***
Profesor Kwon tengah duduk di ruang kerjanya. Ia sudah punya beberapa rak buku baru dari calon mertuanya, namun isi ruangannya tetap luar biasa penuh. Seperti siang ini, meja pria itu sudah penuh dengan tumpukan kertas-kertas berisi draft tugas akhir mahasiswa. Pria itu punya lebih banyak mahasiswa bimbingan, hampir dua kali lipat lebih banyak dari dosen-dosen lainnya.
Ia membimbing banyak mahasiswa tentu bukan karena menginginkannya. Siapa yang senang kerja lembur setiap hari? Jiyong melakukannya sebab ia adalah cucu pemilik universitas. Pria itu tidak lulus dari kampus tempatnya mengajar sekarang. Ia lulus dari kampus bergengsi lain, lantas mendapatkan gelar lanjutannya di luar negeri. Ia sudah menulis banyak publikasi, ia sudah ikut serta di banyak acara pendidikan. Tapi semua itu sia-sia, hampir tidak terlihat karena gelarnya sebagai cucu pemilik universitas, sebagai yang mereka sebut ahli waris.
Laki-laki itu di remehkan. Dia bodoh, dia bisa bekerja karena kakeknya, karena orangtuanya. Dia tidak pernah berusaha, untuk apa dia berusaha? Padahal hanya dengan berkedip ratusan juta bisa masuk ke rekeningnya. Masalah yang ia hadapi dianggap remeh. Pencapaian yang ia terima juga dikecilkan nilainya.
Kalau ia diperlakukan dengan baik, orang akan bilang dia sedang dijilat. Tapi bagian menariknya, tidak seorang pun berani memperlakukannya dengan buruk di depan wajahnya. Orang-orang itu tersenyum di depannya, kemudian bergunjing dibelakangnya. Situasi klise yang selalu terjadi hampir di setiap cerita ahli waris. Orang-orang iri pada apa yang ia miliki tapi takut ketika berhadapan dengannya.
Di tengah aktivitas yang ia lakukan— mengoreksi draft tugas akhir para mahasiswanya— Lisa mengiriminya pesan. Dalam pesannya, gadis itu mengatakan, "Oppa, kakekmu sedang ada di kampus sekarang dan dia ingin menemuiku," tulisnya. Lepas membaca pesan itu, Jiyong langsung menelepon Lisa.
"Dimana kau sekarang?" tanyanya setelah Lisa menjawab panggilan itu.
"Baru saja sampai di rumah," balas Lisa. "Aku akan berangkat menemui kakekmu. Aku sudah bilang kalau aku bisa makan siang dengannya. Oppa mau ikut?" katanya kemudian.
"Kurasa hari ini tidak bisa," jawab Jiyong. "Aku ada kelas sampai jam setengah tiga nanti. Tapi kakekku tidak menghubungiku, aku rasa dia hanya ingin bertemu denganmu," ia menambahkan.
Lisa kemudian mengiyakannya. Ia tidak keberatan kalau harus makan siang dengan kakek Jiyong. Juga, menurut gadis itu, kakek Jiyong menyenangkan. Lebih menyenangkan dibanding cucunya yang selalu sibuk cenderung pendiam. Jiyong bukan pria yang mudah bergaul meski pria itu selalu memperlakukan orang lain dengan baik— nilai Lisa setelah beberapa bulan terakhir mengenal Jiyong.
Siang itu, Lisa dijemput di depan gedung apartemennya. Dengan celana dan kemejanya yang sopan, gadis itu melangkah masuk ke dalam mobil, menyapa sang kakek yang sudah duduk di sana dengan senyum cerianya. Kakek Jiyong datang bersama supirnya, mengatakan kalau mereka baru saja menemui ayah Jiyong di perusahaan juga Rektor kampusnya.
"Aku baru tahu kalau kampus itu milikmu, kakek," kata Lisa setelah mendenger kakeknya bicara. "Beberapa dosen memberitahuku, kalau aku bertunangan dengan cucu pemilik universitas," susulnya.
"Jiyong tidak memberitahumu?" tanya lawan bicaranya dan Lisa menggeleng. Lisa mengatakan kalau Jiyong baru memberitahunya setelah ia bertanya. Jiyong tidak berusaha menunjukannya. Sebab semakin ia berusaha menunjukan kalau dirinya keluarga pemilik universitas, akan semakin sulit juga beban kerjanya. Ia akan harus menahan beban moral juga, kalau semua orang dikampus mengetahui statusnya itu. "Tapi kurasa dia memberitahu Rektor Yang kalau dia akan bertunangan denganmu, aku dapat ucapan selamat tadi," ucap sang kakek kemudian, sementara mobil mereka melaju halus di jalanan yang belum seberapa ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasoline
Fanfiction"Malam ini tidak," katanya, menolak tawaran teman-temannya. "Aku tidak bisa lagi melakukannya," susulnya. "Aku dijodohkan, dan menerimanya. Dengan seorang mahasiswa baru di kampusku," alasannya.