Epilog

68.2K 2.5K 152
                                    

Malam ini mall lebih ramai dari malam biasanya. Selain karena protokol covid-19 sudah tak terlalu ketat malam ini merupakan malam pergantian tahun. Ditutupnya beberapa kawasan yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk berpesta kembang api seperti Monas dan bundaran HI membuat masyarakat lebih banyak mengunjungi tempat-tempat seperti ini. Termasuk Binar dan ketiga temannya.

Ke empat gadis dengan usia awal dua puluhan itu sedang ngobrol santai sambil menikmati hidangan sushi di depan mereka. "Ga nyangka udah tahun 2022 aja." Ucap Binar. "Thanks udah jadi sahabat terbaik gue selama 4 tahunan lebih ini." Binar memandang satu persatu temannya. Dhani, Ana dan Tiara adalah orang-orang yang membuatnya mampu menjalani 4 tahun dengan menyenangkan di Jakarta. Mereka sudah berteman dari mereka masih semester 1 hingga satu persatu dari mereka wisuda. Kecuali Dhani, gadis itu masih ngaret menyelesaikan skripsinya yang tak kunjung usai.

"Justru kami yang harus terimakasih sama Lo, Bi. Tanpa Lo hidup kami gak ribut dan gak ribet." Celutuk Dhani.

"Sialan lu Dhan. Tapi tanpa kalian, hidup gue pasti bakalan flat banget. Kalau gue umpamain kalian itu kayak jerawat djmuka. Beban, tapi bikin hidup gue lebih rame."

"Eh si anjir. Lo yang jadi beban. Pergi kampus harus dijemput, pulang harus diantar." Sahut Tiara.

"Gantinya gue ngasih tugas gue dijadiin contekan sama kalian."

"Eleh. Kok jadi perhitungan banget sih. Sama-sama beban aja ribet." Kali ini Ana menimpali. Daripada kedua teman Binar lainnya, Ana adalah yang paling pendiam.

"Beban keluarga, beban teman, beban kampus, beban masyarakat dan beban negara. Udahlah mati aja. Pada gak guna banget hidupnya." Celoteh Binar. Kepalanya langsung kena getokan pelan dari Dhani.

"Eh taik. Lo kira kepala gue mobil penyok apa. Bisa digetok magic." Omel Binar. "Pegang dia Na. Gue mau bales." Tangan Binar berusaha menjangkau kepala Dhani, namun perempuan itu lebih dulu berkelit menghindari tangan Binar.

"Gue bisa bantu, Bi." Ucap Tiara sambil menarik tangan Dhani lalu mengetok kepala temannya itu. Dhani mencak-mencak kesal sementara Binar dan Tiara terbahak puas. Hanya Ana yang menggeleng pasrah dengan kelakuan random teman-temannya.

"Diem woi. Meja kita jadi perhatian semua orang. Sial banget gue bisa temenan sama makhluk astral kayak kalian. Bikin malu di mana aja." Gerutuan Ana membuat gadis-gadis itu terdiam. Benar, sekarang seluruh pengunjung di restoran itu menatap kearah mereka.

"Karena gue cantik." Kata Binar penuh percaya diri. Sementara temannya yang lain langsung menyoraki kepedeannya itu. Pertama kali dia menginjakkan kaki di Jakarta, Binar berpikir bahwa kelak ketika dia kembali pulang ke Bandung dia pasti akan pulang dalam keadaan yang lebih dewasa. Tapi nyatanya mendapat teman-teman yang tak kalah somplaknya membuat Binar harus mengenyahkan semua pemikirannya itu. Toh, apa sih yang dia kejar dari kedewasaan. Dia bahagia menjadi diri sendiri. Menerima diri apa adanya juga dewasa kan?

"Ehh jatuh!" Teriak Binar heboh ketika ada anak kecil yang jatuh tepat di sampingnya. Binar segera bangkit dan membantu anak itu.

"Makasih, Kak." Bocah laki-laki itu segera berlari kemejanya setelah mengambil bolanya yang sempat menggelinding. Seorang pria menyambut sambil memeluk bocah itu dengan sayang. Binar tertegun. Ada sedikit rasa aneh yang menggelitik dalam dadanya. Jika saja dia bisa mengulang sedikit saja waktu. Dia berjanji tidak akan seegois dulu. Jujur saja dia rindu bayi yang pernah meringkuk di rahimnya itu. Binar menarik napas panjang. Tak ingin menangis di depan teman-temannya.

"Napa Lo? Kepincut duda?" Tiara menyenggol siku Binar yang masih melihat kearah meja si anak yang terjatuh tadi.

"Apaan sih." Binar tergelak.

Broken Touch (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang