9. Telpon dari Jauh

136 41 8
                                    

Terlepas dari kasus narkoba yang dialaminya, Feyrasha tidak pernah sekalipun mencicipi benda haram itu. Bukan karena sok suci, tapi karena ia sudah melihat sendiri efeknya pada orang-orang yang dia kenal.

Kecanduan, ketagihan, bahkan seakan tidak bisa hidup tanpa mengkonsumsi benda tersebut.

Tidak, Fey tidak akan pernah mau merasa ketergantungan seperti itu. Ia terbiasa hidup mandiri karena kedua orangtuanya sibuk bekerja. Ia terbiasa bersikap kuat karena kakaknya terlalu mudah khawatir. Bahkan Mbak Ginsta yang sejak dulu menjadi managernya pun tidak bisa membuat Fey jadi anak manja yang bergantung padanya. Fey selalu bangga dengan sifatnya itu.

Tapi kini, Fey dengan muram mengakui pada hati kecilnya sendiri. Ada satu yang membuatnya kecanduan, ketagihan, bahkan ketergantungan.

Abimanyu. Pria itu hadir diam-diam dalam kehidupannya. Menyelip dengan rasa iba dalam benak Fey. Lalu tanpa peringatan, tahu-tahu Fey sudah menemukan sosoknya tertanam dalam hati.

Kini tidak ada satu haripun yang bisa Fey lewati tanpa Abi. Ia butuh melihatnya. Berbicara dengan Abi rasanya semudah bernapas, tidak canggung atau pusing memikirkan topik yang pas. Rasanya setiap saat mereka bisa mengobrol tentang apapun, atau bahkan mereka bisa saling diam dengan nyaman. Asalkan bersama Abi, Fey merasa tidak perlu memusingkan apapun.

"Berkas buat meeting nanti gue taruh di bawah dashboard situ," kata Mbak Ginsta menyadarkan Fey dari lamunan.

Fey meraih berkas yang dimaksud, lalu mulai mempelajarinya.

"Mbak ngapain ngomong kayak gitu tadi?" tanya Fey sambil lalu.

"Ngomong kayak gimana maksudnya?" balas Mbak Ginsta.

Fay meliriknya tajam tanpa menjawab, lalu kembali menekuni berkas. Ternyata perihal topik lagu barunya dan penyesuaian nada memang perlu dibahas, Fey mengakui dalam hati walau sebenarnya masih malas.

"Soal lo yang jomlo? Atau soal Abi yang macarin lo?"

Kali ini Fey akhirnya menutup dan meletakkan berkas di pangkuan, lalu memfokuskan pandangan pada Mbak Ginsta. "Mbak Ginsta sama sekali nggak keberatan kalau aku jadian sama Abi?"

Mbak Ginsta tersenyum kecut. "Emangnya Mbak masih punya kuasa buat ngelarang kamu? Kamu aja sekarang udah kayak anak kembar siam sama Abi."

Fay terdiam, menunduk menatap pangkuannya. "Mbak Ginsta mungkin nggak paham, aku sendiri juga bingung kok. Tapi rasanya sewaktu Abi nggak ada ..., rasanya berat. Khawatir, pengen denger suara dia, pengen lihat senyum polosnya. Butuh waktu buat aku sendiri ngakuin, bahwa ternyata aku kangen."

Mbak Ginsta menghela napas perlahan. "Gue nggak nyangka, akhirnya ngelihat hari dimana lo jatuh cinta. Dan itu sama cowok yang bahkan nggak pernah terbayangkan."

"Emang Abi kayak gimana? Dia baik, ganteng, pinter, sabar, penyayang ...."

"Bla, bla, bla. Terus aja terus, lo mau muji apa bikin gue iri?"

Fey nyengir, lalu ekspresinya berubah serius. "Tapi aku bener-bener baru pertama ngerasa kayak gini. Kayaknya ini emang bukan sekedar naksir ya Mbak?"

"Naksir itu kayak dulu waktu lo sama Zidan atau Alex. Lo cuma happy kalau ketemu atau mikirin mereka. Tapi nggak bakal lo sampai kepikiran bahkan murung berhari-hari sewaktu mereka nggak ada di samping lo."

Fey merenungkan ucapan Mbak Ginsta sesaat, lalu akhirnya mengangguk. "Terus soal rencana Mbak Ginsta yang manfaatin Abi buat ngedompleng nama baikku?"

Mbak Ginsta melirik sambil menyipitkan mata sekilas, lalu kembali fokus ke jalanan. "Cuma karena lo naksir, bukan berarti gue bakal berhenti dengan rencana gue."

Simple Love (One Shot - On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang