Tugas rembulan telah selesai digantikan oleh mentari yang mulai menyinari bumi. Di kamar yang bernuansa cerah, aku siap dengan seragam sekolah Aditya.
"Cari kerja deh selama menempati tubuh Aditya," gumamku. Aditya tidak mendapatkan uang bulanan sama sekali, jadi selama di sekolah dia tidak pernah ke kantin. "Mengakhiri hidup memang dosa, tapi kalau aku di posisi lu, lebih baik minggat aja," ujarku pada diri sendiri.
Aku mengambil tas selempang hitam dan sedikit merapikan rambut dengan gel. Tatanan rambutku yang menurutku culun terlihat lebih rapi, tapi tetap saja Aditya seharusnya terlihat lebih ganteng jika penampilannya lebih terawat.
"Tenang, Dit. Sekarang nama lu Ello, persis kayak nama gua," kataku sambil memiringkan kepala. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di kantong celanaku. "Obat tidur ternyata," ujarku sambil tersenyum miring.
Aditya sering mengonsumsi obat tidur, bukan tanpa alasan. Kegiatan rutin Aditya selain sekolah adalah menerima kekerasan fisik dan verbal dari keluarganya, yang membuat pemikirannya jadi kalut. Aku tersenyum licik melihat obat tidur itu, tiba-tiba sebuah ide jahat muncul dalam pikiranku.
"Aditya!" panggil Adrian.
Aku tetap diam saja, memandangi obat tidur di tanganku, berniat untuk meminumnya. Namun, tangan Adrian tiba-tiba menahan tanganku.
"Lu gila hah?!" kesal Adrian, wajahnya marah, dan tanpa ragu ia menampar pipi kiriku.
"Terus?" tanyaku datar.
"Itu bisa buat lu overdosis lagi!" kesal Adrian.
"Sejak lama, hanya ada kematian yang sangat ingin kunantikan," jawabku tanpa emosi.
Adrian terdiam sejenak mendengar ucapanku. Aku merasakan nyeri di kepalaku, tapi aku tidak peduli.
"Dek, lu marah sama abang?" tanya Adrian dengan suara pelan.
"Gua gak punya abang, dan stop mendekati gua. Itu memuakkan," jawabku dingin.
Dengan cepat aku keluar kamar, ingin segera pergi ke sekolah. Malas melihat drama keluarga yang tidak berguna ini. Namun, saat aku melewati ruang makan, aku mendengar canda tawa yang berhenti seketika begitu aku muncul.
"Tidak punya sopan santun," sinis Satria, ayah Aditya.
"Situ ngajarin juga enggak," jawabku sarkastis.
"Kau mulai jadi anak durhaka, Aditya!" kesal Satria.
"Tidak ada namanya Aditya di sini. Gua Ello," jawabku datar.
Satria berdiri dan menghampiriku dengan wajah bengis, siap untuk menyiksa tubuh Aditya lagi. Aku hanya diam saja, walau perasaan takut muncul, mungkin itu adalah perasaan Aditya yang berusaha merasukiku.
"Tenang di sana, Dit. Gua akan balas perbuatan keluarga lu sampai batas waktu yang ditentukan," batinku.
Satria meninju wajahku, lebih tepatnya wajah Aditya. Darah mengalir deras dari hidungku, bahkan sangat banyak. Aku meludahkan sesuatu dan ternyata itu adalah gigi. Pukulan Satria sangat kuat hingga membuat salah satu gigiku copot.
"Kau ingin aku kurung di gudang gelap lagi, hah?!" kesal Satria.
"Cuma gudang saja," jawabku sambil memiringkan kepala dan tersenyum sinis ke arahnya. Aku membiarkan darah terus menetes dari hidungku. "Anda memang salah satu orang terhormat, Tuan Satria Pratama. Sayang aku harus lahir dari benih yang tidak beruntung," ujarku.
Tiba-tiba, perutku dipukul keras oleh Aldo, membuatku oleng ke belakang sejenak. Aku kembali berdiri dan menatap Aldo datar.
"Jangan ngedrama lu!" kesal Aldo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
Ficción GeneralOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...