Okaeritte Ie
Isubokuro, Wolpis Kater, Sou (mentioned)comedy;friendship
pg-15
∞
Kafe baru saja buka. Kursi-kursi baru diturunkan dan masih perlu waktu untuk mengelap meja serta jendela-jendela kaca. Di hadapan Isubokuro, cangkir-cangkir porselen berjajar. Gelas tinggi yang baru selesai ia gosok mengilap memantulkan sinar matahari pagi, menciptakan warna cantik sekaligus kehangatan yang entah kenapa membuatnya ingin menguap.
Pemuda itu menguap lebar. Cangkir dan gelas di atas countertop segera ia pindahkan ke rak, menunggu untuk diisi cairan hitam pekat espreso sampai racikan warna-warni frappe. Isubokuro tengah memikirkan kopi macam apa yang akan dipesan pelanggan pertama hari ini, ketika rungunya menangkap bunyi pintu dibuka di belakangnya.
Kalau Minggu pagi begini pasti banyak yang pesan kopi dan kudapan untuk dine in, pikirnya, berhubung hari ini libur dan tidak banyak orang yang terburu-buru ke kantor. Barangkali pelanggan bakal datang agak siang sedikit?
“Permisi, anu....”
Suara itu datang dari balik meja kasir. Isubokuro menyempatkan dua detik untuk melirik arloji, masih pukul tujuh kurang dua puluh menit. Ternyata dugaannya salah, orang sibuk macam apa yang mau membeli kopi di kafe sepagi iniーbahkan kasir pun belum ada yang menjaga.
Isubokuro menghela napas. Sebelum beranjak ke meja kasir, ia menyeka tangan dengan sehelai serbet. Segaris senyum tipis terpatri di bibirnya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya baー“
“AhーIsubokuro!”
Ada kerutan di dahi Isubokuro.
Di sana berdiri sesosok tinggi misterius. Isubokuro sebut misterius karena memang penampilannya seperti pencopet yang sedang menyamar. Celana hitam, kaos kuning, jaket perpaduan putih-biru-toska (norak betul), masker putih bersih, topi dan kacamata hitam, serta rambut pendek yang diikat gaya ekor kuda.
Hening.
“Siapa, ya?”
“Bgst.”
∞
“Suaramu itu kenapa, sih?”
Wolpis Kater menghentikan gerutuannya, memandang Isubokuro yang masih terlihat sama bingungnya ketika mereka baru bertatap muka lima menit lalu. “Kemarin ‘kan ada live sama Gero-san.”
Jawaban normal, tumben sekali. Biasanya kalau ditanya apa-apa Wolpis suka menjawab melantur. Agaknya lelaki itu sudah terlanjur tersulut emosi, jadi sulit mau melawak. Atau jangan-jangan....
“Sejak kapan rambutmu jadi sepanjang ini?”
“Nanya mulu, dah. Nggak percaya ini beneran Wolpis Kater?”
Yah, ketahuan.
Sejak detik pertama Isubokuro menilik penampakan lelaki itu, sulit sekali menarik kepercayaan pada akal sehatnya. Seandainya sang pemuda tidak langsung berujar, “Ini Wolpis, oi! Wolpis Kater!” dengan nada ngegas, Isubokuro mungkin sudah mengusirnya keluar kafe.
“Oke, oke. Percaya, kok. Aku cuma tanya, apa masalahnya coba?”
Wolpis menghela napas. “Nggak masalah, sih. Tapi kita nggak punya waktu buat duduk-duduk ngobrol soal rambut baruku yang cantik ini.”
“Kita?”
Sebuah anggukan dan kilat mata serius. “Aku di sini membawa misi penting demi keselamatan duniー“
“ーkalau butuh bantuan mixing lagumu bilang aja lewat telepon, oke? Nggak perlu repot-repot sampai ke sini segala.”
Isubokuro beranjak dari tempat duduknya. Ini adalah pagi di hari Minggu yang bakal sibuk dan pekerjaannya masih banyak yang belum dikerjakan. Ia masih harus mengecek stok bahan, menghubungi toko kue langganan, dan seterusnya. Belum kalau tiba-tiba ada pelanggan datang. Bisa-bisa kacau dan ia bakal dimarahi atasan kalau malah sibuk mengobrol dengan Wolpis.
“Woi! Sebentar, dong! Ini penting banget! Tega ya kau, Isubokuro Sialan!”
Disebut ‘sialan’ terpaksa menghentikan langkah Isubokuro. Padahal tinggal lima langkah lagi menuju pintu dapur. “Pasti aku bantu mixing kok kalau ada waktu pulang kerja nanti. Santai aja dong, Wolpis Sialan.”
Ekspresi Wolpis masih menunjukkan ketidakpuasan. “Bukan begitu. Ini bukan soal mixing atau apa. Kau tahu nggak sih ini hari apa?”
“Hari Minggu yang artinya aku punya pekerjaan tapi kau datang pagi-pagi buat menganggu.”
“Hari ini konser one-man pertamanya Sou, goblok.”
Sepasang manik obsidian Isubokuro melebar. Hilang sudah persoalan pekerjaan yang menghantui benaknya. Di lain sisi, Wolpis terlihat puas sudah berhasil mengatai kawannya sekaligus menerima respon sesuai ekspektasi. Rasa-rasanya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.
“Konsernya hari ini?”
“Sudah kuduga, kau pasti lupa.” Wolpis berdiri, menghampiri sang kawan yang masih terlihat shock seolah melupakan hari ulang tahun sendiri. “Makanya kubilang aku membawa misi penting. Kita harus pergi sekarang.”
Mengernyit, Isubokuro ternyata masih bisa berpikir jernih. “Aku masih ada kerja.”
“Ambil libur sehari, lah! Aku harus bilang apa ke Sou kalau kau nggak mau ikut? ‘Isubokuro sibuk kerja sampai melupakan kita,’ begitu?” ujar Wolpis penuh keyakinan, lantas mengeluarkan dua lembar tiket dan backstage pass dari saku jaket noraknya.
Dasar setan penghasut.
Melihat lelaki itu masih ragu-ragu, Wolpis menambahkan, “Ayolah, aku ingin pamer rambut baru ke Sou. Nanti ongkos taksinya kubayar, deh.”
Isubokuro tidak bisa menahan senyum. Temannya yang satu ini memang keras kepala. “Ini demi Sou, ya. Lagian, rambutmu itu malah bikin kau kelihatan kayak mbak-mbak salon langganannya Sou.”
∞
Ada beberapa teori kenapa Isubokuro suka tiba-tiba menghilang dan bilang nggak bisa aktif banget sebagai utaite:
1. Dia sebenernya CEO perusahaan
2. Dia sebenernya anak kaisar Jepang
3. Dia kerja jadi baristaSaya sih paling suka yang ketiga. Tapi sejatinya saya nggak tau apakah anak Okaeritte Ie pada reuni di konsernya Sou, semoga iya. Berhubung nggak ada kabar apa-apa juga. Terus Wolpis juga masih sakit, mungkin Isu juga sibuk sama sesuatu hal lain. Saya kecewa, tapi nggak apa-apa, saya masih bisa bikin skenario sendiri. Omong-omong, rambutnya Wolpis emang selucu itu guys. Terima kasih sudah membaca!