Part 14

39.1K 2.5K 51
                                    

Roda ban sepeda motor berputar pelan membelah jalan raya. Selanjutnya meninggalkan kota dan masuk ke pemukiman sepi yang harus melewati gang-gang sempit. Baik sipengendara maupun sipenumpang, sama sekali tidak ada yang membuka suara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dari wajah-wajah pucat itu jelas sekali kelihatan kalau mereka sedang ketakutan. Takut jika langkah yang mereka ambil ternyata salah.

"Di sini?" Binar yang pertama kali membuka suara setelah keheningan sepanjang perjalanan.

"Iya." Jawab Diah. Dia sendiri kurang yakin dengan jawabannya namun dia sudah mengendara sesuai alamat yang mereka dapatkan.

"Kamu yakin, Di?" Binar memastikan sekali lagi. Khawatir kalau mereka telah mendatangi alamat yang salah.

Kedua remaja itu memandang lurus ke sebuah rumah berlantai dua yang berdiri kokoh di depan mereka. Berkali-kali mereka memeriksa alamat yang tertera di ponsel lalu kembali memerhatikan rumah tersebut.

"Tapi ini udah sesuai lho, Bi. Emang ini alamatnya." Diah menyakinkan Binar bahwa mereka telah berada di alamat yang benar walaupun dalam hatinya dia berharap perempuan itu memilih untuk meninggalkan tempat itu saja. Mungkin setelah hari ini dia akan pulang kampung dan bersujud di bawah kaki neneknya. Meminta maaf karena telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak benar padahal dia diizinkan pergi ke kota itu untuk tujuan belajar. Namun apa yang dilakukannya malah terlihat seperti orang tak berilmu. Tapi di sisi lain dia juga kasihan pada teman dekatnya itu.

"Tapi kok sepi banget ya, Di?" Binar menatap ragu ke arah Diah. Merasa kalau mereka memang salah alamat. Tapi dari plang nama yang ditemukannya di depan rumah itu jelas menunjukkan kalau mereka memang telah sampai di alamat yang benar.

"Terus kamu mau gimana? Serame di pasar?" Diah berdecak kesal dengan keraguan Binar. Jika memang tidak ingin masuk ke dalam harusnya perempuan itu langsung mengajaknya pulang saja bukannya berdiri bak orang bodoh selama bermenit-menit di depan pagar rumah itu.

"Auuu!" Pekikan Diah menggema saat tangan Binar menyentil dahinya kasar.

"Maksudku ini sepi banget. Masak sama sekali gak ada orang sih?" Binar celingukan melihat ke balik pagar, "gak mungkin kan cuma aku yang mau melakukan itu?" Tanya Binar gusar.

"Ya ampun Bi. Kamu bego banget sih. Tempat seperti ini kan memang harus tertutup. Gak boleh mencurigakan. Namanya aja praktek ilegal." Diah berkata dengan ekspresi meremehkan. Sementara Binar hanya berdecih kesal.

"Ya kan siapa tahu cuma aku aja."

"Iya memang cuma kamu aja yang mau melakukannya. Perempuan lain terlalu pintar untuk melakukan itu." Sarkas Diah tajam. Sebenarnya dia telah menolak habis-habisan untuk menemani Binar. Tapi perempuan itu bilang akan tetap nekat pergi sendiri walaupun tidak ada yang menemani. Daripada terjadi apa-apa dengan temannya itu lebih baik dia ikut saja.

"Kamu gak tahu rasanya gimana, Di." Binar menunduk. Hampir saja menangis lagi. Perempuan itu mengelap hidungnya yang mulai berair lalu menatap lurus ke rumah di depannya, "ayo masuk aja!" Ajaknya pada Diah.

Binar melangkah lebih dahulu sedangkan Diah mengikutinya di belakang. Ada rasa bersalah pada diri gadis itu setelah melepaskan ucapannya tadi. Binar benar, dia tidak tahu rasanya bagaimana. Dia tidak seharusnya menyindir Binar begitu. mungkin perempuan itu juga tidak ingin melakukannya namun keadaan memaksanya menempuh langkah yang salah. Itu terlihat dari langkah Binar yang menapak ragu-ragu melewati pintu pagar. Semua pasti terasa berat untuk temannya itu.

Broken Touch (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang