***
"Dimana oppa akan makan?" tanya Lisa setelah ia meletakan makanan terakhirnya di atas piring, masih di meja dapur. "Di meja makan atau di sana?" susulnya, sementara Jiyong masih menatap handphonenya, bangkit kemudian menghampirinya ke dapur. Lisa sendiri biasa makan di meja dapur itu, sembari berdiri atau duduk di meja dapurnya sebab ia terlalu malas menata meja. Tapi karena Jiyong datang, tentu ia harus menghidangkan makanannya di meja.
Setelah selesai dengan handphonenya, Jiyong membantu memindahkan piring terakhirnya ke atas meja makan. Sedang Lisa menuangkan lagi air dingin untuk pria itu di depan lemari es. Selesai menyiapkan makanan, Lisa duduk di depan Jiyong, "jangan berharap rasanya akan luar biasa enak, turunkan ekspetasimu," katanya dan Jiyong terkekeh, mengiyakannya. Tentu pria itu berterimakasih karena di beri banyak makan malam hari ini.
"Kau hanya akan melihatku makan?" tanya Jiyong, baru saja menyentuh sendoknya.
"Oppa lebih suka makan sendirian?"
"Tidak," geleng Jiyong. "Tapi tadi di handphonemu ada pesan dari Lee Taeyong, aku tidak sengaja melihatnya," katanya, membicarakan handphone yang Lisa tinggalkan di atas meja.
Gadis itu kemudian mengangguk, menyesap segelas jus di depannya dan memilih untuk mengabaikan pesan itu. Ia bilang pada Jiyong kalau Taeyong memintanya untuk bergabung dalam BEM dan club musik di kampus. "Bukan bergabung sungguhan, karena aku tidak punya sertifikat ospek. Dia hanya ingin datang dan berkumpul bersama mereka. Katanya aku bisa jadi anggota sungguhan tahun depan, sekarang aku hanya perlu bermain dengan mereka," ceritanya.
"Kau tertarik?"
"Sejujurnya tidak," geleng Lisa.
"Oh..." Jiyong hanya mengangguk. "Omong-omong makanannya-"
"Coba tanya alasanku tidak tertarik," potong Lisa, berharap Jiyong bisa lebih antusias dengan ceritanya. "Ternyata kakekmu pendengar yang lebih baik, oppa," gerutunya.
Mendengarnya Jiyong menghela nafas, sembari melepaskan kancing kemejanya. Kancingnya yang paling atas mengunci leher memang tidak pernah di pasang, dan kini pria itu melepaskan dua kancing dibawahnya. Melihat gerakan itu Lisa mengerutkan dahinya, menatap Jiyong dengan tatapan selidik yang tidak bisa ia tutup-tutupi.
"Panas dan makananmu pedas," Jiyong menjelaskan tanpa perlu di tanya.
"Ah! AC!" seru Lisa, yang langsung berlari ke dinding dekat pintu dan menyalakan pendingin udaranya di sana. "Semalam dingin, jadi aku mematikannya. Aku lupa menyalakannya lagi. Suhunya selalu delapan belas dan akhir-akhir ini itu terasa sangat dingin," ceritanya setelah menyalakan pendingin ruangannya.
"Kenapa tidak dibuat otomatis?" balas Jiyong dari meja makan. "Atau naikan suhunya," susulnya.
"Aku tidak tahu caranya. Awalnya suhunya dua puluh. Lalu disuatu hari yang panas aku turunkan suhunya, tapi sekarang dia tidak mau naik lagi. Perbaiki itu untukku," pintanya dan Jiyong mengiyakannya, sambil terus makan. "Mau nasi lagi?" tawar Lisa, sebab Jiyong yang sudah menghabiskan nasi dan supnya, masih terus menikmati lauk lainnya.
"Sup juga," katanya, kali ini sembari menggeser mangkuk nasi dan supnya.
"Makanannya yang enak atau oppa kelaparan?" heran Lisa, yang kini melangkah untuk mendapatkan nasi dan sup lagi.
"Dua-duanya," jawab Jiyong. "Aku tidak sempat makan siang tadi. Dan tidak sempat membeli burger," katanya.
"Oppa tidak sarapan? Tapi tadi pagi aku sempat melihatmu membeli kopi di kantin," Lisa berucap sembari membawakan nasi dan supnya. "Jangan minum kopi dengan perut kosong kalau tidak mau menyesal. Asam lambungmu bisa naik sampai ke kepala lalu kau dipaksa mampir ke neraka karena tidak boleh minum kopi lagi, sepertiku," ceritanya.
"Sarapan," tenang Jiyong. "Aku makan roti saat menunggu kopinya. Kau tidak melihat yang itu?" santainya lalu kembali makan. "Jadi kenapa kau tidak tertarik dengan tawaran Taeyong?" tanyanya kemudian, setelah Lisa kembali duduk dan menenggak jusnya lagi.
"Aku merasa tidak cocok bergaul dengan mereka," kata Lisa. "Mungkin mereka tidak tahu kalau aku hampir sembilan atau delapan tahun lebih tua dari mereka. Kadang-kadang mereka kesal karena aku tidak me-repost story Instagram padahal mereka menandaiku di story itu. Lalu pernah mereka kesal karena aku tidak mengucapkan selamat ulangtahun lewat story atau posting di Instagram. Kemudian saat kami pergi ke cafe bersama, mereka sebal karena aku tidak mengunggah apapun tentang mereka. Mereka bertanya— kenapa eonni tidak menggunggah foto-foto kita di cafe kemarin? Eonni tidak senang bermain bersama kami? Eonni tidak menganggap kami teman ya?!— begitu kata mereka."
"Kenapa begitu? Kenapa itu penting?" balas Jiyong.
"Aku pun tidak tahu!" seru Lisa, yang kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja. "Tidak sampai di situ, karena mereka kesal aku tidak pernah memposting apapun, aku jadi memposting satu foto. Foto bersama-sama, ada Jungkook dan pria lainnya. Hanya saja di foto itu jumlah pria dan wanitanya sama banyak, lalu Jungkook duduk di sebelahku. Kemudian mereka memintaku menghapus fotonya."
"Kenapa?"
"Karena mereka pikir aku sedang berkencan dengan Jungkook. Aku duduk di antara Jungkook dan Karina, aku tidak merangkul siapa pun karena sedang memegang gelasku saat kami difoto, aku tidak menatap siapapun, aku sedang minum! Memang Jungkook kelihatan sedang melihatku dari samping, tapi itu hanya foto... Aku tidak mengerti kenapa itu bisa jadi masalah, aku tidak bisa mengimbangi mereka," ceritanya. "Lalu kalau aku bergabung dengan kelompok Taeyong juga, harus ada dua kelompok yang aku atasi. Pasti berat, membayangkannya saja membuatku sakit kepala. Aku jadi mengerti kenapa mahasiswa Pascasarjana langsung pulang setelah kuliah selesai, bergaul dengan para remaja sangat melelahkan," ia terus mengeluh sampai Jiyong menghabiskan makanannya.
"Kalau sangat sulit, lalu kenapa kau masih bergaul dengan mereka?" tanya Jiyong, yang dengan tenang merapikan mangkuk-mangkuk bekasnya makan. Ia bawa mangkuk-mangkuk kosong itu ke bak cuci piring dan menyalakan airnya.
"Tinggalkan saja, aku akan mencucinya nanti," tegur Lisa namun Jiyong berkata kalau ia akan membersihkannya. Lisa sudah memberinya makan, dia akan membersihkan sendiri bekas makanannya. "Baiklah kalau begitu, thank you," santai Lisa yang tetap duduk di meja makan, hanya beberapa langkah pendek dari meja dapur. "Kenapa aku masih bergaul dengan mereka? Karena aku bosan. Ibuku hanya mengizinkanku kuliah. Dia melarangku bermain, dia melarangku kerja part time, dia melarangku belanja, semua aktivitasku dilarang kecuali kuliah, pulang ke rumah, menemuimu, menemui keluargamu, dan mengerjakan tugas. Aku sampai harus bilang pada ibuku— Jiyong oppa dan dosen lainnya memberi kami tugas kelompok setiap minggu, jadi mau tidak mau aku harus mengerjakan tugas itu bersama mereka dan mereka ingin mengerjakan tugasnya di cafe— hanya agar bisa keluar rumah di luar jadwal kuliah. Seandainya oppa bisa ke sini setiap hari dan mau mendengarkan ceritaku," ocehnya kemudian.
"Kenapa aku? Kau bilang aku tidak menyenangkan," kini Jiyong selesai dengan cucian piringnya. Lengan kemejanya masih ia tekuk sementara dirinya mulai mengelap tangannya dengan tissue dapur di dekat mesin kopi. Pria itu mencuci piring tanpa sarung tangan.
"Karena tidak ada pilihan lainnya," singkat Lisa. "Sudah hampir tiga tahun aku tidak bicara dengan teman-temanku di foto tadi," susulnya, kali ini terdengar murung.
"Kau sangat butuh teman? Tidak bisa sedikit lebih mandiri? Maksudku-"
"Cepat atau lambat kita akan menikah. Meski tidak saling mencintai, apa aku tidak boleh berteman denganmu?" potong Lisa, yang kemudian tersenyum. Meski senyumnya tidak kelihatan senang. "Aku bukan tipe teman yang akan selalu menempel padamu. Jangan khawatir," tenangnya.
"Aku minta maaf," Jiyong melangkah mendekat. "Bukan begitu maksudku," susulnya, "aku bukannya tidak ingin berteman denganmu, hanya saja tadi kau bilang ingin aku datang setiap hari ke sini. Jadi aku pikir, permintaan itu akan sulit untuk aku kabulkan. Aku minta maaf, karena-"
Jiyong berhenti bicara. Tentu bukan tanpa alasan, sebab sekarang bel pintu rumah Lisa di tekan. Kini keduanya menoleh ke arah pintu itu. Menebak-nebak siapa yang datang sore ini. Mungkin kakek Jiyong yang kembali datang, bisa juga orangtua Lisa.
"Oh, ini Taeyong, bagaimana? Mau bertemu dengannya atau sembunyi? Atau aku harus mengusirnya?" tanya Lisa setelah ia melangkah ke dekat pintu dan melihat siapa yang datang dari layar intercom-nya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasoline
Fanfiction"Malam ini tidak," katanya, menolak tawaran teman-temannya. "Aku tidak bisa lagi melakukannya," susulnya. "Aku dijodohkan, dan menerimanya. Dengan seorang mahasiswa baru di kampusku," alasannya.