Bapak sebenarnya ke mana? Sebentar, aku akan mencari nomor Pak Haji Rosadi. Sudah lama aku tak berkomunikasi dengannya, batinku sembari meninggalkan Ibu yang tengah tertawa sendiri.Ah, aku tak memiliki kontak siapa pun di sini. Apa aku perlu pulang ke rumah lama untuk mencari Pak Haji? Tapi, bagaimana dengan Ibu yang sendirian?
Aku akan tetap pergi, ini untuk kebaikan Ibu juga. Kasian melihatnya seperti kelelahan hingga kurus seperti itu.
Aku mulai mendekat pada Ibu yang tengah tertawa sendiri dengan menyebut nama Bapak.
“Bu, Adrian mau pergi sebentar,” ucapku lirih.
Ia seketika menengok ke arahku dengan tatapan tajam, kali ini ia bertingkah sangat aneh, matanya melotot ke arahku.“Jangan!”
Alisku menyerit. “Hanya sebentar saja, Bu.”
Tangannya terarah ke kedua pundakku dan menatapku amat dalam dengan senyum menyeringai, ia tampak bukan Ibu.“Bu, lepaskan!”
Pegangannya sangat kuat, giginya tampak mencuat dengan mata melotot ke arahku.
“Bu, sadar, Bu.”
Aku berusaha meraih tangah yang tengah memegang kedua pundakku.
“Kamu mau cari pria tua itu?”
Ah, bagaimana Ibu bisa tahu isi pikiranku?
“Tidak, Bu, aku hanya ingin membeli makanan untuk Ibu.”Aku sengaja berbohong, karena aku tahu ia sangat membenci Pak Haji Rosadi.
Perlahan-lahan ia melepas genggamannya di pundakku, lalu duduk termenung menunduk.
“Sakit sekali,” lirihku.Ibu mulai tenggelam dalam lamunannya lagi, memang sudah tidak wajar sikap Ibu kali ini. Apakah perlu aku bawa ke dokter saja sebelum aku mencari keberadaan Pak Haji Rosadi?
Ia kembali menoleh padaku. “Ibu mau tidur,” ucapnya lirih.Aku segera menuntunnya berjalan kedalam kamar dan membaringkannya tepat di kasur serta tak lupa selimut menutup sekujur tubuhnya.
Apa ini karma untuk Ibu? Aku harus bagaimana ini? batinku.
Mungkin ini kesempatan untuk aku pergi mencari keberadaan Pak Haji Rosadi, biarkan Ibu terlelap tidur dan aku akan pergi sebentar.
***
Sengaja aku menggunakan ojek online agar lebih cepat dan tidak terkena macet di jalan.
Aku masih ingat betul jalan di area rumah lama Ibu dan Bapak dulu. Ternyata sekarang rumahnya kosong tak berpenghuni.
“Hei, mau ngapain?”
Salah satu anak lelaki lebih muda dariku, mungkin masih di bangku SMP.
“Lagi lihat-lihat aja, memangnya kenapa?” tanyaku pada si bocah ini.
“Rumah ini angker, banyak yang kena teror kalau lewat di sini mending Abang pergi aja.”
Ucap si bocah ini membuatku semakin penasaran, hendak ingin bertanya lebih dalam si bocah ini malah pergi berlari.
Hendak ingin memasuki rumah lamaku, tetapi teringat aku tak memiliki kunci untuk membukanya.
“Pergi ke rumah Pak Haji dulu aja, ya,” pikirku.
Beruntung aku masih mengingat rumah Pak Haji Rosadi, semoga beliau ada di rumah.
***
Rumah sederhana yang masih sama seperti waktu lalu ketika aku masih duduk di bangku SMP.
Aku mengetuk pintu di depanku sambil mengucap salam, “Assalamu’alaikum.”
Namun, tak ada sahutan dari siapa pun dari dalam rumahnya. Sengaja aku menunggu sembari duduk di kursi teras rumahnya.
Tak berlangsung lama, Pak Haji Rosadi keluar.
“Wa’alaikumsalam.”Aku terperanjat dan langsung berdiri, menatapnya dengan senyuman khasku.
“Kamu Adrian? Anaknya Bahar?” ucapnya padaku.Aku mengangguk sembari menyalaminya. “Iya, Pak Haji, aku Adrian.”
“Ayo duduk, kamu ke mana aja? Bapak cari-cari katanya sudah pindah rumah.” Tanpa basa-basi ia langsung menanyakan keberadaanku sekarang.
“Iya, Pak. Aku pindah rumah dengan Ibu,” jawabku singkat.
“Pindah ke mana? Kenapa nggak bilang ke Bapak?”
“Maaf, Pak. Ibu dadakan sekali meminta untuk pindah, jadi aku tidak sempat memberi tahu Bapak,” jawabku.
“Jadi, bapakmu juga tinggal di sana?”
Aku menatapnya bingung, aku ke sini untuk mencari keberadaan Bapak, tapi Pak Haji malah menanyakan perihal Bapak.
“Bapak tidak tinggal denganku. Aku malah nggak tahu Bapak sekarang di mana, Pak,” jawabku dengan raut wajah bingung.
“Jadi, selama ini. Ah, Bapak sudah curiga sebelumnya.”
Aku tak tahu apa yang ia katakan, curiga dalam perihal apa? Apa Pak Haji Rosadi tahu tentang keberadaan Bapak?
“Memang Bapak di mana Pak? Kata Ibu, Bapak pergi merantau lagi.”
Ia menggeleng dengan mengembuskan napas beratnya. “Ibumu memang keji Adrian, kan, Bapak sudah bilang sebelumnya. Ibumu punya ritual pesugihan.”
Aku mengangguk sembari menelan saliva dalam-dalam. “Iya, Pak. Ibu sudah jujur padaku kalau memang ia sengaja melakukan hal ini.”
“Apa? Dia sudah mengatakannya? Dasar wanita jahanam!”Aku menghela napas perlahan. “Tapi, aku tidak bisa membencinya, Pak. Dia masih tetap Ibu. Wanita yang melahirkanku. Walaupun ia sudah mati pun, ia masih tetap menjadi Ibu.”
Ia memegang kedua keningnya. “Iya, kamu benar, Adrian. Kamu memang anak yang baik. Jangan sekali-kali menyakiti hati Ibumu walaupun Ibumu bukanlah orang baik.”
“Jadi, aku ingin ketemu Bapak, Pak Haji. Tolong Adrian, Pak!” Aku memohon kepada Pak Haji, aku tahu ia tahu keberadaan Bapak sekarang.
“Bapak tidak begitu tahu Adrian, tapi dalam terawangan Bapak. Sepertinya Bapakmu masih berada di sekitar rumah lamamu?”
Dahiku mengernyit. “Rumah lama?”
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...