25

687 152 4
                                    

***

Begitu pagi, Lisa bangun lebih dulu daripada pemilik rumah itu. Jiyong masih tidur, sengaja memunggunginya untuk menjaga gadis itu dari nafsunya. Jiyong tetap pria, yang nafsunya bisa muncul kapan saja. Tapi ia juga manusia, yang masih bisa berfikir untuk mengurangi resiko itu. Gadis itu duduk di ranjang begitu bangun. Ia turunkan kakinya, kemudian mendongak untuk melihat kantong infusnya. Kantong itu masih setengah terisi, Jiyong yang menggantinya beberapa waktu sebelumnya, ketika Lisa masih terlelap.

Kantong infus itu di gantung di tiang mantel. Sementara di sudut ruangan dekat kamar mandi, ada dua mantel yang dibiarkan jatuh, juga tas kerja Jiyong yang duduk di kursi dekat pintu balkon— mereka masih ada di sisi ruangan yang sama. Selanjutnya, sembari membawa tiang gantungan mantel itu, Lisa berjalan ke kamar mandi. Ia pandangi wajahnya di sana, terlihat pucat, terlihat lusuh, terlihat sedih, semua kepedihan tergambar di wajahnya.

"Saat jatuh, kau tidak perlu langsung bangkit lagi. Kau bisa berbaring atau duduk lebih dulu, beristirahat lebih dulu, menarik nafas lebih dulu," pada pantulan dirinya di cermin, ia mengulangi apa yang semalam Jiyong katakan padanya. "Jangan terburu-buru, aku akan menemanimu sekarang, saat kau duduk, saat kau berbaring, bahkan saat kau jatuh lagi ketika mencoba untuk berdiri. Jangan khawatir, aku akan menemanimu," sama seperti yang semalam Jiyong lakukan, ia menenangkan dirinya sendiri.

Begitu selesai dengan urusannya, Lisa melangkah keluar dari kamar mandi. Jiyong tetap terlelap, mungkin kelelahan karena harus menjaganya semalaman. Pria itu harus beberapa kali bangun dan mengecek infus yang menusuk tangan Lisa. Sembari berusaha untuk tidak membuat suara, Lisa melangkah keluar. Untungnya pintu kamar Jiyong tidak di tutup, jadi ia tidak perlu mendengar suara derak pintu saat keluar.

Di luar kamar itu keadaannya tidak banyak berbeda dari saat Lisa datang. Barang-barang berada di tempat mereka biasa berada. Bedanya, ada dua kotak kardus berwarna cokelat dan lima lusin air mineral dalam botol di dekat pintu. Lisa tidak ingat pernah melihat barang-barang itu saat datang semalam.

Lisa ingin duduk di lantai dan melihat isi kotak itu, namun selang infusnya terlalu pendek. Ia penasaran, apa yang akan terjadi kalau ia melepaskan infusnya. Rasanya tubuhnya baik-baik saja. Ia memang sedikit lemas tapi itu selalu terjadi setelah beberapa jam lamanya ia menangis. Setelah menimbang-nimbang, merasa kalau dirinya sudah cukup kuat, Lisa melepaskan sendiri infusnya.

Gadis itu meringis sembari menutup rapat-rapat matanya. Merasakan perih saat jarum infus ia tarik keluar dari tubuhnya. Kini ia bisa bergerak dengan bebas meski masih ada rasa tidak nyaman di tangan juga perutnya. Ini bukan rasa yang asing, Lisa sudah sering merasakannya, jadi setelah ia meletakan selang infus juga kantongnya di atas rak tertutup dekat pintu masuk, gadis itu duduk di lantai untuk melihat isi kotak cokelat tadi.

Roti, selai, biskuit, beras, susu, garam, gula, daging dan ikan kaleng, telur, permen jelly, mie instan, sup instan sampai bubur instan, semua barang belanjaan itu ada di dalam dua kotak cokelat yang duduk manis di dekat pintu. Jiyong yang membelinya semalam, lewat layanan pesan antar tapi sepertinya pria itu terlalu malas untuk menatanya di lemari es. Melihatnya Lisa tersenyum, pria itu ternyata manis. Tahu kalau lemari es Lisa berantakan dan pastinya ada banyak bahan yang rusak, Jiyong membelikan lagi yang baru.

Lisa mendorong satu persatu kotak itu ke dapur. Dengan perutnya yang sakit sekarang, ia tidak bisa mengangkat kotaknya. Di dapur gadis itu menyimpan bahan-bahan makanan itu. Ia masukan juga botol-botol susu dan air mineralnya ke dalam lemari es, menatanya di sana. Ia hanya memindahkan benda-benda tadi ke lemari es, namun nafasnya sudah terengah-engah. Ia sudah berkeringat, juga kelelahan sekarang.

Di saat yang sama, ia juga mendengar suara Jiyong. Pria itu baru saja bangun dan langsung mencarinya karena ia tidak ada di kamar. "Aku hanya memasukan belanjaan ke lemari es tapi sudah lelah," lapor Lisa, yang sekarang menatap Jiyong sembari bersandar ke meja dapur.

"Siapa yang memintamu- mana infusnya?" heran pria itu. Ia melangkah menghampiri Lisa, meraih tangan gadis itu meski tahu kalau Lisa tidak akan bisa menyembunyikan infusnya di sana. "Kenapa dilepas? Kau masih sakit, hanya karena kita di rumah-"

"Aku lapar dan harus minum obat," potong Lisa.

"Jangan beralasan, kau bisa membangunkanku. Aku akan mencarikan makanan untukmu," balas Jiyong, terdengar sebal.

"Maaf," kata Lisa, yang kini tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk memegangi lengan Jiyong. "Maaf, aku merasa cukup kuat tadi. Aku tidak sakit lagi, aku hanya kelelahan sekarang. Aku baik-baik saja," bujuknya.

Jiyong akhirnya mengemudi keluar untuk membeli sarapan. Mereka bisa memesan makan itu agar diantar ke rumah, namun Lisa bilang ia ingin pergi jalan-jalan. Mereka hanya akan membeli burger di drive thru restoran cepat saji. Keduanya pergi tanpa mengganti baju tidur mereka. Jiyong mengemudi dan Lisa duduk di sebelahnya, tanpa bicara sampai mereka tiba di restoran cepat sajinya.

"Aku menelepon seseorang untuk membersihkan rumah hari ini," kata Jiyong setelah Lisa memesan sarapan mereka dan mulai menunggu makanan itu selesai disiapkan. "Rumahmu dan rumahku, sekalian," susulnya.

"Kapan dia datang?"

"Harusnya sudah datang sekarang," jawab Jiyong sembari melihat jam di dalam mobilnya. "Mau makan di tempat lain? Atau di mobil saja?" tanyanya kemudian.

"Oppa tidak pergi kerja hari ini?" Lisa balas bertanya. "Aku ada kelas jam sepuluh nanti," susulnya.

"Jangan pergi, kau masih sakit. Kau masih pucat," larang Jiyong.

"Lalu apa yang bisa aku lakukan sendirian di rumah?"

"Kenapa sendiri? Aku juga tidak pergi ke kampus hari ini."

"Huh? Kenapa?"

"Karena kau sakit," singkat Jiyong. "Jadi, beristirahat saja di rumah bersamaku," susulnya.

"Aku tidak tahu ini sesuatu yang baik atau bukan," gumam Lisa. "Setelah bertahun-tahun akhirnya oppa bolos kerja juga, selamat," tambahnya, yang kemudian menoleh keluar sebab pesanannya sudah siap disajikan.

"Ini bukan sesuatu yang baik," Jiyong menanggapi sembari mengemudi. "Bagian mana yang baik dari sakit?" susulnya.

Lisa sudah meminum sebagian obatnya. Beberapa obatnya harus di minum sebelum makan. Kini di minimarket dekat gedung apartemen mereka duduk. Lisa duduk di depan, di atas kursi-kursi plastik dibawah payung besar. Sedang Jiyong melangkah masuk ke dalam minimarket, membeli beberapa camilan juga air dingin dari lemari es.

Begitu ia duduk setelah membayar, dilihatnya Lisa sudah berhenti makan. Gadis itu hanya mengigit seperempat bagian dari burgernya, kemudian berhenti dan membungkus lagi burgernya. "Kenapa? Tidak enak?" tanya Jiyong.

"Mual," katanya. "Nanti akan ku makan lagi," susulnya.

"Harusnya kau makan bubur-"

"Aku semakin mual hanya dengan mendengarnya," potongnya. "Aku pernah tinggal di rumah sakit dan hanya makan bubur, aku tidak mau makan bubur lagi," gadis itu menggeleng.

"Kau bisa sembuh sebelum minggu depan kan?"

"Kenapa?"

"Minggu depan sudah pekan tenang, setelah itu ujian akhir semester, kau harus belajar, iya kan?" jawab Jiyong, membuat raut wajah Lisa berubah, memelas seolah hampir menangis.

"Bisa-bisanya membahas ujian disaat begini," rengek Lisa.

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang