Menantang Maut [Sou]

542 49 2
                                    

Sou & Fem!OC

romance; comedy; fluff

teen


bagian pertama dari mini-series yang ditulis tanggal 14 Februari



|B|agi Sou, menantang maut tak perlu semencekam menyebrang jalan saat lampu hijau, atau berdiri terlalu dekat dengan rel saat kereta mau lewat. Menantang maut bisa dirasakan sesimpel tanggal empat belas Februari, dan seorang gadis yang hatinya sukai.

“Apa, nih?”

Sulit sekali berusaha tenang kalau sumber rasa gelisahmu ada di depan mata. Terus terang, Sou bukan tipe orang yang mudah gugup. Kapan terakhir kali ia kena demam panggung? Mungkin di hari ujian praktek sastra ketika dirinya masih SMA. Ujian itu mengharuskannya membaca puisi kuno dengan makna yang sama sekali tak dimengertinya. Agaknya demam panggung itu disebabkan oleh rasa takut bakal dapat nilai jelek.

Sou memang tidak pernah menyukai situasi tidak menentu. Ia tidak suka dibuat menerka-nerka, di bagian mana perbuatannya memengaruhi peta takdir? Jalur mana yang berubah? Ke mana ia akan dibawa?

Sou menelan ludah.

“Aku nggak mau bilang. Nanti nggak jadi kejutan, dong.”

“Emangnya tadi kamu bilang kalau ini kejutan?”

Agaknya kali ini benang takdir Sou kusut, membentuk buntalan simpul yang sulit terurai. Sang pemuda menghela napas. “Buka aja.”

Meski masih ingin protes, gadis di hadapan Sou menurut saja. Ia membolak-balik lipatan kertas di tangannya, sedikit heran kenapa selembar olahan pohon saja bisa membuat Sou jadi sok misterius begitu. Lagipula—bagian mana, sih, yang harus dibuka?

Gadis itu baru saja hendak bertanya, namun Sou cepat-cepat menyambar objek observasi tersebut. “Lama, ah. Masa begini aja nggak bisa?” ujarnya lantas membuka hati-hati lipatan kertas itu. Peka sekali.

“Kan kamu yang tiba-tiba kasih tanpa bilang apa-apa. Wajar dong kalau aku bingung?”

Sou tidak punya waktu untuk berdebat. Apalagi jika lawan bicaranya adalah gadis yang satu ini—bisa-bisa sampai tanggal 31 Februari pun tidak akan selesai. “Kali ini, tolong jangan bingung lagi, ya?”

Permintaan itu sulit sekali.

Kertas yang tadinya terlipat seukuran setengah telapak tangan kini terbuka lebar. Di tengah tergambar beberapa kotak kecil yang membentuk tabel, di bawahnya ada kalimat-kalimat pendek. Tidak jelas sekali, persis dengan lelaki yang tengah menggenggam ujung atasnya.

Gadis itu menyipitkan mata.

“Apa, nih?”

“Hadeh.”

Terdengar tawa geli bercampur rasa heran. “Apa, sih? Nggak jelas, aku nggak paham.”

Dengan rasa gugup yang tergantikan kesal, Sou membalik kertas itu. Sesaat matanya menelisik permukaan bergambarnya, memastikan apakah yang tertulis di sana memang semembingungkan itu atau gadis ini saja yang terlalu bodoh?

“Satu mendatar. Nama gunung tertinggi di dunia.”

"Ohhhhhh—itu TTS?”

Sebuah anggukan. Kertas itu kembali dihadapkan kepada sang gadis. Sebentar—ada yang aneh.

“Kenapa udah dijawab semua?”

Sou tersenyum. “For your informeshon, ada tren di internet berupa memberi TTS yang udah terisi penuh.”

“Tren mana? Aku nggak pernah dengar.”

“Mainmu kurang jauh. Pokoknya, karena isi TTS itu bikin pusing, dan aku nggak mau bikin orang lain pusing, jadi aku yang jawab TTSnya buat kamu. Bilang makasih dong?”

“Sialan. Terus apa poinnya kamu kasih ke aku? Aku juga pengen isi TTS sendiri.”

Sou tidak menggubris. “Kebetulan, aku nggak jago isi TTS. Jadi kebanyakan cuma asal jawab. Bisa bantu koreksi, nggak?”

Merepotkan betul pemuda satu ini. Katanya tidak ingin membuat orang lain pusing tapi kerjanya tidak jauh-jauh dari merusuh. Pantas Sou tidak becus isi TTS. Dalam sekali lihat saja sudah ketahuan, jawabannya ngawur semua.

Tiga menurun: Siapa presiden pertama Amerika Serikat?
Jawaban: Aku.

Bodo amat anjir.

“Kamu kok bodoh, sih, Sou?”

“Sembarangan. Kalau aku bodoh, mana bisa aku kuliah di sini.”

Gadis itu menghela napas. Kini ia yang menyesal karena telah ditakdirkan kuliah di tempat yang sama dengan makhluk bernama Sou. “Ini pasti salah semua. Aku nggak punya keinginan buat koreksi.”

“Ya udah.”

“Ya udah.”

“Baca aja kalau gitu.”

“Hah?”

Sou mengedikkan bahu. “Baca coba. Jawabannya aja. Urut dari nomor satu, mendatar terus menurun.”

Memahami Sou adalah satu dari delapan keajaiban dunia. Kalau kamu bisa mengerti maksud dari perkataan dan ucapan Sou tanpa bertanya atau mengeluh, pemerintah wajib memberimu bebas pajak. Sayangnya, meski pada akhirnya menurut saja dengan kemauan Sou, gadis yang satu ini masih kesulitan menahan diri untuk tidak sambat.

“Kamu sebosan apa, sih? Nggak ada pekerjaan? Kenapa tiap hari malah produktif di bidang aneh-aneh begini?”

Tidak ada jawaban maupun protes dari oknum yang dituju. Sementara Sou setia mematung dengan tangan terlipat di depan dada, gadis di hadapannya sabar merangkai satu persatu kata yang tertulis acak di tabel teka-teki silang. Ada yang ditulis melebihi jumlah kotak, ada yang menyisakan banyak kotak kosong. Ganjil betul.

Jujur saja, gadis itu berharap semua keanehan ini akan berakhir kalau ia berhasil melaksanakan permintaan Sou. Namun, semua justru terasa semakin ganjil lagi saat semua kata itu terkumpul menjadi satu.

Mendatar: Hari. Ini. Empat. Belas. Februari. Menurun: Hari. Ini. Aku. Masih. Suka. Kamu.

Ada jeda beberapa detik yang dihabiskan gadis itu untuk mengerutkan dahi, menurunkan kertas dari hadapan wajahnya, lantas memandang sosok pemuda yang menjadi sumber kegundahan hati dan pikirannya.

Masih ada sisa-sisa rasa gugup yang dibenci Sou, tapi itu saja tak bisa menghentikan gerakan tangannya. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebatang cokelat yang tadi dibeli di konbini dekat rumah, lalu menyodorkannya pada gadis itu.

Ia kemudian disambut oleh wajah terkejut. Beserta debar jantung yang bersembunyi di antara sunyi mencekam—semencekam menantang maut.

𝙐𝙩𝙖𝙞𝙩𝙚 𝙊𝙣𝙚𝙨𝙝𝙤𝙩(𝙨)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang