Aku tersenyum puas begitu merasakan sapuan angin menghempas kulit wajahku. Tentu, mengingat kapal kini melaju dalam kecepatan penuh.
Sesuai rencana, kami akan bertandang ke pulau jarahan Ivior untuk menghindari sang pangeran. Aku mungkin akan bersyukur bila seandainya dia berubah pikiran lalu memilih melepaskan kami.
Tetapi ketika kudengar decakan keras dari arah samping, di mana Jigong berdiri dengan teropong andalannya. Aku mulai bertanya-tanya.
Ada apa gerangan?
Spontan sepasangan netraku bergulir menatapnya, hanya untuk mendapati kerut kebingungan di wajahnya. Sementara itu, bibirku tak tahan untuk melontarkan pertanyaan, "Ada apa?"
Jigong menoleh sebentar, sebelum kemudian menyerahkan teropong di dalam genggamannya. Kendati sedikit ragu, namun gerakan implusif yang aku lakukan membuatku berakhir meraih benda tersebut.
Aku masih mencoba melirik untuk menunggunya menjelaskan alasan di balik decakan tak senangnya, tetapi tampaknya hal itu tidak akan pernah terjadi. Toh, Jigong adalah pemegang tahta terkait urusan minim penjelasan, serta gemar membuat orang lain kebingungan.
Sampai akhirnya, kuputuskan untuk menggunakan teropong guna mencari jawabanku sendiri. Jawaban, yang mungkin akan menjelaskan alasan mengapa Jigong kini terlihat kesal.
Tetapi aku justru tidak bisa menahan pupil mataku melebar, mendapati fakta bahwa di kejauhan yang temaram, kapal pangeran nyatanya tengah melakukan pengejaran habis-habisan.
"Sial!" makiku, "aku pikir mereka akan menyerah, namun si Pangeran Astral jutsru ngotot berlomba." Tanpa sadar, kubanting teropong di tangan sementara Jigong di sebelah menjerit tak karuan.
"Apa yang Nona lakukan?! Ini adalah benda pusaka, bagaimana bisa Anda membantingnya seperti itu? Bagaimana jika rusak?"
Aku meringis begitu mendapatinya terlihat frustasi hanya karena sebuah teropong. Tetapi rasa bersalah menghantuiku begitu melihatnya mengusap permukaan teropong, seolah-olah benda itu adalah anaknya.
Wajahnya bahkan terlihat menyedihkan.
Sembari berdeham, kupalingkan wajah sementara bibir bergerak mengucap, "Ya, maaf. Aku hanya kesal karena mengetahui betapa keras kepalanya Pangeran William."
Sebaliknya, Jigong hanya berdecak.
Sampai kemudian hening mulai melanda kami.
Di balik desau angin yang terdengar, dan di antara kicau burung-burung yang mendadak mendekat di telingaku, sayup-sayup gendang telingaku menangkap helaan napas yang melambung keluar dari dalam mulut Jigong.
Menyadari hal itu, rasa bersalahku tumbuh semakin jadi. Tetapi apakah dia harus seberlebihan ini hanya karena sebuah teropong?
Lama-lama aku bisa jenuh dengan keluhannya.
Tak tahan dengan perilakunya, aku tidak punya pilihan selain memikirkan cara untuk membuatnya kembali seperti semula.
Tetapi ketika aku hendak mengatakan sesuatu untuk menghiburnya, tetapi urung kuniatkan mengingat kini bibirku kembali mengatup.
Sebaliknya, aku lebih tertarik memikirkan ada apa di belakang punggungku, lantaran kini kurasakan kepalaku mulai terpatuk. Cukup keras untuk membuatku menoleh dengan berang dan ingin memaki.
Tetapi ....
"Huaa! Astaga! Manusia purba!" Aku terkejut. Sangat-sangat terkejut mendapati sosok Ameertz bersama burung ajaibnya, telah berdiri kokoh hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. "Apa yang kamu lakukan?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Menjadi Puteri Bajak Laut
FantasyIrina pikir, tidur lelap di kamar kosannya adalah salah satu hal paling menyenangkan yang bisa dia lakukan setelah seharian lelah dengan tugas kuliah. Tetapi, dia sama sekali tidak menduga bahwa hal menyenangkan itu akan berubah menjadi hal mengeri...