13

656 148 41
                                    

***

Di rumahnya, Ibu Lisa berjalan dengan resah memutari ruang keluarga. Di rumah mereka yang di dominasi oleh kayu, ia terus merasa gusar. Berkali-kali ia dekati handphonenya, menunggu benda itu berdering, menunggu telepon dari Lisa. "Tidak akan terjadi apa-apa, cucuku akan baik-baik saja," kata mertuanya, yang sedari tadi menonton menantunya tengah berusaha menahan diri.

"Bagaimana kalau dia kumat lagi? Coba telepon Jiyong, tanyakan keadaan Lisa," minta sang istri, tentu kepada suaminya yang juga duduk di sana.

"Kau harus berhenti khawatir, sayang," tenang suaminya, menarik Ibu Lisa untuk duduk di sofa, menenangkan dirinya. "Lisa baik-baik saja, putrimu baik-baik saja. Dia hanya kram perut karena datang bulan-"

"Putrimu bertahun-tahun tidak datang bulan! Dia sakit!" seru sang ibu, lagi-lagi meledak. "Kau tahu apa yang terjadi padanya karena kau mengizinkannya pergi dari rumah?! Dia berkali-kali hampir mati! Kerja siang malam seperti anak terlantar padahal ayah dan kakeknya punya puluhan gedung! Diet ketat, audisi sana-sini, trainee bertahun-tahun tapi tidak pernah ada hasilnya!" marahnya, yang didetik selanjutnya berubah jadi isakan menyedihkan. Tangisan penyesalan— "kalau saja kita mendukungnya, dia tidak akan jadi seperti ini," katanya, sembari menutup wajahnya yang berlinang air mata dengan kedua tangannya.

Tangisan khawatir itu berlangsung cukup lama. Sampai handphone ayah Lisa akhirnya berdering dan itu panggilan dari Jiyong. Calon menantu mereka menelepon, mengatakan kalau Lisa sudah benar-benar sehat, sudah menghabiskan makan malamnya dan sekarang sedang merapikan dapur. Lisa tidak lagi pucat, tidak lagi kelihatan sakit. Gadis itu tersenyum dan tertawa seperti bagaimana ia bisanya bersikap. Jiyong meyakinkan kalau tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan.

"Baiklah kalau begitu," tenang sang ayah setelah mendengar kabar kalau putrinya baik-baik saja. "Terimakasih sekali karena sudah menjaganya," susulnya.

"Tapi Tuan Park," tahan Jiyong sebelum panggilan itu mereka akhiri. Sembari melirik Lisa yang sedang berdiri di dapur, membersihkan mangkuk sekali pakai yang tadi membungkus makan malam mereka, Jiyong melangkah keluar dari rumah Lisa.

"Ya? Ada apa?" tanya ayah Lisa, sebab Jiyong hanya menggumam. Pria itu kedengaran ragu, ia masih menimbang-nimbang untuk melanjutkan kata-katanya atau mengakhiri saja panggilan itu. Namun akhirnya Jiyong tetap bicara setelah beberapa detik berfikir.

"Kalau boleh," katanya pada akhirnya. "Aku ingin tahu kenapa Lisa sangat dijaga. Tentu saja aku mengerti kalau semua orangtua ingin yang terbaik untuk putri mereka, semua orangtua ingin menjaga putri mereka. Tapi kami dijodohkan dan akan menikah, apa ada sesuatu yang perlu aku tahu tentangnya? Aku rasa, aku perlu tahu agar bisa lebih berhati-hati lagi kedepannya," susulnya, berusaha bicara dengan selembut mungkin agar calon ayah mertuanya tidak tersinggung dengan pertanyaannya.

Kini giliran ayah Lisa yang membisu. Beberapa detik Jiyong menunggu jawabannya. Sampai begitu mereka memasuki menit kedua dalam keheningan, sang ayah berkata, "Kalau putriku kelihatan kekanakan sekarang, itu karena dia memang melewatkan masa remajanya. Masa remajanya, tidak bahagia. Lisa punya luka yang dalam sekali di hatinya. Kami khawatir, luka itu akan kembali melukainya. Kami melarangnya menemui teman-temannya karena khawatir dia akan merasa rendah di depan mereka kemudian terluka. Kami melarangnya bekerja karena khawatir dia akan melakukan lebih banyak pekerjaan lain setelahnya lalu lupa merawat dirinya sendiri lagi. Keadaannya sudah banyak membaik sekarang, tapi kami tetap khawatir dia akan terluka lagi."

Sembari berdiri di lorong, Jiyong mendengarkan cerita itu dengan hati-hati. Memastikan kalau ia tidak akan melewatkan sedikit pun informasi dari jawaban calon mertuanya.

"Tapi meneleponnya setiap beberapa jam sekali, bukankah itu sedikit berlebihan?" tanya Jiyong, gagal menemukan pilihan kata yang lebih baik.

"Luka yang Lisa miliki tidak hanya melukainya," tenang sang ayah, yang untungnya paham kemana arah pembicaraan Jiyong.

"Uhm... Kalau aku berjanji akan menjaganya, bisakah frekuensi meneleponnya sedikit dikurangi?"

"Kau mau melakukannya?"

"Ya, aku mau melakukannya," yakin Jiyong. "Aku akan jadi suaminya, tentu saja aku harus menjaganya," susulnya.

"Kalau kau mau melakukannya, kami yang ada di sini tentu akan merasa lebih tenang," balas ayah Lisa.

Panggilan itu kemudian berakhir. Jiyong yang masih berdiri di lorong kemudian berbalik dan ia terkejut karena melihat Lisa mengintip di pintu rumahnya. "Sejak kapan kau ada di sana?" tanya Jiyong, sementara Lisa membuka lebar pintunya kemudian melangkah masuk sembari membiarkan pintunya tetap terbuka. Senyum tergambar di wajahnya, namun Jiyong tidak bisa memutuskan arti senyuman itu.

Jiyong mengikutinya, namun Lisa masih belum bicara. Gadis itu kemudian duduk di sofa, menatap Jiyong dengan mata menyelidiknya. "Apa?" bingung Jiyong karena ditatap seperti itu. "Apa yang kau dengar? Kenapa menatapku begitu?" pria itu jadi kelihatan canggung sekarang.

"Kalau aku berjanji akan menjaganya..." Lisa meniru gaya bicara Jiyong namun sengaja menggantung kalimatnya. Merasa sedang diledek, Jiyong hanya diam sekarang. Ia sudah menghindar agar Lisa tidak mendengarnya tapi gadis nakal itu justru sengaja menguping pembicaraannya. "Aku tidak tahu kata-katamu akan membawa perubahan atau tidak, tapi terimakasih sudah mengatakannya," susul Lisa yang kemudian mengulurkan sebelah tangannya.

Jiyong masih bingung, namun dengan canggung ia raih jemari Lisa, menjabat tangan wanita itu. "Aku juga berjanji pada kakekmu untuk menjagamu, kita bisa saling menjaga sekarang," katanya sembari menggoyang-goyangkan tangannya yang menggenggam milik Jiyong.

Sebelah alis pria itu terangkat, ia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya Lisa ketahui sekarang. "Aku mohon kerjasamanya," ia kembali bicara karena Jiyong hanya berusaha menilai situasi diantara mereka. Ini bukan pernyataan cinta, Jiyong tahu itu. Hubungan yang Lisa sebut saling menjaga bukanlah berkencan, ia juga tahu itu. Tapi kalau disuruh mendeskripsikan hubungan mereka, Jiyong tidak tahu bagaimana caranya.

"Aku juga mohon kerjasamanya," pada akhirnya, hanya itu yang bisa Jiyong katakan. Keduanya lantas mengakhiri jabatan tangan mereka dan kembali duduk di sofa karena Lisa sudah menghidangkan dua cangkir teh dengan sepiring biskuit. "Aku harus pulang, ada pekerjaan-"

"Pulanglah, bekerjalah," potong Lisa. "Aku akan menonton film. Aku sudah menonton semua yang ada di HBO, sekarang aku punya misi menyelesaikan Netflix," katanya. Lagi-lagi ia buat Jiyong menaikan alisnya.

Kalau Lisa tahu tentang masalahnya, gadis itu harusnya tidak mengizinkan ia bekerja di akhir pekan. Jiyong jadi penasaran, benarkah kakeknya meminta Lisa untuk menjaganya? Benarkah Lisa tahu sesuatu tentang masalahnya? Atau gadis itu hanya berpura-pura tahu, sesekali menebak dan kebetulan tebakannya benar? Atau ia hanya membual?

"Kenapa? Mau membawa teh dan biskuitnya? Oppa boleh membawanya kalau mau. Aku punya banyak," kata Lisa, sebab Jiyong hanya duduk diam di sofanya. "Mau aku ambilkan lebih banyak?" tawarnya dan Jiyong masih membisu, masih menilai. Rasanya aneh karena ia justru disuruh bekerja. Sudah lama ia tidak diminta begitu.

"Kenapa? Kenapa oppa hanya diam? Hello?" ganggu Lisa, namun yang membuyarkan lamunannya bukan suara gadis itu melainkan bunyi bel pintu yang ditekan. Lagi-lagi Taeyong datang dan keduanya sudah tahu apa yang pria itu inginkan sekarang. Bedanya, kali ini Taeyong datang dengan seorang temannya yang lain, pria yang tidak Lisa ketahui siapa namanya.

***

Gasoline Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang