Terbang tinggi 06

37 12 0
                                    


"Aduh bikin sakit kepala aja! Aku udah bilang kan jaga mulutmu!" tutur Seungri begitu Taeil pulang dari rumah sakit.

Taeil beserta para paman sedang duduk diruang tamu, ia mendapat perawatan yang cukup serius. Bagian leher sampai harus di gips, batang hidungnya bonyok dan harus diperban, belum lagi luka memar disekitar mata dan sudut bibir.

"Aku udah tahu kau bakal kena hajar Doyoung suatu hari." ucap Daesung sambil membuat kopi untuknya sendiri.

"Iya iya aku ngerti." sahut Taeil ketus.

"Oh ya?"

"Hei udah-udah nggak apa-apa kok." Seungri mencengkram bahu Taeil, menghentikan Taeil agar tak lagi mendebat ucapan Daesung.

"Anak itu aja masih hidup dipukuli Ian." imbuhnya menunjuk Yeonjun yang akan pergi keluar rumah.

"Makasih loh, aku merasa terhibur." gerutu Taeil.

Yeonjun yang sudah selesai memakai sepatu pun berpamitan pada semua penghuni rumah, tepatnya pada Paman Seungri.

"Wah udah lama nggak lihat tontonan menarik begini." ucap Daesung memunggungi Taeil sambil meminum secangkir kopi.

Taeil yang mendengar ejekan itu pun semakin kesal, "Brengsek." lirihnya.



-♡-




Diruang guru, Lisa sedang dipanggil untuk konsultasi terkait formulir yang telah ia kumpulkan kemarin. Sang Guru duduk depan layar komputernya, sedangkan Lisa duduk tak jauh dari tempat Pak Guru.

"Banyak yang ingin Bapak bicarakan denganmu, kau membuat suasana kelas jadi tidak nyaman. Kebiasaan telat, tentu aja karena Ayahmu bilang ada alasan pribadi jadi aku maklumi. Tapi kali ini kau sampai memukul teman sekelasmu..."

"Jangan telpon Ayah saya." sela Lisa dengan nada dingin, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah menahan rasa takut.

Pergerakan Pak Guru terhenti, ia melirik Lisa kemudian berbalik sepenuhnya menatap anak didiknya.

"Anggap saja aku maafkan ini juga, tapi...

Kau menulis pelukis sebagai pekerjaan yang kau inginkan di survey karir. Kau nggak tahu kalau bakal konsultasi dengan ini?"

Pak Guru kemudian memberikan formulir baru pada Lisa, "Tulis ulang, dan minta tanda tangan orangtua mu."

Lisa terkejut dengan pernyataan Pak Guru yang seolah meremehkannya, ia tak berniat untuk mengambil formulir itu dan berkata "Saya menulis itu bukan karena candaan."

"Bukan bercanda? Memang kau ada niat untuk melakukan itu dengan benar?" Pak Guru menatap Lisa remeh, "Nggak ada kan?"

Lisa hanya diam menatap Pak Guru yang terus saja menyinggung bakatnya. Bakat? Tunggu, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu jika Lisa pandai melukis.

"Memang kau bakal jadi pelukis begitu aja kalau kau bilang mau? Kau pikir diantara anak-anak yang bapak temui, cuma sedikit yang bilang mau masuk bidang kesenian atau olahraga yang nilainya rendah? Itu pasti karena mereka harus kuliah..."

"Kenapa? Emang katanya anak preman nggak boleh melukis juga?" ekspresi serta nada bicara Lisa sudah mulai meluap, ia semakin tak terkendali. Bagaimana bisa seorang Guru mengatakan hal seperti itu pada anak didik?

GET BACK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang