Bagian 19

103 23 1
                                    

Sepulangnya Namu dari rumah Jimin, ia kembali ke rumah sakit. Dan lalu melihat pemandangan yang begitu menyesakkan dadanya.

Sebagai seorang ayah, ia begitu terpukul ketika Hera menangis sesenggukan di atas bangkarnya, matanya bengkak terlihat sekali banyak menangis.

Taehyung hanya melamun menatap Hera, mereka sama-sama terdiam, meskipun rintihan Hera masih terdengar sesekali. Sudah dipastikan, jika Hera sudah mengetahui berita kegugurannya. Ia terlihat sangat terpukul.

Namu memasuki ruangan, "Taehyung, ayo ikut ayah sebentar, ayah ingin bicara." Namu berjalan dahulu, dengan disusul oleh Taehyung di belakangnya. Mereka menuju keluar bangunan rumah sakit, lebih tepatnya duduk di bangku taman yang ada di pekarangan rumah sakit tersebut.

Ada jeda sekitar sepuluh menit setelah mereka berdiam diri di sana, Namu masih belum mau memulai percakapan, dan Taehyung terlihat menikmati kesunyian di antara mereka. Dengan sepoi-sepoi yang menerbangkan helaian rambut Taehyung yang sudah sangat panjang itu, membuat laki-laki bermarga Kim sangat menikmati ketenangan mereka.

Namu mulai dengan menghembuskan napasnya perlahan, lalu berucap, "Taehyung ... mungkin kau akan tidak suka mendengar ini, tapi ... mohon dengarkan dulu," katanya.

Taehyung tidak membalas, seakan memberikan peluang untuk Namu bicara apa yang ia pikirkan, "Ayah sudah lama memikirkan ini, tentang ... kehidupan kita. Bagaimana dengan kau dan Hera mulai tinggal bersama Ayah kembali? Ayah ingin kita---" ucapannya terputus.

"Tidak, dan tidak akan pernah," ketus Taehyung, ia tidak terpikirkan untuk hidup kembali bersama ayah brengseknya.

"Mengapa? Apa Ayah sebegitu buruknya di matamu hingga tidak ingin tinggal bersama lagi? Apa Ayah benar-benar tidak dimaafkan?" Nafas Namu tidak beraturan, jelas sedang menahan emosi yang ada, rasa kesal, sedih, campur marah. Marah terhadap diri sendiri, terhadap takdir.

"Ayah pasti tahu jawabannya." Taehyung pergi dan meninggalkan Namu sendirian.

.
.
.

"Pa, bagaimana dengan perkembangan kasusnya?" tanya Jimin saat dia dan Papanya berada di sebuah restoran, makan bersama. Hanya berdua, Mama Jimin sedang berada di luar negri, mengurusi beberapa cabang butiknya di sana.

Kondisi Jimin semakin hari, semakin membaik. Oleh karena itu, untuk menyemangati Jimin dalam proses penyembuhannya, Jin mengajak anak semata wayangnya itu untuk makan dan jalan-jalan ke luar, setelah satu minggu ini Jimin tetap berada di rumah.

"Mulai ada perkembangan pesat, Papa mengerahkan semua tenaga kerja untuk menangkap wanita itu, awalnya memang kehilangan jejak, tetapi dua hari yang lalu, saat tim Papa memeriksa kembali gedung yang dipasangkan bom, mereka menemukan ada sebuah handphone yang sudah rusak. Mungkin itu milik salah satu dari mereka. Tim Papa sedang memperbaiki handphone tersebut untuk nantinya mengecek, apakah ada sesuatu yang penting di dalamnya.

Tapi Papa rasa, memang ada bukti penting di dalamnya, mereka memang sengaja membuang handphone tersebut agar menghilangkan bukti-bukti yang ada, namun sayangnya mereka terlalu ceroboh, handphone itu tidak rusak terlalu parah karena ledakan bom tersebut," Jin menjelaskan, dengan sesekali menyuapi makanannya.

"Aku harap, Luna akan segera ditangkap. Terimakasih atas perjuangannya, Pa." Jimin tersenyum.

.
.
.
.

Hera dan Taehyung sudah boleh pulang, meskipun Taehyung masih harus memakai arm sling. Mereka pulang ke rumah masing-masing tentunya.

Hera banyak melamun dan tidak mau makan, ia terlihat begitu kurus dan pucat. Sepertinya, ia sangat terpukul dan sedih yang berlarut atas kegugurannya itu.

Namu jadi prihatin, tak jarang setiap hari Namu akan selalu mendatangi anak-anaknya--karena jelas, Namu tidak tinggal bersama di antara keduanya, Namu menginap di sebuah apartemen--mengurusi keperluan Taehyung, mengantarkan makanan dan menyuapi Hera makan meskipun kadang ditolak mentah-mentah oleh wanita itu.

Namu terus berjuang, dia tulus melakukan itu, meskipun masih berharap jika dengan ini, hati anak-anaknya akan luluh dan mau memaafkan dirinya. Perlahan-lahan, tapi pasti. Hera mulai mau menerima pemberian Ayahnya, dan kadang meminta bantuan jika ia kesulitan melakukan sesuatu.

Sedangkan Taehyung, pria itu masih keras hati, dihadapan Namu ia memang menerima apa yang Namu berikan, namun setelahnya ia akan membuangnya ke tempat sampah. Diam-diam Taehyung masih tidak bisa menerima kenyataan jika Namu berusaha membina hubungan baik dengan dirinya. Ingatan tentang kematian ibunya yang disebabkan oleh selingkuhan ayahnya sendiri jelas masih melekat, dan juga bagaimana Namu dengan seenaknya menutupi kasus kematian Yoonji. Ia masih tidak terima itu.

....

"Ayah, aku punya permintaan," ucap Hera pada Namu yang sedang membantunya menyirami tanaman--hobi baru, saran Namu agar Hera tidak kesepian, dengan cara merawat bunga-bunga dan tanaman lainnya--Namu sontak menghentikan aktivitasnya, dan memberikan atensi penuh kepada Hera.

"Apa itu? Akan Ayah penuhi jika Ayah mampu."

"Ini bukan sesuatu yang besar, namun aku sangat ingin pergi ke sana."

"Ayo katakan, kau mau pergi ke mana?"

"Aku ingin ... mengunjungi makam Ibu Yoonji."

.
.
.

"Ini makamnya?" tanya Hera kepada Taehyung. Pria itu membalas dengan sekali anggukan, lantas Hera langsung bersimpuh duduk di tanah berumput, meletakan sebuket bunga mawar di atas makam yang ada tanda salib di atasnya.

Hera menangis.

"Maafkan semua kesalahan ibuku dan ayah, Bu. Maafkan diriku juga yang telah lahir dan menghancurkan rumah tangga kalian. Mohon maaf atas semua kesalahan kami, semoga ibu bisa istirahat dengan tenang dan damai, semoga dengan penderitaan kami di dunia ini, bisa membuatmu bahagia di sana." Hera berucap lirih, kemudian menyiumi salib Yoonji.

Hera berdiri dari duduknya, ia melirik sedikit ke Namu dan Taehyung yang terlihat berkaca-kaca, bahkan Taehyung sempat meneteskan air matanya. Taehyung segera menghapusnya, Ia tidak sanggup, tidak kuat jika harus menyangkut tentang Yoonji.

"Bagaimana? Pulang sekarang? Sebentar lagi akan hujan," Namu berucap, memang langit tengah mendung sekali, seperti semesta juga ikut merasakan kesedihan mendalam, dan kelamnya kehidupan orang-orang ini.

Tepat setelah Namu berkata, hujan turun dengan selebat-lebatnya. Membasahi pakaian serba hitam mereka, mereka berlari-lari kecil menuju mobil. Sekilas, terpatri senyum merekah dari Taehyung, ia bersyukur atas turunnya hujan ini. Setidaknya untuk saat ini, ia bisa menangis sepuasnya tanpa ada yang tau.

Taehyung berlari sambil berteriak kencang, meluapkan emosi yang selama ini ia pendam.

Lega. Ia merasa lega. Sepertinya mulai saat ini, dan seterusnya Taehyung akan sangat menantikan dan mencintai turunnya hujan.

.
.
.

Bersambung~

Bersambung~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Move to Hell [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang