26

695 143 8
                                    

***

"Wah... Oppa benar-benar kaya ternyata?" komentar Lisa ketika ia pulang ke rumah dan melihat tujuh orang pelayan akan merapikan rumah Jiyong. Rumahnya sudah bersih sekarang, tujuh orang itu membersihkan rumahnya lebih dulu sebelum membersihkan milik Jiyong. Tujuh wanita yang datang untuk bersih-bersih itu pelayan dari rumah utama— rumah orangtua Jiyong.

"Kau sudah tidak marah?"

"Tentu saja masih," balas Lisa. Alasannya mampir ke rumah Jiyong, hanya untuk mengambil beberapa susu dan roti di lemari esnya. Agar bisa dibawanya untuk bertahan hidup hari ini, di rumahnya sendiri. Ia kehilangan hampir 90% isi lemari esnya kemarin. "Semester depan aku tidak akan mengambil kelasmu!" susul Lisa, yang selanjutnya melangkah pergi dengan barang-barang jarahannya.

Jiyong hanya berdecak mendengarnya. Sementara Lisa pergi, pria itu masuk ke kamarnya, mencari handphonenya yang ia tinggalkan di nakas. Ia harus menghubungi beberapa mahasiswa, mengatakan kalau kelas mereka dibatalkan hari ini. "Tidak perlu kelas pengganti karena minggu depan sudah pekan tenang, jadi datang saja untuk menandatangani absensinya, dan kisi-kisi untuk ujian akan dikirim hari ini," katanya, kepada tiga koordinator kelas yang ia telepon pagi ini. Ketiga mahasiswa itu pasti kaget karena tiba-tiba ditelepon dosennya pagi ini. Oleh dosen yang tidak pernah membatalkan kelas.

Jiyong belum selesai membuat soal untuk ujian di kelasnya. Sembari menjaga calon istrinya yang sakit, pria itu berencana untuk menulis soal ujiannya, untuk membuat mahakaryanya— soal ujian yang paling sulit. Ia tidak bisa menjaga Lisa kalau mengerjakan pekerjaannya di rumah. Jadi sembari membawa laptopnya, juga secangkir kopi yang baru ia seduh dengan mesin kopinya, pria itu berkunjung ke rumah Lisa.

"Pergi," kata Lisa yang kini duduk di sofa, menonton film di sana. "Tidak boleh ada kopi di rumahku," susulnya.

"Aku sudah terlanjur membuatnya, tidak bisa aku buang, kan?" balas Jiyong yang dengan santai melenggang ke meja makan.

"Mentalku sedang tidak stabil, oppa mau melihatku gila lagi?"

"Ini hanya kopi, Lisa," kata Jiyong dan Lisa hanya menatapnya dengan sangat sinis, terlihat sangat marah, sangat kesal. "Baiklah, baiklah, akan aku buang," susul Jiyong, yang akhirnya berjalan ke westafel dan membuang kopinya di sana.

"Padahal aku hanya menyuruhmu minum kopi di rumah," gumam Lisa. Ia hanya melirik ketika Jiyong menyesap kopinya sebelum benar-benar membuangnya. "Rumahmu sendiri," tegasnya, sebelum Jiyong salah paham.

"Kalau kita menikah, aku tidak boleh minum kopi di rumah?" tanya Jiyong setelah ia merelakan secangkir kopinya.

"Boleh," angguk Lisa. "Kalau mentalku sedang stabil? Jadi aku tidak akan iri saat melihatmu minum kopi," katanya dan Jiyong hanya mengangguk, berdecak. Ia melangkah ke lemari es, melihat isi lemari es Lisa yang sekarang penuh— seperti permintaannya saat menghubungi pelayan orangtuanya tadi pagi.

"Tidak ada apapun di sana, hanya ada itu, dari rumahmu tadi," kata Lisa, menunjuk setumpuk makanan yang ia jarah dari rumah Jiyong tadi. Gadis itu belum membuka lemari esnya. Ia tidak melakukan apapun, tidak mengecek apapun dan langsung duduk di sofa menonton film ketika datang tadi.

Jiyong tidak menanggapinya. Ia tidak berusaha meralat ketidaktahuan itu. Diambilnya sebotol air mineral dari lemari es, membawanya ke meja makan lantas membuka laptopnya di sana. "Apa yang kau tonton?" tanya Jiyong, mengingat alasan Lisa menggila semalam.

"Sedang berusaha untuk tidak menonton The Idol," balas Lisa, yang langsung tahu kemana arah pembicaraan mereka.

"Kau boleh menontonnya," komentar Jiyong yang memulai pekerjaannya dengan menyalakan laptopnya.

"Aku tahu," Lisa membalas. "Aku hanya tidak ingin menontonnya. Hatiku belum siap. Bagaimana kalau aku menginginkan mimpiku kembali setelah menontonnya? Itu tidak terlalu buruk, tapi bagaimana kalau aku justru membenci mereka karena mereka berhasil meraih mimpi itu? Pikiranku biasanya membesar-besarkan perasaan yang kurasakan. Ah... Pantas saja ibuku tidak ingin aku menemui mereka, dia pasti sudah tahu tentang acara ini," ocehnya.

"Dan ibumu terus menelepon karena khawatir kau menontonnya," susul Jiyong, membuat mata Lisa membulat sempurna. Jiyong baru saja mengatakan sesuatu yang masuk akal. "Oh iya, kalau kau butuh surat dokter temanku baru bisa mengantarkannya nanti siang, di jam makan siang," kata Jiyong kemudian.

"Aku tidak butuh," balas Lisa.

"Kenapa? Kelasmu dibatalkan hari ini?"

Tidak," gadis itu menggeleng. "Untuk bisa ikut ujian dimata kuliah ini, daftar hadirnya minimal 80%, satu semester ada 16 pertemuan per mata kuliah. 80% dari 16 itu hanya 12,8 bulatkan jadi jadi 13 pertemuan, aku hanya harus hadir 13 pertemuan di setiap mata kuliah. Aku punya jatah 3 pertemuan untuk membolos disetiap mata kuliah. Aku akan memakainya hari ini, jatah bolosku."

Jiyong mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban Lisa— darimana gadis itu mendengar teori itu? Dia baru semester satu. Normalnya mahasiswa semester satu akan bersikap sangat hati-hati dengan kuliah mereka. Jangankan membolos, terlambat ke kelas saja sudah menjadi tantangan sendiri bagi mahasiswa baru. Ditambah kekhawatiran gadis itu di minggu pertama kuliah mereka. Ia sudah terlalu banyak berubah sekarang— entah ke arah mana perubahan itu, baik atau buruk, Jiyong tidak yakin.

"Apa kau juga menyalin tugas seniormu karena kau pikir para dosen memberikan tugas yang sama untuk setiap angkatan?" tanya Jiyong kemudian, penasaran karena Lisa tidak kelihatan kesulitan dengan tugas-tugasnya. Lisa tidak pernah menemuinya karena kesulitan mengerjakan tugas.

"Sejauh ini tugasku hanya makalah," gumamnya. "Makalah dan presentasi. Kalau aku menyalin milik seniorku, itu pasti akan sangat mudah ketahuan, iya kan? Tidak, aku tidak menyalin milik mereka."

"Lalu milik siapa yang kau salin?"

"Tidak tahu," geleng Lisa. "Seseorang di luar negeri? Aku tidak mengenal mereka Bab satu aku saling dari Waltz bla bla bla, bab dua aku dapatkan dari Uzumaki bla bla bla, bab 3 dari Afifah bla bla bla. Makalahku dari jurnal-jurnal internasional, keren kan?" pamer gadis itu.

"Kau membaca semuanya?"

"Untuk apa?" heran Lisa. "Ada ctrl+f, aku hanya mencari kata-kata yang aku butuhkan. Misalnya aku butuh apa itu musik? Aku hanya mencari kata musik di jurnalnya lalu aku pilih yang paling sesuai. Aku tidak membaca semuanya."

"Semua orang mengerjakan dengan caramu?"

"Mana aku tahu? Kurasa tidak. Tugas mereka jauh lebih tebal dari milikku, tapi aku tidak tahu apa yang mereka tulis. Aku tidak membaca milik mereka," katanya. "Tapi kenapa oppa mau tahu? Kenapa oppa penasaran?" kali ini Lisa yang balas bertanya.

"Uhm... Hanya ingin tahu, siapa tahu bisa aku pertimbangkan untuk soal ujian-"

"Oppa sedang menulis soal ujian?! Lihat! Tunjukan padaku!"

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang