"Nggak, nggak mungkin."
Tapi tidak peduli berapa kali pun Fey meyakinkan dirinya sendiri, pemandangan di depan sana tidak juga berubah.
Abi masih di sana, di arena. Walau penampilannya berbeda dengan tadi yang terlihat rapi. Pemuda itu kini hanya memakai celana olah raga selutut dan kaos singlet, persis seperti lawannya. Rambutnya yang tadi digel rapi pun kini kembali seperti biasa, Fey sedikit heran menyadari satu fakta kecil ini. Karena ia tahu betapapun diacaknya rambut yang telah digel rapi, seharusnya tidak begitu saja kehilangan jejak bentuknya dalam waktu beberapa menit.
Sosok Abi akhirnya memasuki kandang bersamaan dengan Ranjo, dan bel tanda pertandingan pun berbunyi.
Berbeda dengan pertandingan yang sebelum-sebelumnya, dimana para lawan saling berteriak dan memaki sembari menyerang. Kali ini hanya Ranjo yang terdengar memaki. Bahkan dari tempatnya berdiri, Fey bisa melihat bahwa ekspresi Abi tidak berubah sama sekali.
Dingin, datar .... tanpa emosi sedikitpun. Namun walau wajahnya terlihat tenang, serangannya justru lebih brutal dibanding peserta-peserta sebelumnya. Abi menyerang dengan keji, tidak sungguh-sungguh memberi waktu atau kesempatan pada Ranjo untuk pulih. Setiap kali Ranjo terlihat akan bangkit dan menyerang, Abi selalu dengan telak berhasil menjatuhkannya.
Akibatnya, tidak butuh waktu lama untuk pertandingan final ini berlangsung. Ranjo roboh, kali ini benar-benar tidak bisa bangkit lagi. Darah telah tercecer di mana-mana, termasuk di kaos singlet yang dipakai Abi. Namun kondisi Ranjo lah yang lebih mengerikan. Wajahnya nyaris tak berbentuk, seluruh kaosnya pun telah basah kuyub dengan warna merah.
Rasa mual menyerang Fey, ketika Ranjo diangkat dan ia menyadari bahwa darah bukan hanya keluar dari mulut atau hidung Ranjo. Tapi bahkan keluar dari lubang telinganya.
Seberapa kuat sebenarnya seorang Abi? Apa dia memang sengaja menyerang bagian vital?
Sedangkan Abi, wajahnya bahkan tidak tergores sedikitpun. Ia benar-benar dengan ahli menjaga agar serangan Ranjo tidak banyak memberikan efek pada tubuhnya.
Wasit mengangkat tangan Abi tinggi-tinggi. Sementara pembawa acara mengumumkan hasil pertandingan. "Dan sekali lagi, pemenang kita kali ini tetap dipegang oleh sang juara bertahan. Bima!!"
"A-bima-nyu," tebak Fey dengan rasa getir. "Seberapa banyak yang kamu sembunyiin dariku, Bi? Apa ini cara kamu ngasih tau aku?"
Wajah Abi tetap datar sementara seluruh ruangan menyorakkan nama julukannya. Tidak ada kesan senang, puas atau perubahan ekspresi apapun. Matanya tetap terlihat datar dan dingin saat memandang seluruh penonton.
Hingga akhirnya, pandangan itu jatuh pada Fey.
Saat itulah akhirnya Fey melihat perubahan ekspresi. Mata Abi membelalak, terkejut. Lalu berubah ngeri dan panik. Abi seketika menghempaskan tangan wasit yang masih menggenggamnya, bahkan wajahnya pun seketika berubah pucat seakan darah telah tersirap.
Fey tidak sanggup.
Ia tidak bisa menghadapi Abi. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Semua ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Memang benar Ferdian sudah memberitahunya bahwa Abi jago berkelahi, tapi Fey tidak mengira bahwa kemampuannya akan semenyeramkan ini.
"Aku butuh waktu," pikir Fey. Dan ia pun lari dari 'box penonton'.
***
Jantung Abi berdegup kencang. "Nggak, nggak mungkin. Aku pasti salah lihat," batinnya kacau.
Tapi Abi tahu, ia tidak mungkin salah lihat. Walau memakai topi dan masker, Abi akan tetap mengenali sosok Feyrasha di manapun. Tapi pertanyaannya, bagaimana gadis itu bisa ada di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Love (One Shot - On Going)
Romance"Cintaku padamu hanyalah sebuah cinta yang sederhana." -Young Adult Love Story- Kalau kalian berharap kisah CEO tampan nan dingin, maka maaf, ini bukan kisah yang kalian cari. Tokoh pria di cerita ini hanyalah pemuda yang tuli dan sederhana, jelas b...