Chapter 24

25 8 0
                                    

[ PERHATIAN! ]

Cerita ini bersifat fiktif. Mohon bersikap bijak sebagai pembaca! Dan apabila menemukan kesamaan pada nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk vote, komen, dan follow akun Author agar Author semakin semangat dalam berkarya! Thank you! ♡

• • •

“Mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Mereka ... benar-benar mengerikan!” --Myesha.

• • •

“L-LEPASKAN! KUMOHON LEPASKAN!”

Myesha memberontak, tangan dan kakinya kian diikat dalam posisi terbaring di atas meja yang dikenali sebagai meja eksekusi. Ia terus saja menangis dengan rasa takut yang terus menjalar, bahkan tubuhnya perlahan merinding saat kedua pria di sampingnya itu menatapnya tajam.

Lalu tak lama dari sana, Daresh mengambil sebuah benda berbentuk persegi panjang yang mirip dengan peti harta karun. Ia lalu kembali pada Myesha sembari tertawa senang, lantas menunjukkan kotak tersebut, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Sebentar lagi segala kejahatan akan terbebas, dan akan menjangkiti semua para penghuni planet, termasuk Planet Bumi--tempat tinggalmu!” tutur Daresh dengan tawa liciknya, ia memberi penekanan pada kata ‘termasuk’, hingga ‘tinggalmu’.

“Dan sebentar lagi, dunia ini akan berubah dan dipenuhi oleh warna merah dan hitam. Tak ada lagi kebaikan, tak ada lagi kebenaran. Melainkan, hanya ada kebencian dan karma di mana-mana,” sambung Tuan Calvin dengan nada wibawanya, “dan semua itu ... akan berawal dari anakku.”

Myesha terbelalak, ia sontak menggeleng ketakutan sembari terus memberontak. “T-TIDAK! TIDAK! J-JANGAN! KUMOHON JANGAN!” teriaknya, tetapi tak digubris sama sekali.

“Diamlah, Gadis Kecil!” titah Daresh seraya tersenyum miring dengan satu alis terangkat, “lebih baik kau diam saja. Itu lebih baik.”

Myesha semakin menangis sejadi-jadinya. Kepalanya terasa sangat pusing, bahkan tubuhnya mulai lemas akibat terlalu banyak memaksakan diri.

“Sekarang, buka portalnya!” titah Tuan Calvin, Daresh pun sontak mengangguk, lalu mendekati lubang raksasa dengan corak singa bermata merah. Ia menaruh benda yang dijuluki sebagai Kotak Pandora di tangannya itu tepat di tengah-tengah meja yang letaknya berhadapan dengan lubang tersebut.

Di detik berikutnya, ia pun mengeluarkan beberapa berlian yang diketahui sebagai darah suci Myesha. Ia menaruh berlian tersebut di samping kanan Kotak Pandora, lalu menggores telapak tangan kirinya dengan pisau hingga darah bercucuran di atas meja.

Matanya menajam menatap lubang singa itu, ia perlahan mengucapkan sesuatu yang diketahui sebagai sihir portal tersebut.

Lalu tak lama setelah itu, mata singa lorong itu kian menyala, memancarkan warna merah ke seluruh penjuru ruangan. Bahkan, mulut besarnya perlahan terbuka, memperlihatkan aura gelap yang tiba-tiba muncul dari dalam lubang tersebut.

“Sekarang, sudah waktunya berkuasa,” tukas Tuan Calvin seraya tersenyum miring, Daresh pun mengikutinya.

• • •

“ARGHH ....”

Myesha mengerang kesakitan, ia merasa tengah dibakar oleh bara api yang sangat panas. Kulitnya seperti tengah dikuliti, bahkan tubuhnya seakan kehilangan kendali. Ia tak mampu bergerak, bahkan tali yang mengikat tangan dan kakinya pun terasa semakin erat.

Tak hanya itu, air matanya pun kian dibaluti cahaya merah, dan sebuah tanda perlahan muncul di kedua tangannya; di mulai dari jari, lalu hingga ke bahu. Namun, saat tanda itu baru menjalar hingga sikut, tiba-tiba Myesha jatuh pingsan. Ia merasa kehabisan napas, bahkan tubuhnya seakan tak lagi bernyawa. Dan ia ... benar-benar menyerah. []

Atmosfer kegelapan perlahan menyeruak. Lapisan-lapisan kejahatan mulai muncul ke permukaan, membentuk lempeng utuh yang tak terelakkan, hingga adanya artifisial demi meluncurkan segala aksi penggila karma.

Mereka kian tertatih akan nafsu yang terbilang sudah tak waras. Di pikiran mereka, hanya ada kekuasaan, kekuasaan, dan kekuasaan.

Bahkan, imunologi dari setengah penghuni planet perlahan menurun. Mereka terlihat lunglai bak mayat hidup. Tak ada harapan, tak ada semangat, tak ada tanda-tanda kehidupan. Mereka perlahan berjalan menuju jurang, seakan-akan daksa mereka dikendalikan bukan oleh mereka sendiri.

Satu langkah, dua langkah, semuanya perlahan menyusuri kematian yang tak seharusnya mereka terima.

Karma. Semua ini ulah karma, semua ini berawal darinya.

• • •

• • •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[REVISI] Deja VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang