FAIRUS terbangun di sebuah tempat yang aneh. Dia mengedipkan matanya berkali-kali agar dapat melihat lebih jelas. Dia melihat langit-langitnya, dari kayu. Ada sebuah lampion yang menggantung, seperti lampion yang berada di Jepang. Bundar dan terbuat dari kertas tipis berwarna merah dengan api di dalamnya.
Dia langsung terkejut dan bangun.
Dia melihat sekelilingnya. Dia sekarang berada di dalam sebuah ruangan yang biasanya berada di Jepang—dinding kayu, pintu kayu yang bisa digeser-geser, serta kertas tipis yang menempel di bingkai-bingkai kayu tersebut. Dia mengira dia seperti berada di Jepang benaran! Dia berada di atas sebuah tempat tidur dengan sebuah bantal dan sebuah selimut. Dia merasakan yang aneh di sekitar kakinya, dan ketika dia mengangkat selimutnya, dia langsung menutup lagi selimutnya. Dia telanjang bulat! Di sampingnya, dua lilin yang menyala menemaninya. Dia bingung, apalagi tengkuknya masih agak terasa sakit.
Apa yang terjadi tadi, pikirnya.
Dia bingung sekarang ada di mana. Tak mungkin dia sekarang berada di Jepang. Jelas bukan, karena dia bisa melihat, ini hanya sebuah ruangan atau sebuah rumah yang dibentuk seperti rumah-rumah di Jepang. Dari ke Indonesia ke Jepang sangatlah lama sekali, dan tidak mungkin sosok pria itu menyembunyikan dirinya di bagasi atau koper ketika naik pesawat. Dan lebih tidak mungkin lagi dia melewati gerbang pemeriksaan karena dia tidak memiliki paspor. Sehingga dia pasti masih berada di Indonesia, dan yang jelas, bukan di luar Pulau Jawa. Di Madura pun juga tidak mungkin, karena aku bisa bangun sewaktu-waktu dan kabur. Orang ini pintar, pikirnya. Pertanyaannya: aku di mana sekarang?
Dia mendengar sebuah langkah yang mendekat ke arah pintu. Ketika pintu itu dibuka, dia melihat seorang pria. Mungkin itulah pria yang menangkapnya. Fairus memanas ketika memandang pria itu mendekatinya sambil membawanya sepiring makanan. Pria itu terkejut ketika melihatnya sudah bangun. “Ah, kau sudah bangun?”
“Mau apa kau dariku?”
“Kau lebih baik makan dulu.” Dia berhenti, dan duduk. Dia menaruh piring tersebut di depannya. “Aku sudah membuatkanmu semur daging beserta sayur buncis tumis serta beberapa potongan jagung. Semoga kau menyukainya.”
“Mau apa kau dariku? Membunuhku?”
“Jika aku ingin membunuhmu, aku pasti sudah akan melakukannya dari tadi,” ujarnya sambil berdiri dan berkeliling ruangan itu, “membunuhmu sekaligus tertidur adalah hal yang sangat mudah bagiku.” Dia menoleh ke belakang. “Makanlah, kau pasti lapar.”
Fairus hanya menurutinya. Dia benar, jika dia ingin membunuhnya, seharusnya saat ketika dia tidur, karena pada saat itu, dia tidak menggunakan telekinesis. Dan dia benar, Fairus harus makan, karena dia dapat mendengar suara perutnya berbunyi. Spontan Fairus langsung memakan hidangan tersebut dengan lahapnya dan tak memedulikan omongan pria itu. “Hmm, kita adalah orang yang sama, Fairus. Kita sama-sama pria, sama-sama orang yang tidak suka keluar rumah, dan juga sama-sama orang yang mempunyai kekuatan yang sama: telekinesis.”
“Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Fairus dengan mulut penuh dengan nasi serta daging. Beberapa biji jagung terlihat menyusup di antara giginya.
“Aku mendapatkannya dari sebuah eksperimen,” ujarnya sambil berjalan, “eksperimen pemerintah yang sangat rahasia.”
“Aku juga.”
Dia berhenti, dan langsung mengangkat alis, “Dari mana kau tahu kalau kekuatanmu dari eksperimen tersebut?”
“Tidak, aku tidak tahu, aku hanya menebak-nebak. Bukankah hal ini sering terjadi pada kebanyakan film-film?”
Pria itu hanya menggeleng-geleng, menganggap kekonyolan anak ini terlalu berlebihan. “Yah, mungkin kau benar. Mungkin kau bertanya-tanya kita sekarang ada di mana, siapa aku, tujuanku apa untuk menangkapmu, dan mengapa hal-hal seperti ini terjadi padaku. Baiklah, aku akan menjelaskannya satu per satu. Kita, sekarang masih berada di Surabaya bagian utara, rumah ini terletak tepat di samping lautan. Namaku adalah Alif, Alif Norman.”
Ketika Alif tidak melanjutkan kalimatnya, Fairus langsung berkata, “Lalu, tujuanmu menangkapku dan alasan mengapa hal-hal seperti ini terjadi pada kita, mengapa kau tidak melanjutkan kalimatmu? Aku ingin mendengarnya, agar kita impas, sehingga aku bisa keluar dari sini secepatnya.”
“Oh, kau tidak bisa keluar dari sini!” seru Alif dengan menggerakkan telunjuknya.
“Mengapa?”
“Karena aku menangkapmu mempunyai sebuah alasan yang sangat mendebarkan. Apakah kau ingin kuceritakan sebuah kisah? Mungkin ini agak terdengar konyol, tapi, sebaiknya kau percaya, karena cerita ini, mampu membawa kita semua kepada dalang yang membuat eksperimen gila ini,” jelasnya sambil melangkah berjalan mendekatinya, dan duduk di hadapannya.
“Baiklah, aku siap mendengarkan,” balas Fairus sambil meletakkan piring itu di lantai.
“Oke, dari mana aku memulainya sebaiknya? Ah, ya! Jadi, kau tahu, bahwa di setiap sifat manusia, pasti ada sebuah sifat ‘serakah’. Setiap manusia pasti memiliki keserakahan, namun terkadang manusia akan dianggap tidak serakah ketika mereka mampu membatasi diri mereka dari sifat tersebut. Dan eksperimen ini, juga berasal dari keserakahan mereka. Keserakahan untuk menguasai dunia, untuk membuat dunia baru, dan sebagainya alasan mereka untuk merealisasikan eksperimen ini. Dan semua hasil ide ini, berasal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara diam-diam melakukan eksperimen ini—tersembunyi dan tidak diketahui—kecuali satu orang menterinya, yaitu Menteri Pertahanan Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro. Dia tidak hanya saja tahu, tetapi dia juga yang memimpin eksperimen rahasia dan ilegal ini di bawah komando sang presiden. Purnomo bersama dengan Prof. Dien Ahmad selaku kepala laboratorium telah membuat enam hasil dari eksperimen yang disebut ‘Manusia yang Baru’. Enam eksperimen itu diletakkan di Kota Surabaya—yaitu kau—lalu ada Kota Malang, Kota Yogyakarta, Kota Solo, Kota Bandung dan Kota Jakarta. Kau, adalah eksperimen yang terakhir yang dilakukan.” Alif mengungkapkannya panjang lebar.
“Aku menjadi subjek percobaan yang ke berapa?”
“Kau menjadi subjek percobaan yang pertama. Sedangkan aku, merupakan orang dalam yang mencuri zat yang sama dengan apa yang sekarang berada di dalam tubuhmu.”
“Lalu, apa alasanmu untuk menangkapku?” tanya Fairus dengan tatapan serius. Dia ingin mendengarkan alasannya dengan mendalam.
Alif hanya tertawa kecil. “Kau masih belum mengerti juga, ya?” Fairus tiba-tiba memiringkan kepalanya. “Aku akan menjadi gurumu, aku akan melatih dirimu, agar kita bisa menghancurkan si presiden yang rakus itu!”
“Ah,” kata Fairus membuka mulutnya lebar-lebar, “kau guru telekinesisku. Kau mendidikku agar aku bisa menjadi lebih kuat, dan juga aku bisa membalasdendamkan dedammu pada si presiden bangsat—“
“Tolong,” sela Alif, “tolong jangan pakai kata kasar di sini.”
“Oh, maafkan aku, dan aku juga bisa membalasdendamkan dendammu pada si presiden yang gila itu!”
“Ya, itu lebih baik, dan itu benar.” Alif berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia menggesernya, dan berhenti. “Kau ingin memulai latihannya hari ini?”
“Tentu saja, mengapa tidak?” seru Fairus dengan tatapan riang. Sebelum dia berdiri, dia bertanya, “Maaf, tapi mengapa aku tiba-tiba bisa telanjang?”
“Oh, aku hanya mencari tempat kau disuntik oleh zat itu, dan kau disuntik di pantatmu.” Alif langsung pergi meninggalkannya.
Fairus bingung dan heran dengan dunia ini. Masih saja ada yang belum diketahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telekinesia
Fiksi IlmiahFairus tiba-tiba terkejut ketika dia memiliki kekuatan telekinesis, dan semua tiba-tiba berubah menjadi serba terbalik! Kehidupan tenangnya adalah bahaya, dan petualangan tiba-tiba menyadarkannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, yang patut diper...