3. Makan Malam Keluarga

141 28 3
                                    


Malam itu jam baru saja menunjuk angka 7 saat Abi menyelesaikan sesi bimbingan tesisnya dengan sang dosen.

"Bab empat poin ke tiga sampai lima revisi lagi ya. Sudah saya tandai di sana mana aja yang perlu kamu ubah dan sempurnakan. Cuma sedikit kok, tapi itu sangat berpengaruh nantinya. Selebihnya saya rasa sudah cukup," ujar Pak Rashad setelah memeriksa keseluruhan bagian dari tesis yang Abi kerjakan.

 Selebihnya saya rasa sudah cukup," ujar Pak Rashad setelah memeriksa keseluruhan bagian dari tesis yang Abi kerjakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abi lantas menerima kembali tesis miliknya tanpa semangat. Entah sampai kapan ia akan terus berkutat pada bab yang sama setiap kali bimbingan dilakukan. 

"Coba aja kamu lihat nanti komponen apa aja yang sekiranya bisa memenuhi poin-poin tadi. Kalau hal itu bisa terpenuhi, kamu bisa lanjut bab selanjutnya," sambung Pak Rashad yang menyadari perubahan air muka Abi saat menerima tesisnya.

"Iya Pak, nanti saya revisi lagi tesisnya."

"Setelah lulus S2 nanti rencana kamu apa? Saya denger dari Bian katanya kamu mau resign dari kantor. Bener? Kenapa resign?" Pak Rashad mencoba mengalihkan suasana.

"Betul, Pak. Saya mau resign karena udah nggak betah aja kerja di sana."

Pria paruh baya di hadapannya itu tampak mengerutkan keningnya, "Nggak betah? Kok bisa? Itu perusahaan besar, kan? Tentu pendapatan yang kamu terima juga tinggi. Apa kamu mau cari yang lebih tinggi lagi?"

Abi menggeleng, "Bukan Pak, kalau urusan pendapatan itu sama sekali bukan masalah. Saya mau resign dari sana karena situasi dan kondisinya udah nggak memungkinkan lagi untuk saya kerja di sana. Saya sering digangguin sama anak atasan saya dan itu sangat mengganggu."

"Digangguin gimana maksudnya? Anak atasan kamu laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan."

"Dia suka kali sama kamu," tembak Pak Rashad.

"Iya, Pak. Itu yang jadi masalahnya. Dia terang-terangan bilang suka sama saya. Tapi sayanya nggak suka sama jenis perempuan yang beringas kaya gitu."

"Beringas? Memangnya dia singa?" Pak Rashad menanggapi dengan gurauan.

"Maksudnya di mata saya yang lihatnya, kesannya itu kayak dia nggak punya malu gitu loh, Pak. Setiap kali ketemu dia itu suka langsung mepet-mepet, gelendotan di tangan, kadang juga suka meluk. Jadi risih sayanya," adu Abi.

"Dia sebaya kamu? Kok bisa sampai agresif kayak gitu?"

Abi menggelengkan kepalanya lagi, "Dia masih SMA. Nggak ngerti juga kenapa dia bisa berani kayak gitu ke saya. Padahal selama ini dia mau ngapa-ngapain juga nggak pernah saya tanggapi. Jahatnya saya, dia justru saya anggap makhluk tak kasat mata, Mas Bian juga tahu itu," Abi menumpahkan segala keluh kesahnya. "Tapi Pak, bukankah sejatinya perempuan itu patut bersikap malu-malu dan menjaga harga dirinya kalau ada laki-laki yang disukainya depan mata, ya? Bukannya malah bersikap agresif kayak gitu."

SERENDIPIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang