“Kak?”
“Ya?”
Suara itu terdengar jauh sekali, seolah pemiliknya sedang berada di dasar sumur kering. Sou bergeming, memikirkan apakah kakaknya sekarang ada di kamar tidur, kamar mandi, atau di basemen rahasia yang bersikeras disembunyikannya dari Sou (yang tentu saja tidak ada karena mereka tinggal di gedung apartemen bertingkat). Karena malas menebak-nebak, sang pemuda akhirnya melanjutkan, setengah berteriak, “Ketumbarnya di mana, Kak?”
Atensi Sou masih sibuk menyisir kolong gelap dalam laci-laci di bawah kompor, bukan tempat cocok untuk mencari keberadaan ketumbar. Namun ia sendiri telah mengobrak-abrik meja dapur, kulkas, serta deretan laci yang tertanam pada tembok di atas kepalanya. Benda yang dicari-cari tak ada di manapun. Padahal seingatnya—Sou tidak ingat apa-apa, kakaknya lah yang berperan pergi belanja sekaligus menata barang-barang di rumah.
“Ada di sini.”
Mendongak, pemuda itu mendapati sosok kakaknya telah berdiri menjulang dengan stoples penuh butir-butir ketumbar di tangan kanan. “Maaf, aku lupa tadi ada di meja ruang duduk,” ujar sang kakak ketika Sou berdiri lantas mengusap-usap lututnya yang sedikit nyeri (sudah mirip kakek-kakek).
“Kenapa bisa nyasar di situ?” tanya Sou seraya meraih stoples.
“Karena baru kuisi.”
Jawaban yang justru menimbulkan pertanyaan lain. Apa hubungannya ruang duduk dengan ketumbar? Memangnya mengisi stoples ketumbar harus dilakukan di ruang duduk? Sou bertanya-tanya selagi terus memandang isi stoples. Di belakangnya, sosok sang kakak telah berbalik pergi hendak kembali pada entah apa yang tengah dilakukannya tadi. Namun, langkahnya terpaksa terhenti karena seruan terkejut dari bibir Sou. “Kak Eve!”
Eve, tak kalah terkejut, menoleh kembali lantas dihadiahi kedua manik Sou yang melotot marah.
“Kenapa ketumbar dicampur sama merica?!”
∞
Sou ngambek.
Ah, bukan—Eve tidak begitu yakin antara Sou memang ngambek atau cuma perasaannya saja. Terakhir kali ia mengira Sou lagi ngambek karena kesalahannya, ternyata adiknya itu sedang duduk berpangku tangan di sebelah bapak-bapak pasar swalayan, gara-gara tersesat di dalam sana sedangkan ponselnya mati kehabisan daya.
Semakin bertambah umur, manusia memang jadi semakin kompleks. Semakin sulit pula untuk Eve memahami apa yang tersembunyi di balik wajah murung Sou, mana yang sebenarnya dimaksud jawaban ‘terserah’ saat Eve bertanya adiknya mau makan apa—apakah sushi atau udon pinggir jalan? Hakikatnya memang mustahil menebak-nebak isi hati manusia, tapi, Eve merasa pengalaman nyaris dua puluh lima tahun mengemban tugas sebagai kakak laki-laki seharusnya bukan malah menghambatnya memahami sosok sang adik.
Singkatnya, Eve tidak tahu apakah Sou masih marah padanya atau tidak, sebagaimana ia masih tidak mengerti cara membedakan ketumbar dan merica.
Ini semua gara-gara ketumbar dan merica. Seandainya saja Eve tidak ngadi-ngadi memindahkan lima bungkus ketumbar (yang belakangan diketahui ternyata tiga bungkus merica dan dua bungkus ketumbar) ke dalam stoples yang memang biasa digunakan sebagai wadah ketumbar, barangkali kekacauan ini tak akan terjadi. Dan Sou tidak bakal keluar rumah sampai selarut ini.“Tadi, sih, katanya pergi main sama Wolpis.” Demikian jawaban Isubokuro di telepon, setelah Eve menanyakan keberadaan Sou yang pamit nongkrong ke kafe tempat kawannya bekerja. Saat itu Eve terlalu sibuk memisahkan butir-butir ketumbar dan merica dengan teliti sehingga tidak begitu memperhatikan adiknya yang tiba-tiba keluar rumah—jangankan begitu, mengucapkan ‘hati-hati di jalan’ saja tidak sempat karena Sou keburu membanting pintu depan.
Sebenarnya ini bukan pertama kali Sou terlambat pulang. Sejak dua tahun lalu, bocah itu suka main keluar waktu malam Minggu, mentang-mentang sudah usia legal. Memang sulit dipercaya, Sou yang manis, lucu, dan lebih suka menghabiskan akhir pekan main game di kamar ternyata bisa berpindah hobi jadi dugem sampai pagi. Well, Eve tidak pernah melarang asal adiknya dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri—artinya harus mengabari ia sedang di mana, dengan siapa, akan pulang jam berapa (yang mana tidak dilakukannya dengan baik saat ini).
Lagipula, Sou sudah terlalu tua untuk dilarang-larang. Tidak adil rasanya kalau membatasi apapun yang dilakukan Sou, hanya karena Eve punya titel seorang kakak. Toh, pemuda itu tidak melakukan hal ilegal, Sou seorang warga negara yang baik, dan Eve percaya adiknya cukup dewasa untuk memahami mana yang baik dan buruk untuk dirinya.
Menghela napas, Eve mencoba menghubungi Wolpis Kater. Ia mengirim pesan, tapi tidak dijawab. Ia menelepon, tapi malah diterima suara mbak-mbak operator. Sang pemuda mulai gelisah, dua stoples berisi butir-butir kecil berwarna cokelat berdiri di hadapannya, di atas meja sempit dengan kursi kosong di seberang Eve. Mereka seolah tengah mengejeknya, kursi itu biasa ditempati Sou.
Usia Eve nyaris dua puluh lima tahun, dan ia mengkhawatirkan adiknya yang tak kunjung pulang ke rumah.
Tangan sang pemuda meraih ponsel, hendak menelepon nomor yang sama untuk kelima kalinya. Namun gerakannya terhenti sebab mendengar suara tiba-tiba.
Ponselnya bergetar—tidak, ya, ponselnya memang bergetar tapi bukan itu asal muasal suara yang tiba-tiba sampai ke rungunya. Layar benda persegi itu berkedip, memunculkan nama ‘Wolpis Kater’ dan tombol dengan simbol gagang telepon di bawahnya. Tetapi Eve tak repot-repot memperhatikan, ia telah beranjak hingga nyaris menggulingkan kursi kemudian melangkah cepat-cepat menuju pintu depan.
Tadi itu suara kunci pintu yang diputar. Tapi Eve telah meninggalkan pintunya tidak terkunci sejak Sou pergi.
Di hadapannya, kenop pintu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Terdengar gumaman familiar dari balik sana, seseorang tengah kebingungan selagi berusaha membuka benda itu. Tanpa basa-basi, Eve berjalan mendekat, meraih kunci yang masih menancap lalu memutarnya perlahan. Selepas menarik daun pintu, tampak sesosok Sou mematung di sana, menenteng kantong kertas belanjaan di sebelah tangan.
“Terima kasih,” ucap lelaki itu, setengah berbisik. Eve menggeser tubuh untuk memberinya jalan masuk.
Sou berjalan terhuyung, tidak seimbang seolah bisa tiba-tiba jatuh terantuk kakinya sendiri. Eve mengikuti di belakangnya, tak bicara sepatah katapun hingga keduanya sampai di dapur. “Anu..,” ucap Eve, pandangannya tak lepas dari sosok sang adik yang kini membuka kulkas. “Sou-chan, habis beli apa?”
Menoleh, Sou menatap kakaknya sebentar, lalu kembali menatap benda bulat di tangannya, begitu terus selama beberapa detik. “Ah, ini,” jawabnya kemudian. Objek yang dibicarakan tidak jadi dimasukkan kulkas, kini malah disodorkan ke hadapan Eve. “Tadi aku ke supermarket, terus ketemu melonpan besar banget!”
“Aku nggak pernah lihat melonpan sebesar ini. Kak Eve pernah? Hebat, ‘kan? Bisa buat sarapan bareng besok pagi.”
Bergeming, sepasang manik Eve menatap lekat-lekat benda putih bulat di genggaman Sou. Awalnya ia mengira matanya siwer, tapi semakin diperhatikan ia semakin yakin. Itu bukan melonpan, tapi kembang kol.
“Sou-chan,” panggill Eve, tangannya terangkat mengguncang pelan bahu Sou yang tampangnya kini sebingung nenek-nenek habis kena copet. “Kamu nggak boleh minum alkohol sampai tiga minggu ke depan.”