Bab 9

323 17 0
                                    

Kau tahu, Purnomo? Aku sangat yakin bahwa rencanaku untuk menguasai dunia akan berhasil. Kau adalah pemimpin proyek kita berdua. Apa? Kau kira aku menyembunyikan sesuatu darimu? Ah, tidak mungkin! Aku tidak menyembunyikan apa-apa selain satu: jati diriku. Kau pasti mengira bahwa aku ini presiden yang asli bukan? Oh, kau tidak mengira tentunya! Aku ini bukanlah Susilo Bambang Yudhoyono yang biasa engkau kenal. Masih banyak waktu untuk kita berkenalan. Oh iya, sekarang presidenmu itu, berada di bawah pengawasanku, jangan mengkhawatirkan dirinya, oke? Khawatirkan dirimu sendiri, mungkin saja kau selanjutnya yang aku tangkap.

- Surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Menteri Pertahanan Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro

FAIRUS dengan nafas tersengal-sengal dan dahi yang bercucuran keringat dingin bangkit dari tidurnya dengan cepat. Dia terkejut dengan mimpinya tadi yang begitu menyeramkan. Dia hanya dapat melihat sekelilingnya yang remang-remang, hanya diterangi dua lilin di sampingnya.

            Tadi dia bermimpi dia melihat Bik Anis, yang meratapi nasibnya ketika sebuah rumah dibakar. Orang-orang yang dalam kegelapan itu melempari rumah tersebut dengan minyak yang membuat api semakin besar, dan ada seorang lagi, pria tinggi dengan topi koboi di kepalanya yang melihat kebakaran rumah itu dengan senyuman jahat di mulutnya. Ia berjalan dengan pelan menuju Bik Anis. Pria itu menunduk dan membisikkan sesuatu pada Bik Anis, namun Fairus tidak dapat mendengarnya, dan dengan cepat pria itu mengeluarkan sebuah pistol, dan langsung menembak kepala Bik Anis. Dan cahaya apinya membuat Fairus terbangun dari mimpi yang sangat mengerikan baginya itu.

            Dia dengan cepat menyingkirkan selimutnya, dan berjalan keluar ruangan. Dia menggeser pintu, dan menutupnya kembali.

            Malam itu sunyi, dan hanya ada suara ombak memecah tebing dan suara-suara serangga yang saling menghinggap di pohon-pohon dan bunga-bunga yang terdengar di telinganya. Dia menoleh ke kanan dan kiri, Alif sedang tidur rupanya, pikirnya. Dia melangkah dengan pelan berjalan keluar dari rumah tersebut. Dengan cepat dia memakai sepatunya, dan berjalan mendekati pagar. Ia melompat, menggapai pagar, dan langsung menginjakkan kakinya di jalan yang sepi itu.

            Dia melihat ke kanan-kiri, dan bertanya-tanya, di mana ya jalan keluarnya? Namun dia melihat beberapa mobil berlalu-lalang di ujung jalan tersebut. Akhirnya dia berjalan ke arahnya. Dia mengambil HP dari saku celana, menekan beberapa nomor, dan mendekatkannya di telinganya. Terdengar suara dari kejauhan, "Halo?"

            "Halo, Icha?" tanyanya dengan gugup.

            "Iya, ada apa? Apakah kau harus meneleponku malam-malam begini?"

            "Tidak, tapi apakah kau bisa menemuiku di Déjà vu Café? Aku ingin berbicara sedikit denganmu."

            "Untuk apa? Hari sudah malam, dan kau masih memiliki acara makan malam denganku?"

            "Ayolah, aku hanya ingin berbicara denganmu sebentar saja."

            Di ujung telepon, terdengar sunyi yang agak lama, namun dengan segera suara itu kembali, "Baiklah, aku mungkin akan sampai di sana jam sembilan."

            "Baiklah, akan kutunggu," dia langsung mematikan HP-nya dan meletakkannya kembali di sakunya. Dia sekarang sudah berada di ujung jalan, dan berjalan lagi menuju tujuannya sekarang: Déjà vu Café.

FAIRUS yang tampak bosan sedang mengaduk-aduk kopi vanilla latte­-nya yang panas. Asapnya menghangatkan wajahnya. Baunya yang harum merasuki hidungnya, membuat matanya kembali membuka dan menghilangkannya dari kebosanan sambil menunggu kedatangan Icha.

TelekinesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang