Bab 3

911 26 8
                                    

FAIRUS terhenyak di tempat tidurnya, terbenam pada imajinasinya yang melayang di kamar tidurnya itu. Imajinasi adalah ekspresi, pikirnya. Jika kita tidak pernah berimajinasi, maka kita tidak pernah berekspresi. Ekspresi bukanlah sekadar marah, senang, gembira, sedih, menangis. Ekspresi lebih dari sekadar itu. Apakah kau pernah melihat seekor burung yang mempunyai sebuah kepala berbentuk anjing Beagle? Tidak pernah! Tapi, ketika kau berimajinasikan seperti itu, maka akan tampak, bahwa sebenarnya ada. Bukan di dunia nyata, melainkan di pikiran kita. Pikiran kita sangatlah unik ya! Bahkan hal yang tak pernah ada bisa terbentuk di pikiran kita sekalipun dengan proses yang sangat cepat. Rumit sekali untuk menangkap sebuah pikiran itu sendiri. Pikiran sendiri adalah nyawa yang berharga. Bukankah manusia diciptakan untuk berpikir, namun terkadang manusia mengekang pikiran mereka itu, sehingga mereka tidak membayangkan burung berkepala anjing Beagle. Tapi itu semua sangatlah mungkin, pikirnya. Bukankah bisa saja?

            Dia terus-menerus berpikir dan menilai persepsi dunia ini dengan matanya itu. Jarang-jarang dia berpikir sejenak hanya untuk mengobservasi mengapa dunia itu membutuhkan manusia. Manusia adalah sebuah ciptaan, dan tak peduli bagaimana Tuhan menciptakan para manusia, tetap saja sama tujuannya. Untuk membentuk dunia itu sendiri. Apakah bisa dikatakan Planet Mars yang berwarna merah itu merupakan dunia? Tidak! Dunia itu memiliki populasi, memiliki makhluk hidup yang menempati mereka. Tapi sayangnya, dunia secara harfiah bukanlah seperti itu. Bukan hanya ditempati makhluk hidup maka sebuah planet akan dikatakan dunia! Justru yang lebih besar daripada kita, itulah dunia, itulah alam semesta! Yang terbentang luas dari ujung barat hingga ke ujung timur, dari ujung utara ke ujung selatan. Itulah dunia! Namun mata manusia sangatlah kecil karena mereka belum melakukan sebuah pengamatan pada alam semesta, seberapa luaskah dunia itu? Jika kita katakan dunia itu sangat luas, maka tidak ada yang akan percaya, justru akan semakin banyak menimbulkan pertanyaan lagi, seberapa luaskah? Apakah seluas itu? Jika dibuat angka, maka luasnya berapa? Bagaimana Anda bisa menentukan angka seperti itu? Tak ada yang bisa menjawabnya! Semua hanyalah mistis, dan sebenarnya dunia itu tak terbatas, bahkan dunia itu ada dua menurut alamnya, dan ada dua lagi menurut bentuknya.

            Dia membagi dunia itu menurut alamnya ada dua, yaitu: alam barzah dan alam nyata. Fairus berpikir tentang kedua-duanya. Alam barzah adalah sebuah dunia yang mungkin kita tidak bisa melihatnya, tapi kita bisa merasakannya. Bukan berarti bahwa alam barzah selalu memiliki nuansa yang “mematikan”. Alam barzah adalah alam kubur, tempat di mana semua roh-roh orang-orang yang telah mendahului kita disemayamkan untuk sementara. Roh yang penasaran adalah roh yang masih memiliki pertanyaan di seputar kehidupannya, bukan karena dia ingin membalas dendam. Mereka—para roh—tidak akan pernah balas dendam, mereka hanya mencari seseorang tubuh yang masih hidup untuk menjawab pertanyaan mereka yang masih ada di benak mereka dan belum terjawab ketika akhirnya waktu hidup mereka sudah habis. Mereka ketakutan di dalam sana, karena di sana mereka pasti sudah tahu, mereka akan masuk ke mana. Surga atau neraka.

            Dan yang ke dua adalah dunia nyata. Tempat di mana kita berdiri, kita duduk, kita berbicara, kita melangkah, kita makan, kita minum, kita bersepeda, kita berbahagia, dan sebagainya ini. Dunia di mana terjadi pertengkaran, perlombaan, permainan dunia politik, penggelapan dan pencucian uang. Mari kita lihat! Apakah hal-hal itu terjadi di alam barzah? Tidak! Apakah pernah ada cerita bahwa si pocong menggelapkan uang si kuntilanak? Ataukah ada cerita genderuwo dari partai “Hantu Sejahtera” yang sedang berkampanye melawan suster ngesot dari partai “Keamanan Hantu”? Bukanlah hal yang lumrah untuk mengatakan bahwa sewaktu-waktu kita juga bisa seperti mereka. Namun kesempatan di dunia ini, setiap orang hanya diberikan satu kesempatan untuk hidup dengan sebaik-baiknya, tak kurang juga tak lebih. Semua sama, satu kesempatan untuk hidup. Tapi apa? Apa yang dilakukan manusia pada saat kesempatan mereka untuk hidup hanya satu kali? Mereka melakukan kejahatan, padahal Tuhan sendiri menginginkan mereka untuk berbuat baik, tapi mengapa?

Fairus berpikir lagi dengan ekstra hati-hati.

            Kemudian dunia imajinasi. Fairus langsung lenyap ke dalamnya, karena dia sendiri diciptakan dari dunia tersebut. Semua orang diciptakan dari sana. Semua orang mempunyai impian, dan seorang pasangan suami-istri pasti memimpikan seorang anak. Mereka bermimpi anak mereka seperti apa—berkulit sawo matang yang manis atau warna putih yang suci, tinggi ramping atau pendek yang lincah, berambut lurus yang tebal atau berambut pendek yang rapi, bermata sipit atau lebar, memiliki hidung yang mancung atau pesek. Maka, dari mana seorang manusia lahir? Dari mimpi kedua orang tua mereka, dari imajinasi orang tua mereka. Dia terbentuk dari impian mereka untuk membuat seorang keturunan, menggabungkan gen-gen mereka, dan memiliki seorang anak yang dapat dipeluk lagi dapat diajar sehingga berguna kelak bagi nusa dan bangsa. Namun, beberapa anak dari lahir sudah tidak memiliki seorang bapak—yang bertugas untuk membimbing anaknya menjadi lebih baik. Atau mungkin kehilangan seorang ibu ketika seorang anak lahir dari rahimnya—yang bertugas untuk mengasihi dan memberikan nutrisi bagi anaknya. Beberapa anak pasti memiliki masa-masa yang sangat pahit seperti itu, atau bahkan yang lebih buruk lagi—yatim-piatu, penuh dengan utang, serba segalanya kekurangan, penuh rasa iri dan kemarahan pada nasibnya sendiri, dan akhirnya melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat hanya agar dapat memberinya sesuap nasi untuk dimakan, lalu dipenjaralah dia, hanya karena mencari sebuah rezeki namun dengan cara dan proses yang salah.

            Tiba-tiba Fairus mendengar suara.

            Dia melihat ke perutnya. Perutnya lapar. Siang ini Bik masak apa ya, pikirnya dalam hati sambil mengusap perutnya berkali-kali. Dia langsung melompat dari tempat tidur, dan dengan berlari cepat dia menuruni tangga dan melihat meja di ruang makan.

            Ia melihat piring-piring sudah tertata rapi. Nasi sudah berada di piring masing-masing. Lauknya hari ini adalah tempe serta udang yang ditepung, sayur dan buah-buahannya ada apel dan sayur bayam. Menu rumahan yang sederhana namun mengenyangkan, apalagi dengan nafsu makan Fairus yang selalu berlebihan, membuat Bik Anis menaruh lebih banyak porsi di piringnya daripada di piring Bik Anis sendiri.

            Fairus menoleh ke kanan-kiri. Tidak ada tanda-tanda Bik Anis, gumamnya. Dia langsung saja duduk di kursi dan berteriak, “Bik Anis, saya makan duluan!”

            Ketika dia mengulurkan tangannya untuk mengambil sebuah sendok di tengah meja, sesuatu terjadi.

            Sendok itu bergerak sendiri ke tangannya!

            Dia membuka mulut. Terpukau sekaligus heran. Apa yang terjadi di dunia ini? Dalam hatinya dia sangat ketakutan sekali. Mungkin saja ini tanda-tanda kemunculan hantu di rumahku, pikirnya. Dia menelan ludah. Dia mencoba untuk mengembalikannya lagi. Dia menarik tangannya kembali. Apakah itu dari aku, pikirnya. Sangat tidak mungkin jika aku seorang anak indigo! Tapi, apakah aku salah satu dari mereka? Pertanyaan itu coba ia realisasikan dengan mencoba untuk mengulurkan tangannya kembali. Hal itu akhirnya terulang lagi! Dia kaget, terpana, dan benar-benar memuji dirinya sendiri.

            “Ah, ini sangat tidak mungkin! Bagaimana aku bisa melakukannya? Benar-benar tidak mungkin!” serunya dengan senyuman bangga atas dirinya sendiri. Dia langsung saja dengan cepat ingin mencoba lagi. Sementara tangan kanannya memegang sebuah sendok, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengambil garpu. Kali ini dia tidak mendekatkan tangannya, melainkan justru menjauhkannya ke belakang. Dengan memikirkan gapu itu tertarik ke genggamannya, tiba-tiba salah satu garpu bergetar. Dengan cepat garpu itu melompat, dan melayang dengan cepat ke tangannya, Fairus menangkapnya. “Wow!” gumamnya dengan tidak jelas.

            Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dia sangat tidak percaya dengan hal ini. Tapi, sebelum dia menyantap makanan yang sudah tersedia di depannya itu, dia ingin menukar posisi sendok dan garpu itu antar tangan. Sambil membuka lebar matanya, dengan tiba-tiba dia langsung melepaskan keduanya, dan dengan sangat tidak percaya lagi, kedua benda itu melayang sambil berputar di udara! Dengan pelan ia gerakkan jarinya, benda itu bergerak sendirinya antar tangan, dan akhirnya sampai di tujuan masing-masing.

            “Wow!” serunya lagi yang terakhir sebelum menyantap menu makan siangnya.

TelekinesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang