Lelaki itu masih di sini juga.
Isubokuro tak sempat mengobrol dengannya, sekadar bertukar sapa dan kata-kata singkat saja. Hai, hari ini chai latte lagi? Yah, seperti biasa, trims ya. Tidak masalah. Begitu-begitu saja yang saling terlontar dari bibir mereka. Kemarin, minggu lalu, hari ini, tidak banyak yang berubah. Selalu yang dipesan chai latte, meski namanya latte tapi sebenarnya tidak mengandung kopi sama sekali. Isubokuro pertama kali menyarankannya dari daftar menu tiga tahun lalu waktu teman-temannya datang berkunjung, seminggu setelah ia bilang mulai bekerja sambilan di sebuah kafe. Sejak saat itu Sou nyaris selalu memesan minuman yang sama, soalnya aku emang nggak bisa minum yang pahit-pahit, katanya. Tidak masalah, tentunya. Kendati Isubokuro tak sepenuhnya paham mengapa bocah itu rajin sekali datang ke kafe tempatnya bekerja terlepas dari bisa-tidaknya ia minum kopi.
"Aku nggak bawa payung," ujar Sou, tadi ketika berhadap-hadapan dengan Isubokuro yang habis memanggil namanya dari balik meja konter. Sorot matanya sedikit memelas. Isubokuro melirik ke arah pintu kaca; beberapa orang melintas, wajah mereka sama kelabunya dengan mendung di atas kepala. Hampir semuanya tampak terburu-buru ditemani segenggam payung. Barangkali Sou adalah satu-satunya manusia di kota yang cukup teledor untuk meninggalkan payungnya.
"Lupa nonton laporan cuaca tadi pagi?" tanya Isubokuro, mendorong chai latte yang telah ia letakkan di meja. "Udah tau lagi pertengahan Juli begini. Kemarin hujan juga, kan?"
Sou hanya cemberut seraya meraih minumannya, pertanda sedang tidak ingin mendengar ceramah tidak perlu. Mau tak mau Isubokuro melanjutkan, "Boleh di sini sampe reda, kok."
"Kalo nggak reda-reda gimana?"
Dasar. Padahal hujan saja belum, sudah berpikir yang jelek-jelek. Salah sendiri jadi orang kok kurang teliti. Kehendak hati Isubokuro membanjiri telinga Sou dengan omelan-omelan panjang. Namun saat ini masih jam kerjanya dan ia bukannya dibayar untuk mengomel ke pelanggan. "Sifku sampe tutup nanti malem," tambahnya.
Ada perasaan lega ketika dilihatnya wajah gembira Sou, entah kenapa. Mungkin Isubokuro tidak sejahat yang ia sendiri kira. Mungkin tidak masalah mengantar Sou sampai stasiun terdekat dengan satu-satunya payung yang Isubokuro punya. Betul, sampai stasiun saja, tidak perlu sampai rumahnya. Atau lebih baik ia antar ke minimarket saja, supaya Sou bisa beli payung sendiri?
Isubokuro tak sempat melanjutkan kontemplasinya. Ia bisa dengar hujan yang terjun deras di luar.
.
"Masih di sini?"
Suara familier itu mencuri atensi Sou. Ia mendongak lantas terserang segelintir penyesalan ketika lehernya yang kaku mengeluarkan bunyi seram. Tentu saja, lelaki di hadapannya terlalu sibuk menyeka titik-titik embun pada jaketnya untuk menyadari; saat menoleh tahu-tahu disambut ekspresi gelap di wajah Sou yang membuat pemuda itu berpikir barangkali presensinya tidak diinginkan di sini.
"Sou-kun ... nggak papa?" bisiknya lirih.
Yang ditanya cuma mengacungkan jempol.
"O-oke—eh?! Kok tiba-tiba berdiri?!"
Bukannya mendapat jawaban, Wolpis Kater malah terpaksa berdiam diri menyaksikan temannya menggerak-gerakkan tubuh seperti anak SD di halaman sekolah pukul tujuh pagi. Sebelah tangan di telinga, kepala dimiringkan ke kiri-kanan. Kedua tangan dinaikkan, tubuh dimiringkan ke kiri-kanan. Kepala diputar searah jarum jam. Kedua tangan diputar layaknya kincir angin. Wolpis bengong. Seolah sudah 15 menit rasanya ia memandangi peregangan tubuh Sou ketika akhirnya ia bisa mengalihkan pandang ke sekeliling. Untungnya, kafe petang itu sudah cukup sepi, sisa pelanggan yang saling duduk berjauhan dapat dihitung dengan jari.