendapati ketenangan. Harus kuakui bahwa selama ini tubuhku terlalu tegang.

"Apa Nona ingin melakukan hal lain?"

Jigong yang duduk di sebelahku bertanya. Aku hanya menoleh sekilas, selebihnya, pandanganku mengarah ke arah laut lepas lalu sesekali mendongak menatap langit. Tetapi kemudian, keningku berkerut saat menyadari bahwa di atas sana langit tampak gelap. Seolah-olah ada benda besar yang berusaha untuk menghalangi sinar matahari. Kupikir itu awan mendung, nyatanya tidak demikian mengingat memang ada sesuatu di atas sana.

Secepat yang kubisa, kutatap Jigong yang rupanya ikut menatap langit. Baru saja mulutku hendak mengatakan sesuatu mengenai hal itu, pria itu sudah lebih dulu menarikku.

"Hei, Apa yang kamu lakukan?! Jangan menarikku terlalu keras! Mengapa kamu selalu saja bertindak seenaknya tanpa mencoba menjelaskan—"

"Bisakah Anda diam dan hanya mengikut saja?" Aku terdiam begitu Jigong memotong.

Tetapi pria itu salah besar saat berpikir aku mungkin akan menurut.

Dia hanya melihat sedikit dari semua kepribadianku yang pembangkang pun acap kali menentang. Toh, dia tidak menjelaskan apapun lantas kemudian menarikku begitu saja. Bagaimana aku tidak kesal karenanya. Maka kuhempaskan tangan besarnya kendati dia memaksa untuk membawaku masuk ke dalam kapal.

Mendadak Menjadi Puteri Bajak LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang