Kelopak mata berbulu lentik itu perlahan terbuka, menampakkan kornea mata sekuning madu yang siapa saja menatapnya akan terpana. Kepalanya pusing bukan kepalang saat gadis itu mencoba untuk bangun.
"Dimana ini?"
Itu pertanyaan yang akan dilontarkan sejak tadi namun tertahan di kerongkongan. Dia sangat haus namun tidak menemukan setetes air pun disini.
Yara mengurut dahinya pelan, menghalau rasa pusing yang tak kunjung hilang. Sebenarnya dimana dia sekarang? Seingatnya semalam sehabis membeli makanan, Yara berjalan untuk pulang, menyusuri gang-gang sempit nan gelap. Dan kejadian selanjutnya - Yara tidak ingat. Tiba-tiba dia terbangun di kamar seluas ruang tamunya-ah tidak, bahkan ruang tamu dirumahnya lebih kecil daripada ini. Warna abu-abu mendominasi, dengan Yara yang terpaku sendirian, sembari menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
Rambut hitam panjang acak-acakan, dengan wajah kusut sehabis bangun tidur bahkan tidak membuat kecantikannya menurun.
Kaki jenjang seputih salju itu menuruni ranjang, Yara benar-benar kehausan. Haus yang dirasakannya mengalahkan rasa panik bahwa dirinya berada di tempat asing.
Dengan langkah lunglai, Yara menuju pintu bercat putih gading. Namun saat memegang gagang pintu, Yara kebingungan saat pintu itu ternyata terkunci.
Dia panik setengah mati, dan baru menyadari bahwa seseorang menculiknya. Yara menggedor-gedor pintu dengan tenaganya yang lemah. Memohon pertolongan dari seseorang yang mungkin saja lewat didepan pintu ini.
BRAK!
BRAK!!
BRAK!
"TOLONG BUKA PINTUNYA!"
Yara terus saja berteriak, tidak mempedulikan tenggorokannya yang sakit, dia memukul-mukul pintu dengan tangannya.
"ADA SESEORANG DILUAR?"
Selanjutnya pintu terbuka, menampakkan sosok wanita berpakaian putih dengan sanggulan kecil di kepala, terlihat sangat rapi.
"Mari masuk, Nona. Saya membawakan makanan untuk, Nona"
Ucap wanita itu dengan menggiring Yara pelan untuk duduk di ranjang. Yara pun tidak bisa menolak, senyuman tulus yang terpatri di wajah itu mengingatkan Yara pada ibunya.Setelahnya, wanita yang tidak Yara ketahui namanya itu menata makanan dengan rapi di nakas dekat ranjang dan mata Yara tidak pernah terlepas darinya.
"Silahkan, Nona. Selagi nona makan, saya akan menunggu"
Merasa suasana aman, Yara memberanikan diri untuk makan. Sejujurnya Yara sangat lapar, rencana memasak sehabis belanja yang berakhir terjebak di kamar asing ini membuatnya tidak memakan apapun sejak semalam.
Selesai makan, tidak lupa Yara berterima kasih kepada wanita itu.
"E-em, terimakasih"Meski merasa suasana terasa aman dengan kehadiran wanita itu, Yara tetap gugup.
"Sama-sama, jika membutuhkan sesuatu. Nona hanya perlu memencet benda disamping tempat tidur, Nona. Saya permisi"
"Ah iya bi"
•••
Makan malam telah usai, setelah membereskan piring sisa makanan Yara, seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Bibi Ani pamit undur diri setelah memastikan Yara sudah mencuci mukanya dan menggosok gigi.
"Tidur nyenyak, Nona. Selamat malam"
Mata Yara tak lepas dari punggung ringkih wanita itu, perlakuan lembutnya membuat Yara kembali mengingat sang Ibu yang sudah lama tiada.
Namun, Yara masih dibuat kebingungan tentang dimana dia saat ini. Beberapa kali dia mencoba untuk bertanya kepada Bibi Ani, namun yang dia dapatkan hanya senyuman tulus yang dia sendiri tidak tau apa artinya itu.
Sibuk dengan pikirannya, hingga kantuk menghampiri, akhirnya Yara tertidur dengan selimut warna hitam lembut membalut tubuh rapuhnya.
•••
Tertidur dengan perut kenyang membuat Yara sangat lelap tidur, selimut tebal hangat membuatnya sangat nyaman.
Namun, Yara sedikit terganggu saat merasakan sesuatu bergerak diatasnya, dengan sesuatu yang dingin menempel pada pipi dan seluruh wajahnya. Yara tentu saja terusik, ditambah tangannya yang tidak bisa digerakkan.
Dengan berat hati, Yara mencoba membuka mata. Seketika dia dibuat terkejut saat melihat tubuh kekar seorang lelaki menindihnya. Dia ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, saat merasakan kecupan disertai gigitan di lehernya.
"L-lepas" lirihnya pelan ketakutan.
Sepertinya lelaki itu mendengarnya, dia mendongak dan tersenyum saat melihat mata Yara basah akan air mata sembari menatapnya dengan ketakutan.
Yara lebih terkejut lagi saat lelaki itu mendongakkan kepalanya. Lelaki yang harusnya Yara hindari, malah kini dia terjebak bersama.
"K-kamu mau apalagi? L-lepasin aku" Yara mencoba mendorong dan menahan dada lelaki itu agar tidak semakin menempel dan segera pergi dari atasnya.
"No. Gue ga bakalan lepasin lo lagi"
Netra kelam yang menatap nya tajam membuat Yara memejamkan matanya takut."Buka mata lo dan dengerin gue baik-baik, Ra" suara bass lelaki itu menggema di telinganya. Dia tetap memejamkan mata, tidak mau mendengar perkataan lelaki itu.
"Gue bilang. Buka. Mata Yara" lelaki itu menekankan kata saat Yara tak kunjung melaksanakan perintahnya.
"BUKA MATA LO ANJING!" Lelaki itu murka, dia mencengkram dagu Yara kasar mmebuat gadis itu meringis kesakitan dan segera membuka matanya.
Menatap kornea mata segelap malam milik lelaki itu yang menjadi sumber ketakutan nya.
"Kayaknya lo emang pengen dikasarin ya?" Yara menggeleng lemah dengan tangis yang tak kunjung reda. Lelaki itu terlalu kasar, dan Yara menyesal saat ingat bahwa lelaki itu orang yang pernah ia cintai dimasa lalunya.