Fated ; O31

2.2K 318 61
                                    

©Haruwoo_o present

Fated
[Yoshi • Jeongwoo • Haruto]

.
.
.

"Semuanya terlampau sulit sampai menyelipkan luka pada mereka yang terlibat."

Mengetuk berulang kali pintu di depannya, rasa khawatirnya tak bisa dibendung lagi karena si empunya pemilik kamar tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka pintu untuknya.

"Jeongwoo! Ku mohon buka pintunya! Kita bicarakan ini baik-baik, kau dengar aku? Tolong buka pintunya!"

Haruto mendengar semua percakapan sang ayah dengan Jeongwoo tadi. Bukan hanya itu, beberapa saat yang lalu ia juga mendapatkan kabar dari Ni-ki yang sempat melihat Jeongwoo menangis di tepi jalanan sepi. Dimana sepupu sekaligus sahabatnya itu hanya mampu mengamati dari jauh, enggan mengganggu Jeongwoo yang terlihat sangat terpukul.

"Aku minta maaf untuk semuanya. Ku mohon buka pintunya untukku, Jeongwoo."

Entah mengapa yang kini dirasakannya adalah cemas yang semakin menjadi. Haruto menggeleng pelan, tidak ada pilihan lain lagi selain mendobrak pintu kamar adik bungsunya. Ia hanya ingin memastikan kalau Jeongwoo baik-baik saja, masa bodoh dengan permintaan sang ayah yang selalu menyuruhnya untuk menjauhi si bungsu.

"Ku mohon." terus menggumamkan dua kata yang sama, Haruto mulai mencoba mendobrak pintu kamar si bungsu.

"Haruto! Apa yang kau lakukan?!" mengabaikan seruan sang ayah yang baru saja sampai di lantai dua, Haruto tetap fokus pada apa yang dilukannya saat ini.

"Haruto! Berhenti!"

Brakk!!

Begitu pintu di depannya berhasil di buka paksa, Haruto sempat mematung di tempatnya selama beberapa saat dengan manik kelamnya yang membulat sempurna. Jantungnya berpacu dengan cepat, pun dengan keringat dingin yang mulai membasahi keningnya.

"Apa yang---JEONGWOO!!"

Hanbin menelan mentah-mentah semua amarah yang tadinya sempat meluap. Pemandangan dimana putra bungsunya tengah terkulai lemas di atas dinginnya ubin kamar dengan tubuh yang mengejang membuat nafasnya tercekat seketika. Namun dengan cepat pula Hanbin mengambil langkah mendekat kemudian membawa tubuh putra bungsunya ke dalam pelukannya.

"Jangan diam saja, Haruto! Cepat siapkan mobil!" seru sang ayah yang berhasil menarik Haruto dari keterkejutannya.

Maka tanpa perlu diminta untuk yang kedua kalinya, Haruto segera berlari turun menuju ke arah garasi mansionnya. Tentunya diikuti oleh Hanbin yang membawa tubuh putra bungsunya di dalam dekapannya.

"Ayah mohon jangan tinggalkan ayah dengan cara seperti ini. Bertahan, nak. Tolong jangan pergi."

Kalimat yang sama terus Hanbin bisikkan di dekat telinga putra bungsunya. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit terdekat, Hanbin tidak melonggarkan sedikitpun pelukannya pada tubuh putra bungsunya yang mulai mendingin.

 Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit terdekat, Hanbin tidak melonggarkan sedikitpun pelukannya pada tubuh putra bungsunya yang mulai mendingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu terasa berjalan begitu lambat, detik demi detik seperti semakin mencekiknya dengan berbagai macam perasaan yang kini menguasai. Rasa bersalah, kecewa juga marah pada dirinya sendiri, semuanya menyatu membuat sesak memenuhi relung dadanya.

Bayang-bayang tentang kondisi si bungsu beberapa jam yang lalu benar-benar menghantuinya. Membawanya semakin jatuh pada rasa sakit yang kian membesar. Tidak jauh berbeda dengannya, suara isak tangis sang ayah yang duduk menunduk terdengar jelas pada rungunya.

Menyesal adalah satu kata yang bisa menggambarkan apa yang kini mereka rasakan.

"Permisi, sajang-nim."

Baik Hanbin maupun Haruto yang tadinya sibuk merutuki diri segera mendongak begitu suara dokter yang menangani si bungsu terdengar menyapa. Bahkan keduanya spontan mendekat kemudian menghujani sang dokter dengan berbagai pertanyaan.

"Maaf sebelumnya, apa akhir-akhir ini Tuan Muda Jeongwoo sedang berada di masa-masa yang sulit? Setelah pemeriksaan juga pembersihan dilakukan, Tuan Muda bukanlah pecandu. Sepertinya Tuan Muda sengaja mengkonsumsi pil ekstasi secara berlebih dengan tujuan untuk mengakhiri hidupnya."

Hanbin kembali menundukkan kepalanya. Tubuh sang kepala keluarga mulai bergetar karena tidak dapat menahan tangisnya lagi. Putra bungsunya hampir meregang nyawa dimana dirinya pasti menjadi alasan di balik keputusan berbahaya yang Jeongwoo ambil.

"Lalu bagaimana kondisi putraku saat ini? Dia baik-baik saja, bukan?"

Kembali mengangkat kepalanya, Hanbin bertanya dengan isakan miliknya yang berusaha diredamnya. Menatap penuh harap kepada dokter yang kini mulai menunduk menghindari kedua maniknya yang menatap penuh harap.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi karena konsumsi obat-obatan berlebih, fungsi ginjal juga hati Tuan Muda menjadi terganggu. Selain itu tubuhnya seolah enggan merespon setiap bantuan yang kami berikan. Tuan Muda belum bisa melewati masa kritisnya. Maaf, sajang-nim."

Bertepatan dengan kalimat terakhir yang diucapkan sang dokter, tangis Hanbin kembali pecah dengan tubuhnya yang langsung merosot ke bawah hingga terduduk lemas. Seruan penuh penyeselan dengan banyaknya permintaan maaf yang terselip mulai terdengar. Membuat siapapun yang bisa mendengarnya akan tau seberapa besar sesak yang dirasakannya.

Di sisi lain, Haruto yang sejak tadi memang memperhatikan tidak memberikan reaksi berlebih. Air mata memang mengalir sempurna membasahi kedua pipinya, namun tak ada isak tangis yang terdengar. Tubuh tinggi itu seolah mematung dengan kedua manik kelamnya yang kini kehilangan binarnya dengan banyaknya bulir bening yang jatuh tanpa izin.

"Kenapa cuma aku yang dihukum, kak? Kenapa ayah tidak mau mencoba mengerti posisiku? Aku tau aku salah. Aku juga tidak masalah dengan perjodohan yang ayah putuskan untukku. Tapi kenapa kalian masih memberi jarak denganku? Kenapa kalian masih menjauhiku?"

Suara yang berucap lirih dengan sirat keputusasaan itu kembali terdengar memenuhi rungunya. Beberapa hari yang lalu, tepat setelah Haruto kembali ke rumah setelah mengantar kakak sulungnya ke bandara, Jeongwoo mendatanginya. Mencoba memintanya untuk berhenti menjauhinya dimana berakhir dengan isakan tangis si bungsu karena Haruto kembali bersikap acuh.

Setelah semuanya yang terjadi hari ini, penyesalan tentunya datang menghampiri. Seharusnya Haruto tidak menjauhi Jeongwoo, seharusnya Haruto bisa lebih berani menentang keputusan sang ayah yang memintanya memberi jarak dengan si bungsu. Seharusnya setelah kepergian Yoshi, dirinya bisa menjadi sedikit tumpuan untuk si bungsu dalam artian saudara yang sesungguhnya.

"Maaf, aku mohon maafkan aku. Jangan hukum aku seperti ini, Jeongwoo-ya."

Karena pada kenyataannya, sekuat dan sekeras apapun Haruto mencoba menghapus setiap rasa yang ada untuk si bungsu, sebesar itu juga rasa itu semakin tumbuh. Membuatnya ikut merasa tersiksa karena harus menjadi bagian dari alasan yang membuat Jeongwoo-nya menangis selama ini.

===== To Be Continue =====

Almost done.

Don't forget to leave your support, babe. Vote & comment for the next part! See you, all my boo~

Xoxo ❤

Fated ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang