KEADAAN malam itu sangat sunyi dan sepi. Hanya beberapa orang yang melewati Jalan Darmo itu. Hanya beberapa motor dan mobil setiap menitnya. Tak ada yang peduli dengan malam ini yang sepi. Semua hanya langsung melewati setiap lampu-lampu jalan yang berwarna kuning yang berdiri tegak di trotoar dan pembatas jalan. Taman Bungkul sangatlah sepi di sana, apalagi hari ini bukanlah hari Sabtu ataupun Minggu. Di hari kerja, Taman Bungkul di malam hari hanyalah sebuah tempat bagi orang yang sedang beristirahat sebentar dan beberapa orang yang sedang berpacaran—bisa kalian tafsirkan sendiri artinya apa—yang selalu berada di bagian belakang taman.
Di depan taman, seorang pria misterius yang memakai sebuah hoodie berwarna abu-abu dengan garis-garis hitam, serta sebuah celana panjang bukan jin yang terbuat dari kain yang sangat hangat sehingga kakinya tidak kedinginan yang mondar-mandir. Giginya terus menggigil, ini akibat karena dia sama sekali tidak memakai pakaian atas—alias setengah telanjang! Bukan hal yang biasa ketika menemukan orang seperti itu.
“Hei!” panggil seseorang yang berlari ke arahnya, orang yang lumayan tua dengan keriput di wajahnya. Pria itu menoleh. Dia melihat seorang pria paruh baya yang tampak menua, lebih tua dari dirinya sendiri. Seseorang karakter yang tampak sudah beristri, sudah mempunyai anak untuk dirawat, sehingga dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan hartanya yang tak ternilai itu. Memakai kaos yang berwarna hitam serta celana jin yang agak ketat serta sepasang sandal jepit bertali biru. Sangat aneh jika melihat orang seperti itu dandanannya sangat berkontradiksi. Apakah dia seeksentrik seperti diriku ini, pikir pria yang menggigil kedinginan tersebut.
Pria itu berhenti tepat di depannya sambil menatap matanya perlahan. “Apakah kau Professor Dien Ahmad?”
“Oh, tentu saja! Kau pasti menteri itu!”
“Bagaimana kau tahu?”
“Oh tenang saja, aku punya banyak UUD1945 di rumahku!” Dien berkata dengan tertawa kecil. “Ayo, mari duduk, dan panggil saja saya, Dien!” pintanya sambil menunjuk sebuah kursi taman yang cukup lebar terbuat dari besi.
Purnomo mengikuti Dien dan duduk di sampingnya. Dialah yang pertama kali membuka percakapan yang mulai serius itu. “Dien, apakah kau ingat laporan bulananmu yang telah kau berikan kepadaku?”
“Iya, memangnya ada apa?”
“Bukankah itu seharusnya untuk presiden?”
“Ah, ya, sebenarnya laporan bulanan yang aku buat itu ada dua: untukmu dan untuk presiden. Namun, laporan apa yang bisa kubuat untukmu? Jadinya aku hanya tinggal meng-copy file-nya dan memberikannya padamu.”
Purnomo mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah, Dien, apa yang akan kau katakan padaku?”
“Oh, sebelumnya,” dia merogoh-rogoh saku di dalam jaketnya. Purnomo baru mengetahui bahwa dia setengah telanjang. Dien langsung memberikannya beberapa berkas dan dokumen. “Ini, adalah hasil proyek kami. Maafkan aku jika fotokopi ini agak tidak terlihat, tapi semoga kau mengerti, bahwa saya, selaku kepala laboratorium, saya sangat ingin Anda mengetahuinya lebih dahulu sebelum presiden.”
Dia mengangguk-angguk mengerti. “Tapi mengapa harus saya dahulu?”
“Bukan apa-apa, tapi sayangnya, aku sudah tidak percaya lagi pada presiden.”
“Apa maksudmu? Dia yang menciptakan proyek ini, dia yang mengajak saya untuk memberikan dana serta memberikan alat-alat kemiliteran yang paling canggih untuk proyek ini! Apa yang harus Anda takutkan? Maksud saya, dia yang membuat, pasti tak akan menghancurkan karyanya sendiri, bukan?” pikir Purnomo dengan logis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Telekinesia
Science FictionFairus tiba-tiba terkejut ketika dia memiliki kekuatan telekinesis, dan semua tiba-tiba berubah menjadi serba terbalik! Kehidupan tenangnya adalah bahaya, dan petualangan tiba-tiba menyadarkannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, yang patut diper...