Fey menunduk memainkan jemarinya. "Mbak," panggilnya perlahan."Ya?"
"Mbak Ginsta marah?"
"Nggak, ngapain gue harus marah?"
Fey menatap hati-hati sosok di sebelahnya. Sedari pulang talkshow beberapa hari yang lalu memang tidak ada reaksi apapun dari managernya itu. Padahal ia yakin Mbak Ginsta bakal kerepotan gara-gara jawaban spontannya saat di talkshow. Tapi acara tersebut memang belum ditayangkan secara umum di TV, jadi mungkin kemarahan Mbak Ginsta hanya tertunda.
"Mbak ... gak marah soal jawabanku di talkshow waktu itu?"
Mbak Ginsta menoleh sejenak pada Fey, lalu tersenyum kecil. "Lo cuma jawab spontan. Artinya itu isi hati lo. Apa yang harus gue marahin coba?"
Fey mengalihkan pandangan. Ia terdiam, menelisik batinnya yang kembali porak poranda.
Fey kira ia sudah baik-baik saja. Setahun lebih ia lewati tanpa Abi. Fey sudah melakukan segala hal. Konsultasi, bahkan terapi. Hasilnya pun terbukti baik. Fey tidak lagi histeris walau mengingat kejadian itu.
Tapi, sembuh dari trauma rupanya tidak sama dengan sembuh dari penyakit cinta. Fey menyadari hal itu sekarang. Ia tersenyum masam. "Mbak, penyakit cinta ada obatnya gak sih?" tanya Fey tanpa menatap Mbak Ginsta.
"Ada," jawab wanita itu.
"Apa?"
"Ya objek yang bikin jatuh cinta." Mbak Ginsta menjawab dengan santai, seraya menepikan mobil untuk memasuki rumah orangtua Fey.
Fey manyun, lalu celingukkan memandang sekitar. "Bang Ferdi udah beneran pulang? Kapan hari katanya mau pulang, tapi ditunda melulu."
"Kali ini beneran kok," jawab Mbak Ginsta.
Yang dibicarakan pun muncul di ambang pintu. Tapi tidak sendiri.
"Lho, papa sama mama kapan pulang?" tanya Fey seraya turun dari mobil.
"Tadi pagi. Kamu sih, ngebo melulu. Disuruh datang malah molorrrr terus," cela mamanya seraya memeluk Fey.
Fey cengengesan. Hari ini memang mereka berniat makan siang bersama karena Ferdi akhirnya pulang ke Indo setelah menyelesaikan pekerjaannya di Jepang. Ia tidak menyangka bahwa orangtuanya pun bisa pulang hari ini.
Mereka menghabiskan hari dengan bersantai dan saling bertukar cerita. Ferdian sudah selesai menetapkan para eksekutif direktur untuk mengurus usaha papanya yang di Jepang. Papa dan mamanya juga sudah selesai mengurus delegasi untuk perusahannya yang ada di Amerika. Fey sendiri sibuk membagi waktu antara kuliah dan pekerjaannya sebagai penyanyi, apalagi dalam waktu dekat ia akan launching album baru.
Siang berganti menjadi sore hari, mereka pun berkumpul di ruang keluarga dan menonton TV sambil ngobrol.
Namun obrolan mereka terhenti karena sebuah tayangan Talkshow.
Fey meremas tangannya sendiri, menatap bergantian ekspresi keluarganya. "Emm ... maaf, Fey bisa jelasin kok," ucapnya pelan.
"Jelasin apa emangnya?" tanya Ferdian.
"Itu ... itu aku nggak ada maksud apa-apa, cuma keceplosan."
"Keceplosan bahwa memang Abi-lah sosok di balik lagu-lagu kamu yang baru?" tanya mamanya.
Fey menunduk. Tidak menampik, namun juga tidak meng-iya kan.
"Fey, gimana perasaan kamu sebenarnya?"
Fey mendongak saat mendengar pertanyaan itu. Papanya adalah orang paling pendiam di mata Fey. Kalau sampai pria itu pun angkat bicara, Fey tahu ia tidak bisa berkelit sama sekali.
"Fey kangen, Pa," aku Fey seraya menelan ludah dengan susah payah. "Fey merasa bersalah karena udah menyebabkan Abi pergi sampai keluar dari sekolah."
Papa dan mamanya saling menatap, seakan berkomunikasi tanpa kata. Mereka berdua memang selalu seperti itu, kadang membuat Fey iri dan berharap bisa menemukan pasangan yang seperti mereka.
"Sejujurnya, sewaktu Abi pergi kami sangat bersyukur," ujar mamanya.
Fey seketika tidak terima. "Tapi kan Abi nggak salah apa-apa, Ma."
"Kami tahu, Fey. Nggak ada yang menyalakan Abi," potong papanya dengan cepat. "Tapi dokter menyarankan untuk memberi kamu waktu dan ruang agar bisa pulih. Kalau Abi terus ada di sini, apa kamu yakin bisa pulih secepat ini?"
Fey ingin sekali menjawab 'Iya'. Tapi mengingat cerita Wilsya dimana ia bahkan tidak sadar bersikap histeris pada Abi, Fey tahu ia tidak akan bisa berbohong.
Gadis itu kembali menunduk, menyadari papanya benar. Pikiran bawah sadarnya lah yang menyebabkan kepergian Abi. Fey lagi-lagi mengutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Kamu juga nggak bersalah, Fey. Kamu adalah korban. Yang bersalah adalah pelaku yang menculik kamu," tukas mamanya. Insting keibuannya pasti bisa membaca raut wajah gadis itu.
Fey mendengus perlahan. Ia mendongak menatap langit-langit. Di rumah ini, pernah tersimpan kenangan bersama Abi. Walaupun singkat, namun setiap detik yang mereka lewati bersama terasa sangat berarti.
"Kalau sekarang lo ketemu Abi, kira-kira gimana?" Pertanyaan Mbak Ginsta itu seketika membuat Fey menegakkan diri dari posisi bersandarnya.
"Emang Mbak Ginsta tahu Abi di mana?"
Mbak Ginsta menggeleng. "Gue cuma nanya, gimana perasaan lo kalau seandainya sekarang tiba-tiba lihat Abi. Apa lo yakin nggak bakal histeris lagi?"
Fey merenungkan pertanyaan itu sejenak. Hasil akhir terapinya 3 bulan lalu menunjukkan kondisi Fey sudah baik-baik saja. Bahkan walau kini ia memutar balik semua ingatan buruk waktu itu, dorongan untuk lari atau histeris sudah tidak ada. Tentu saja masih tersisa rasa sakit, kesedihan dan kemarahan, Fey yakin rasa itu tidak akan pernah hilang. Tapi bagaimana ia menyikapi semua rasa itu lah yang penting.
"Kalau aku nggak nyoba ketemu Abi, aku nggak akan tau kan?" tanya Fey, lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Ia akhirnya mengangkat pandangan. "Aku harus ketemu Abi. Nggak mungkin kan cerita kami berakhir gini aja? Aku nggak terima."
Papa dan mamanya tersenyum. Ferdian mengangkat bahu. Mbak Ginsta menepuk bahunya menyemangati. "Kayaknya Feyrasha yang asli sudah balik."
Fey tertawa menanggapinya. Feyrasha yang lari dari masa lalu serta orang yang dicintainya ini memang tidak cocok dengan kepribadian aslinya. Feyrasha yang sesungguhnya adalah gadis yang pemberani, persis seperti kata Abi.
"Bi, maaf karena aku pernah membuat kamu pergi. Aku akan buktiin, bahwa Fey yang kamu suka masih ada di sini."
****
"Lo nonton kan acara talkshow barusan?"
Pemuda itu tidak menoleh ataupun menjawab, tatapannya masih terpaku pada layar kaca televisi.
"Jadi, apa yang bakal lo lakuin sekarang?"
Senyum samar bermain di bibir pemuda itu. Namun ia masih juga tak menjawab.
Si penanya hanya menghela napas, lalu akhirnya beranjak pergi. "Bosen gue liat drama."
Tbc
Maaf ya beberapa hari ini saya gak repost atau update. Doain biar saya bisa balik aktif seperti dulu. Aamiinnnnn 99x
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Love (One Shot - On Going)
Romance"Cintaku padamu hanyalah sebuah cinta yang sederhana." -Young Adult Love Story- Kalau kalian berharap kisah CEO tampan nan dingin, maka maaf, ini bukan kisah yang kalian cari. Tokoh pria di cerita ini hanyalah pemuda yang tuli dan sederhana, jelas b...