“Woi, Kursi!”
“Di sebelah sana banyak kursi kosong, Mas—“
“Saya lagi panggil Anda, Bambank.”
Isubokuro diam, berkedip, ekspresinya jengah. Dalam hati tak bisa menyanggah karena ucapan lelaki di hadapannya ini memang ada benarnya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Isubokuro sesaat kemudian. Mottonya adalah, menghindari perdebatan dengan langsung menuju inti pembicaraan.
Alih-alih dijawab oleh si pemuda-menyebalkan-dengan-rambut-kuncir-kuda tadi, pemuda lain di sebelahnya menyambar, “Mau refill gratis, dong!”
Edan.
Ini coffee shop terkenal di kota metropolitan, tahu. Dikira kayak refill ocha di restoran sushi sebelah, apa?
“Boleh refill,” jawab Isubokuro, “tapi bayar.”
Lawan bicaranya kecewa, memasang wajah memelas yang sejatinya amat dibenci Isubokuro karena terlihat imut. Sementara pemuda satunya mendesah seolah baru mendengar lelucon yang sama untuk ke sekian kalinya. “Ayolah, ‘kan kita temen?”
“Maaf, ya, Wolpis. Tapi hutang yang bulan lalu aja belum kamu bayar, lho.”
Tertohok, Wolpis Kater bungkam. Di sebelahnya, Sou melirik penuh dendam. “Gara-gara Wolpis, sih, Isu-kun jadi pelit begini.”
“Nggak ada hubungannya sama Wolpis, kok.” Isubokuro melipat kedua tangan, memandang kedua kawannya itu bergantian. “Kalau masih ngotot mau gratisan, mending beli kopi saset terus bikin sendiri sana.”
Di telinga Wolpis, kalimat tersebut kedengaran seperti usiran halus (dan niatnya Isubokuro memang begitu). Tanpa menunggu aba-aba, lelaki itu merapatkan topi yang dipakainya lalu segera berbalik ke arah pintu keluar.
“Ayo, Sou.”
Sementara Sou (yang sebenarnya tidak tegaan tapi juga tidak menyadari kesalahannya) merenung sebentar lantas memutuskan untuk ikut berbalik, mengekor jejak Wolpis Kater. Isubokuro tertinggal sendiri di belakang meja kasir.
Ah, biarlah. Memang selalu begitu, Isubokuro sudah kelewat terbiasa dengan pemandangan semacam ini. Entah mau berapa kali kedua kawannya itu bersikap kurang ajar lantas merasa seolah mereka yang jadi korbannya. Toh, akhirnya mereka bakal datang lagi beberapa hari kemudian. Hal demikian sering terjadi hingga Isubokuro hapal. Kalau sudah begini, ia tak punya solusi selain fokus pada pekerjaan—
“Ada meja kosong, Mas?”
Dua orang pelanggan datang pada timing yang pas sekali. Isubokuro mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru coffee shop, mencari meja kosong yang kira-kira sesuai keinginan pelanggan. Ia baru saja hendak membuka mulut ketika perempuan di hadapannya menginterupsi.
“Buat enam orang, ya, Mas. Kalau bisa yang ada colokannya. Ini kita baru bertiga, nanti temen saya yang lain nyusul.”
Seharusnya kalimat itu berhasil menjawab semua tanda tanya dalam benak Isubokuro. Sayangnya si barista masih heran kenapa ada kata ‘bertiga’, padahal cuma ada dua mbak-mbak yang berdiri di depannya. Namun ia memutuskan—sekali lagi—untuk tak ambil pusing. “Kami punya shared table outdoor yang masih kosong, Mbak. Silakan dicek aja.”
“Kok shared table, sih?”
Mbaknya mulai nyolot, batin Isu. Di belakang, ia bisa mendengar dua koleganya saling berbisik, bertaruh kalau mbak-mbak ini pasti bakal pesan caffee latte empat ratus yen.
“Kita kan maunya duduk berenam. Yang di dalem ada nggak?”
Tiba-tiba ada seruan keras. “Kurokumo! Di sini kosong, nih!”
Isubokuro tidak jadi menghirup napas untuk mengucapkan serentetan penjelasan sopan yang dibuat-buat, sebab pelanggannya—yang belakangan diketahui bernama Kurokumo—menoleh mendengar namanya dipanggil. Ternyata satu perempuan lain yang tadi dipertanyakan eksistensinya berada di dekat meja pojokan, melambai-lambai ke arah kawannya. Agaknya itu memang ‘sosok ketiga’ yang dimaksud, kebagian peran mencari meja kosong.
“Ya udah, Mas. Pesen caffee latte enam, ya,” ujar Kurokumo cepat kemudian beringsut menghampiri temannya di meja pojokan.
Di belakang (lagi), salah satu kolega Isubokuro membuat gestur kemenangan, sementara kolega satunya membisikkan kata kasar karena sekali lagi kalah taruhan.
Isubokuro hanya bisa menghela napas. Hidup sebagai barista ganteng memang tidak mudah.