***
Lisa menolak untuk pergi ke kampus lagi hari ini. Ia menolak untuk bangun, keluar dari kamarnya juga menyentuh handphonenya sendiri. Gadis itu bersikeras untuk tetap di ranjang, berbaring dengan mata terpejam meski tidak pernah benar-benar bangun. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk, aku hanya ingin istirahat, oppa pergilah ke kampus," katanya, yang tahu Jiyong ada di ambang pintu kamarnya meski mereka tidak saling bertukar tatap.
"Aku bisa mempercayaimu?" tanya Jiyong, sama sekali tidak beranjak mendekat. Sudah sejak kemarin sore Lisa berbaring di sana, ia hanya bangun untuk ke kamar mandi dan ketika Jiyong menyuruhnya makan malam juga minum obat.
"Tentu," jawabnya. "Aku sudah merasa lebih baik, hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri lagi. Kalau oppa khawatir, oppa boleh menelepon ibuku dan menyuruhnya ke sini," tenangnya.
"Baiklah, minum obatmu, aku sudah memesankan sarapan. Nanti siang aku ke sini lagi," balas Jiyong yang akhirnya menyerah kemudian pergi untuk mulai kembali bekerja hari itu.
Jiyong berangkat ke kampus hari ini, seperti biasanya. Meski masih sedikit khawatir. Di tempat parkir, ia bertemu dengan Seunghyun— sebuah rutinitas satu minggu sekali, mereka datang ke kampus di jam yang sama. "Aku mencarimu kemarin," sapa pria itu, mereka berjalan keluar dari tempat parkir bersama.
"Aku di rumah. Lisa sakit kemarin," Jiyong menjawab dengan nada bicara khasnya, tenang juga santai.
"Jadi kau menemaninya di rumah? Sakitnya tidak terlalu parah? Kau tidak membawanya untuk dirawat Yongbae di rumah sakit," tanya Seunghyun. "Aku pikir kau sudah sedikit berubah. Ternyata masih sama saja," susulnya.
Jiyong menoleh, menatap Seunghyun yang selanjutnya berkata, "kau hanya bolos kerja kalau pasanganmu sakit, sekali-kali ambilah cuti untuk pergi kencan," ujarnya.
Mendengarnya lantas membuat Jiyong berdecak. Pria itu bilang kalau ia tidak akan melakukannya. Ia tidak akan bersikap tidak profesional begitu, sengaja membolos hanya untuk pergi kencan di hari kerja. Masih ada banyak hari lainnya, akhir pekan juga hari libur nasional. Ia tidak perlu merelakan jadwal kerjanya hanya untuk berkencan.
"Oh ya," tambah Seunghyun. "Sooyoung meneleponku beberapa hari yang lalu, dia bertanya tentang calon istrimu. Aku memberitahunya semua yang ku tahu, kecuali kalau kalian berdua dijodohkan. Wanita sepertinya pasti senang kalau tahu mantan pacarnya dijodohkan setelah sakit hati karena putus darinya. Dia akan merasa superior," cerita pria itu di antara langkah mereka.
"Harusnya kau tidak menjawab panggilannya," komentar Jiyong. "Bagaimana kalau Tiffany tahu? Dia bisa menjambakmu sampai botak," susulnya.
"Aku penasaran, apa yang ingin ia bicarakan," Seunghyun terdengar santai. "Lagi pula, aku menjawabnya di depan Tiffany, dengan speaker, Tiffany tetap kesal tapi dia tidak marah padaku. Katanya Sooyoung terdengar seolah ingin merebutmu dari calon istrimu, tapi yang seperti itu hanya khayalan berlebihan para wanita. Aku rasa dia hanya penasaran, untuk membuatnya bisa terus merasa superior terhadapmu," tambahnya.
"Kenapa dia merasa superior terhadapku? Aku tidak menganggapnya begitu," tanya Jiyong.
"Kau menangisinya," tenang Seunghyun. "Kau melakukannya berbulan-bulan, terus merindukannya dan kebetulan sekali, tidak lama setelah itu kau dirawat ke rumah sakit. Dia pasti berfikir cintamu untuknya luar biasa besar," katanya.
Sayangnya Jiyong tidak menanggapi kata-kata itu. Pria itu justru merogoh saku celananya untuk melihat siapa yang meneleponnya— Lisa. Sebuah panggilan video yang langsung Jiyong angkat di depan lift. Hanya beberapa detik, begitu melihat Seunghyun juga ada di sana, begitu tahu kalau Jiyong belum sampai ke ruangannya, Lisa langsung mengakhiri panggilan itu. Kini balas Jiyong yang meneleponnya. Sebuah panggilan telepon biasa, bukan panggilan video. "Ada apa, Lisa?" tanyanya begitu panggilannya di jawab.
"Aku sudah menerima nasi dan sup beberapa menit lalu, tapi sekarang ada kurir lain mengantarkan bubur untukku, oppa yang mengirimnya?" tanya Lisa.
"Tidak, aku tidak membelikanmu bubur. Siapa pengirim buburnya?"
"Tidak tahu," jawabnya. "Akan ku berikan buburnya untuk kurirnya saja," katanya, yang selanjutnya bicara pada si kurir untuk menikmati bubur yang diberikan padanya. "Apa buburnya sudah dibayar? Ah... Sudah dibayar? Ternyata oppaku yang membelikan buburnya. Tapi aku baru saja makan, kalau kau belum makan, buburnya untukmu saja," kata Lisa pada kurir muda yang mengantarkan bubur itu.
"Jadi siapa yang mengantarkan bubur itu?" tanya Jiyong setelah menunggu suara pintu rumah Lisa yang kembali di tutup.
"Tidak tahu. Seseorang yang tahu kalau aku sakit? Uhm... Setahuku hanya oppa dan teman doktermu? Aku tidak memberitahu orang lain kalau aku sakit."
"Tidak mungkin Yongbae yang mengirimimu bubur dan aku juga tidak memberitahu siapapun. Tapi sudahlah, kau juga tidak memakan buburnya. Sudah minum obatmu?"
"Sudah, nanti siang oppa jadi pulang?"
"Ya."
"Baiklah, sampai nanti," pamit gadis itu yang akhirnya mematikan panggilan mereka. Tanpa mengecek pesan yang masuk, juga panggilan yang tidak ia jawab sebelumnya, Lisa kembali meninggalkan handphonenya dan berbaring di ranjang. Kembali memejamkan matanya seolah tengah terlelap.
Satu minggu penuh— tujuh hari— Lisa bersikap begitu. Selain untuk makan dan mandi, ia tidak bangkit dari ranjangnya. Ia terus berbaring, dengan mata terpejam tanpa benar-benar terlelep. Tidak ada yang menganggunya, bahkan Jiyong yang selalu datang hanya memperhatikannya dari jauh. Ia biarkan gadis itu larut dalam perasaannya sendiri. Selama Lisa masih bangun untuk makan dan ke kamar mandi, Jiyong membiarkannya tetap berbaring.
Sampai hari ini, gadis itu mengejutkan Jiyong yang akan berangkat ke kampus. Seperti biasanya, sebelum pergi, Jiyong akan mampir ke kamar Lisa, memastikan gadis itu tetap hidup meski semalam ia menginap di rumahnya— tidur di sofa milik gadis itu setelah bekerja di meja makannya. Jiyong datang setelah mandi juga bersiap, kemudian tertegun saat masuk dan melihat Lisa sedang mengoles mentega ke atas rotinya.
"Morning," sapa gadis itu, masih dengan baju tidurnya. Hanya rambutnya yang ia tata, ia sisir dengan jemarinya setelah membasuh wajahnya. "Mau sarapan bersama atau aku buatkan bekal?" tawarnya, tersenyum sembari menaruh roti gandum yang sebelumnya ia panggang di atas piring.
"Wah... Kau sudah sembuh?" balas Jiyong, yang kini melangkah mendekati dapur sembari meninggalkan tasnya di atas sofa.
"Bisa dianggap begitu?" Lisa balas bertanya. "Aku sakit terlalu lama, ya? Terimakasih sudah menunggu."
"Tidak masalah, aku memang berencana menunggu sampai hari terakhir pekan tenang," tenang Jiyong, yang kini mendekati Lisa. Ia angkat dagu gadis itu dengan jarinya, memperhatikan gerak-gerik kecil di wajahnya. "Kau sudah benar-benar menerima keadaanmu?" tanyanya, menatap lekat-lekat mata calon istrinya, membuat Lisa tanpa sadar mengigit bibirnya sendiri. Gugup karena ditatap seorang pria sedekat itu, terlebih disaat ia belum membersihkan dirinya— belum mandi, belum juga mengganti pakaiannya.
Gadis itu melangkah mundur, menjaga jarak dari Jiyong yang berdiri tegak di depannya. "Aku akan berusaha menerimanya, untuk oppa, yang sudah bersabar menungguku bangun," tenangnya. "Tidak," gadis itu kemudian menggeleng, seolah ia baru saja berubah pikiran. "Aku harus menerimanya untuk bisa pergi ke tempat lain. Aku punya mimpi baru," ralatnya.
"Apa itu?"
"Membuat tempat untuk orang-orang sepertiku," katanya. "Tempat orang-orang bisa berbaring setelah jatuh," susulnya.
***
Efek samping ngetik part ini... Cemilanku.... Risol mayoku 😭😭 menghitam di atas wajan, kepanasan sampe jadi arang :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasoline
Fanfiction"Malam ini tidak," katanya, menolak tawaran teman-temannya. "Aku tidak bisa lagi melakukannya," susulnya. "Aku dijodohkan, dan menerimanya. Dengan seorang mahasiswa baru di kampusku," alasannya.