FAIRUS bangkit dari tempat tidurnya. Hari sudah terasa pagi ketika dia melihat kembali jendela di sampingnya. Cahaya memasuki kamar tidurnya. Dia masih mengantuk walaupun dia sudah tidur dua kali setelah salat Subuh. Dia berdiri dan melangkah keluar dari ruangannya.
Dia melihat di luar, Alif sedang duduk di tepi jurang di atas kursi kayu taman. Dia duduk sambil menghadap taman miliknya. "Ada apa kau duduk di sana?" tanya Fairus yang merasa heran.
"Oh, aku sedang duduk," jawabnya polos sambil melihat tamannya.
"Ya, maksudku, selain duduk, kau sedang melakukan apa?" tanya Fairus yang agak kesal dengan jawaban yang polos itu.
"Aku sedang mengamati bagaimana kekuatan telekinesis itu bekerja." Alif terdiam sebentar, dan matanya menyiratkan untuk mengajak Fairus untuk duduk bersamanya. Fairus tertarik untuk mendekatinya, dan duduk bersamanya. Alif langsung menutup matanya dan bernafas dengan pelan. "Kau tahu, bahwa setiap kekuatan di dunia ini, petir, awan, langit, air, semua pasti memiliki kegunaan, bukan begitu?"
Fairus mengangguk terdiam. Dia ingin mendengarkannya untuk mengetahui arah percakapan ini berakhir ke mana. "Oh, apakah kau sudah tahu bagaimana aku menyirami tanaman-tanamanku di taman ini?" tanya Alif sambil menoleh ke arahnya. Fairus menggeleng-geleng. "Baiklah, akan kuceritakan. Dari pipa-pipa air di bawah rumahku, aku mengangkat air-airnya, mengalirkannya dari kedua saluran di sana," tunjuk Alif pada sebuah saluran setengah lingkaran di sisi atap yang berujung pada sudut taman, "lalu air itu jatuh di sebuah lajur yang menggenang," lalu kemudian air di saluran pipa tersebut jatuh tetes demi tetes menuju sebuah lajur yang menuju ke setiap tanaman—sebuah jalan kecil yang melengkung dan menuju setiap tumbuhan di taman tersebut. Fairus baru menyadarinya, dan Fairus mulai paham bahwa ternyata, telekinesisnya diciptakan bukan hanya untuk membunuh. Alif menoleh ke arahnya, "Jadi, sekarang kau mengerti?" tanya Alif dengan tersenyum penuh kepuasan.
Fairus sekali lagi mengangguk, dan baru menyadari bahwa ada beberapa gunting taman yang melayang dan memotong-motong dedaunan bonsai yang tertata rapi di taman tersebut.
Alif tiba-tiba berdiri dan menghadap ke jurang. Merasakan angin yang melewati jubahnya, melewati kepalanya. "Kau bisa rasakan anginnya itu, kan?" tanya Alif yang tampak begitu bahagia.
Icha yang telah mandi dan keluar dari ruangannya, melihat mereka berdua sambil menyembunyikan senyumannya. Dia melihat Fairus duduk manis di sana, dan matanya—seakan-akan menunjukkan sebuah rasa cinta yang ingin melindunginya. Dia berpikir sambil berdiri, aku hanya bisa berharap bahwa aku bisa melindunginya, tapi apakah aku bisa? Icha terisak-isak dalam pikirannya. Bukan karena dia malu untuk berkorban, tapi bukankah dia sudah tak membutuhkannya lagi? Apalagi yang harus dia katakan, jika seseorang yang dia cintai adalah orang yang tak mencintai dirinya? Pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalanya, apalagi dia semakin ingat dengan kenangan pahitnya di kafe waktu itu.
"Apakah kau tidak mencintaiku?" tanyanya dengan tatapan yang sangat berharap bahwa dia memberikan jawaban yang sangat diinginkannya.
"Apakah kau harus mencintai seseorang yang dari awal tidak pernah mencintaimu?" tukas Fairus tanpa memperhatikannya. Dia terus mengaduk vanilla latte-nya.
"Aku selalu mendekatimu dengan cara apapun!"
"Tapi bahkan aku tak pernah menghargainya, Icha. Aku tahu, kau sakit hati sekarang, tapi, apakah aku juga pernah menyayangimu juga? Kau selalu ingin memiliki apa yang ada di depanmu, tapi aku menjauh! Kau dan aku, adalah bayangan yang semakin memudar ketika malam tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Telekinesia
Science FictionFairus tiba-tiba terkejut ketika dia memiliki kekuatan telekinesis, dan semua tiba-tiba berubah menjadi serba terbalik! Kehidupan tenangnya adalah bahaya, dan petualangan tiba-tiba menyadarkannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, yang patut diper...