"Kamu ngawur Adrian, pasti si pria tua itu yang bilang padamu bukan? Jangan percaya padanya. Dia itu seorang dukun, dia bisa menyantet siapa saja yang dia mau!" timpalku dengan sangat amarah.
"Ta-tapi, Bu."
"Kamu lebih percaya dengan pria itu daripada dengan ibumu sendiri?" Aku kembali bertanya pertanyaan konyol ini pada si anak tunggalku sekarang.
"Maafkan Adrian, Bu. "
"Sudahlah, Ibu sudah muak di sini. Lebih baik kita pindah saja. Ibu sudah tidak tahan dengan omongan orang-orang yang menuduh Ibu dengan sembarangan." Aku bergegas tanpa berpikir panjang, mengambil beberapa koper dan tas besar.
"Bu, kita mau ke mana?"
"Ah, kamu tinggal diam saja. Intinya kita akan memulai hidup baru."
Astaga, aku baru ingat ada jasad Mas Bahar di dalam lemari ini.
"Bu, bau apa ini? Busuk sekali. Biar aku lihat, Bu. Seperti ada bangkai tikus di lemari Ibu." Adrian dengan perlahan membuka pintu lemari ini.
"Jangan, memang ada bangkai tikus di sini. Biarkan Ibu saja yang membuangnya."
Hampir saja, Adrian tahu. Bisa-bisa dia tak akan percaya lagi padaku.
"Adrian, kamu keluar dulu, jangan bikin rusuh Ibu yang mau mengambil barang-barang," titahku agar ia pergi meninggalkan kamar ini dan aku lebih leluasa untuk menyembunyikan jasad Mas Bahar.
"Bisa-bisanya aku menjadi sekejam ini, kalau ada yang tahu mungkin aku udah dipenjara, aduh jangan sampai hal ini terungkap." Aku bergumam pelan.
Bu Puji sampai sekarang tak ada kabar ia pindah ke mana, apa karena pria tua itu ia menjadi seperti ini? Ah, tapi aku tak ingin memedulikan itu. Sekarang hartaku sudah banyak dan aku akan membeli rumah untuk kutinggali bersama Adrian.
"Bu, Bu."
Aku yang tengah sibuk dengan barang-barangku, kembali dikejutkan oleh ketukan pintu Adrian.
"Kenapa, Adrian?!"
"Ada Pak Rosadi, Bu. Ayo keluar!" teriaknya.
"Ibu malas menemuinya, bilang saja Ibu tengah tidur," sahutku dari dalam kamar.
"Yang benar saja, Bu? Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan Pak Rosadi."
Lagi-lagi Adrian membuat sangat muak, sudah kubilang aku tak ingin bertemu dengannya tapi ia masih memaksaku.
"Adrian, nurut dengan Ibumu. Bilang Ibu tengah tidur tidak bisa diganggu!"
"Iya, Bu. Maafkan Adrian,"
Aku tak menyahut apa pun lagi, sepertinya Adrian sudah berlalu menjauh dari kamar ini.
Aku mengembuskan napas lelah, serta beban pikiran yang sedikit membuatku stres."Ada-ada saja pria tua itu. Tidak diundang malah datang, aku tahu kamu orang pintar, tapi tidak akan bisa membuat Adrian percaya padamu," gerutuku.
"Arghh, kamu apa-apaan?!"
Baru saja aku hendak keluar kamar, Adrian tiba-tiba muncul di belakangku."Maaf, Bu. Aku pikir Ibu pergi ke mana? Ibu habis ngapain?" tanyanya padaku.
"Mau tahu aja," Aku berlalu meninggalkan Adrian.
"Bu, Bu." Adrian terus mengejarku.
"Ada apa?" Aku menoleh padanya.
"Pak Rosadi tadi ke sini cari Bapak, katanya mau ngobrol, tapi aku bilang Bapak nggak ada."
"Ya, kan, emang nggak ada, kalau ada juga udah ada di sini," jawabku."Iya, maksudku, Bapak pergi ke mana, Bu?"
Mataku terperanjat. "Bapak merantau ke Kalimantan lagi," ucapku dengan santainya."Kok, tas Bapak masih ada di kamar?"
Astaga ia melihat tas yang biasa Mas Bahar bawa bekerja?"Emm, itu emang sengaja nggak dibawa," ucapku.
Adrian hanya mengembuskan napasnya lalu mengangguk."Sudah, besok kita langsung pindah. Soalnya Ibu memang sudah tidak betah berada di sini. Dan kamu jangan bicara dengan siapa pun. Kalaupun ada yang bertanya, bilang saja ke rumah kerabat untuk beberapa hari ini! Mengerti!"
Ia menelan ludahnya dengan kasar ia seperti takut sekali padaku. "Iya, Bu."
"Bagus, Ibu masih mau packing baju kamu, nanti baju adik-adikmu Ibu sumbangkan saja," ucapku.
"Iya, Bu.""Inget, jangan sampai pria tua itu tahu, Ibu nggak suka sama dia. Ibu sakit hati!"
"I-Ibu sakit hati? Kenapa?"
Aku bersedekap dada. "Kamu sampai berani berbicara bahwa Ibu yang telah menumbalkan semua adikmu dan itu pasti karena omongan pria tua itu bukan?"
Mata Adrian tampak membulat menatapku dengan ketakutan. "Maaf, Bu, jangan marah. Iya, seharusnya Adrian lebih percaya dengan Ibu sendiri."
"Nah, bagus! Dia orang lain, bukan termasuk anggota keluarga kita jadi jangan mudah terhasut dengan omongannya lagi, Adrian!"
Ia hanya mengangguk.Bagus! Anak ini mulai mempercayaiku lagi setelah pria itu menghasut dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...