In This House We: [EveSou]

649 74 2
                                    


Eve & Sou

brother!AU

Cerita ini terinspirasi dari fanart buatan @MATUGEc000 di Twitter (https://twitter.com/MATUGEc000/status/1091646760915656704?s=19) lucu banget gaes ayo dilike dan diretweet!!!



Ketika terbangun, Eve tersadar jam dinding kamarnya berbunyi patah-patah seiring bergeraknya jarum panjang setiap satu detik. Pukul delapan. Selain itu sunyi. Kamarnya gelap dan seingatnya ia belum sempat menutup jendela.

Masih dengan kedua kelopak mata bagai direkatkan lem kayu, lelaki itu bangkit dari tempat tidur lantas menyalakan lampu dan dibuat semakin sulit membuka mata. Silau sekali--Eve butuh beberapa detik untuk menyesuaikan intensitas jatuhnya cahaya pada retinanya, kemudian memutuskan untuk menghampiri jendela sebelum keluar dari kamar.

Aneh. Jendela itu sudah tertutup rapat, bahkan gordennya melebar rapi menutupi sepanjang kaca. Jika Eve tidak salah ingat, dirinya baru pulang tengah hari tadi. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyambungkan ponsel pada kabel pengisi baterai, berganti baju, dan yang terakhir adalah rebahan di kasur. Ia yakin tidak sempat menutup jendela sebab tak sampai lima menit ia sudah dibawa ke alam mimpi.

Atau sejak awal Eve hanya terlalu capek dan tidak sadar kalau jendelanya memang tidak terbuka?

Ah, peduli amat dengan jendela. Perutnya tiba-tiba berbunyi, minta makan. Detik berikutnya lelaki itu sudah melangkah keluar ruangan, berjalan lurus menuju kamar mandi namun sedikit terinterupsi sosok adiknya yang tengah duduk-duduk di depan televisi. Sibuk bermain Biohazard.

"Oh--Kak Eve? Sudah bangun?"

Eve hanya mengangguk. Meski ia tahu betul fokus sang adik sepenuhnya tersedot oleh layar televisi dan seperangkat joystick. Barangkali Sou tak akan menyadari respon sekecil anggukan singkat tanpa suara.

Memang tidak. Akan tetapi Eve sendiri tak sadar dirinya tengah diperhatikan segera setelah punggungnya membelakangi posisi duduk Sou. Pemuda tersebut bahkan tak peduli saat mendengar tawa cekikikan Sou, lebih memilih untuk khidmat mengucek mata dan menyalakan kran air.

Suara air mengalir terdengar menenangkan. Tidak menyebalkan seperti detak jarum jam atau tawa tertahan Sou. Selepas mencuci muka dan tak sengaja membasahi poninya, Eve meraih sikat gigi, menekan keluar sejumput pasta gigi, lalu mulai menggosok giginya. Tangannya bergerak teratur, naik-turun, maju-mundur, lalu mendadak berhenti.

Eve termenung. Suasana tiba-tiba saja senyap kala ia memandang pantulan dirinya di cermin. Kran yang sudah dimatikannya tak lagi meneteskan barang sebutir air. Tak terdengar suara apapun dari luar pintu kamar mandi--dan Eve tersadar akan sesuatu.

Ada yang salah.

Sou 'kan sedang main game horror, kenapa dia malah tertawa cekikikan? Apa yang lucu dari sebuah game horror? Kenapa harus tawa tertahan yang menyebalkan? Padahal kalau Sou mau tertawa mah tinggal tertawa keras-keras saja.

Agaknya Eve tak punya pilihan lain.

"Sou-chan?"

Panggilan itu menghentikan gerakan tubuh sang pemilik nama. Sou yang tadinya masih duduk manis di sofa depan televisi tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan terpaksa lelaki itu menarik kembali tangan yang hampir menyentuh kenop, menoleh pelan-pelan ke belakang--ke arah Eve yang tengah tersenyum misterius.

Sou menelan ludah. Senyum kakaknya itu barangkali tak hanya bisa memacu debar jantung kaum perempuan, namun juga jantung adiknya sendiri. Tentu saja, dalam artian berbeda.

"Sou-chan."

Yabai.

Sou bergidik, memaksa otaknya bekerja memikirkan respon tercepat yang bisa diberikannya saat itu. Hasilnya adalah rencana klasik. Senyum balasan yang tak kalah manis, wajah sok imut (yang untungnya memang imut), dan panggilan andalan, "Eve-sensei?"

Sayang sekali. Tidak semudah itu, Fergusou.

Masih dengan kurva terplester di wajah, Eve menghapus distansi antara dirinya dan Sou. "Sou-chan, boleh aku tanya sesuatu?"

"Boleh, Eve-sensei."

Dih. Sensei mbahmu.

"Sou-chan tadi masuk ke kamarku?"

Sebuah anggukan pelan.

"Jadi," ujar Eve, diikuti jeda sebentar tepat saat ia berhenti di hadapan Sou, "tadi kau yang menutup jendela kamarku, ya?"

Anggukan kedua.

Eve terdiam sebentar. Agak terkejut karena Sou mengaku semudah itu. Mungkin adiknya sudah belajar untuk meningkatkan rasa tanggung jawab. Namun, senyum dan wajah lucu di hadapannya itu masih mencurigakan.

"Coba beritahu aku," Eve mencondongkan wajahnya seraya tersenyum lebih lebar lagi, "apa lagi yang kau lakukan selain menutup jendela, hm?"

"Eh--apa, ya...? T-tidak ingat...."

"Oh, ya?"

Sou mundur satu langkah--sialnya, punggungnya malah menabrak pintu. Menyeramkan, ia sekarang terjebak.

"Sou-chan?"

"I-iya, Eve-sensei."

"Apanya yang 'iya'?"

"Sou minta maaf, Sensei."

Sebelah alis Eve terangkat. "Kenapa minta maaf?"

"E-eh, itu ... rambutnya Kak Eve...?"

"Ada apa dengan rambutku?"

"K-karena hari ini Hari Twintail Nasional ... jadi aku pikir bakal lucu kalau rambut Kak Eve dikuncir dua...."

Terdengar hela napas pendek, Eve melipat kedua tangan di depan dada lantas berbalik--membelakangi Sou yang masih ngeri. Kendati lelaki muda itu tak bisa menahan diri untuk tidak memandang rambut jamur Eve yang telah ia modifikasi. Ada dua kuncir kecil di sisi kanan dan kirinya.

"Rambut Kak Eve betulan lucu ko--"

"Kalau sampai kau lakukan lagi, awas saja."

Mati aku, batin Sou.

Menjahili kakak adalah salah satu hobi Sou yang penuh resiko. Selain jadi bahan tertawaan, hal itu juga dapat membantunya agar lebih dekat dengan Eve. Kesampingkan konsekuensi yang bakal didapat di akhir, Sou tentunya punya alasan lain atas segala yang ia perbuat.

"Kalau mau Kak Eve boleh kuncir rambutku juga kok."

Buat menghibur Eve sendiri, misalnya.

Untuk pertama kalinya di bulan Februari yang sibuk, Sou akhirnya mendengar gelak tawa Eve, dan rasa-rasanya ia tak pernah merasa selega ini.

𝙐𝙩𝙖𝙞𝙩𝙚 𝙊𝙣𝙚𝙨𝙝𝙤𝙩(𝙨)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang