Bab 2

984 31 1
                                    

FAIRUS langsung memasuki pagar sekolah menuju tempat parkir sekolah. Dia turun, dan menuntun sepedanya masuk ke sebuah lorong yang di samping kanannya merupakan tempat sepeda dan sepeda motor terparkir. Dia memarkirkan sepedanya, dan langsung berlari melewati kantin yang terhubung dengan tempat parkir. Dia sudah mendengar sebuah aba-aba dari seorang guru pria yang mengatakan di depan mic untuk segera berbaris rapi karena upacara akan dimulai. Dia berlari semakin cepat, dan sambil berlari dia memutarkan tasnya, mengambil topi sekolah yang ada di dalamnya. Ia mengembalikan tasnya ke belakang. Untunglah kelasnya, yaitu IX F, berdekatan dengan kantin, sehingga ia tidak perlu terburu-buru.

            Dia langsung memasuki kelasnya, dan melihat kelasnya sudah sepi. Yang ada hanyalah tas-tas di atas meja dan di samping kursi. Pasti anak-anak sudah baris, pikirnya. Dia langsung meletakkan tasnya di paling belakang. Dia selalu beranggapan bahwa jika dia menaruh tas di depan maka dia akan selalu diawasi, sehingga dia selalu ingin berada di belakang. Tidak diawasi dan tidak mendapat cacian dan makian ketika ramai.

            Dia langsung berlari, dan menemukan segerombolan anak IX F yang berbaris rapi di depan kelas IX B dan IX C. Dia langsung memasuki barisan itu dan mendengar seorang guru berteriak kepada siswa-siswi kelas tujuh dan delapan untuk segera turun dari lantai dua dan tiga dan baris di lapangan. Benar-benar riuh dan ribut. Fairus terus mendengar salah satu guru yang berada di depan dengan mic yang berkata, “Anak-anak kelas tujuh dan kelas delapan, segera turun! Tolong tertib dan segeralah baris di lapangan! Jika kalian ingin upacara pagi ini cepat selesai, maka tolong segera turun! Sementara untuk yang kelas sembilan—“

            Tiba-tiba Fairus mendengar bising yang sangat keras hingga dia menutup telinganya. Sebuah bising yang diakibatkan oleh gelombang suara antara speaker dan mic yang bertabrakan. Namun biasanya tidak sekeras ini, dan baru pertama kalinya ini, dia mendengar suara ini begitu keras dan memekakkan telinganya. Tapi, ini aneh! Hanya dirinya sajalah yang menutup telinganya, yang lainnya biasa saja, berdiri sambil menunggu untuk dimarahi guru. Ah! Apa yang terjadi di dunia ini? Gelombang itu semakin keras saja, dan Fairus tampak lelah untuk menahannya.

Dia langsung lemas, dan terjatuh ke lapangan.

Beberapa siswa dan guru yang kebetulan lewat langsung melihat ke arahnya. Beberapa dari guru dan anggota PMR sekolah langsung menggotong Fairus. Keadaan semakin gawat, dan Fairus semakin bercucuran keringat dingin yang muncul dari dahinya. Tubuhnya semakin bergetar, membuat orang-orang yang menggotongnya mempercepat langkah mereka menuju ruang UKS. Bukan hal mudah untuk membawanya, apalagi beberapa siswa tampaknya menjadikan kejadian itu sebagai tontonan tanpa harus “membayar”. Beberapa dari guru langsung menertibkan barisan yang mulai kacau lagi setelah melihat Fairus pingsan.

            Ketika sudah masuk di UKS, Fairus langsung diletakkan di sebuah tempat tidur yang empuk lengkap dengan bantalnya. Tubuh Fairus semakin bergetar hebat. Beberapa guru berkata, “Biarkan saja! Kita tidak punya obat penenang!” Petugas PMR langsung menyerah, tak ada yang bisa mereka perbuat selain menunggu datangnya keajaiban.

            Fairus masih tetap bisa mendengar guru yang berkata di mic, “Harap tenang semua! Ayo, mari kita mulai upacaranya!” Dan kata-kata itu semakin membaur di pikirannya, dan pelan-pelan tergantikan dengan sebuah penglihatan yang kacau-balau. Ia melihat: tawa ibunya yang masih dia ingat, wajah ibunya yang cantik dan menawan dengan rambut pendeknya, wajah ayahnya yang tampan yang berkulit coklat dengan rambut pendeknya dan mata kebiruannya.

            Serta sebuah ledakan mobil yang membuatnya berteriak karena terkejut.

            Dan dari dirinya, sebuah cahaya yang transparan keluar membentuk sebuah lingkaran serta energi yang mampu membuat sekelilingnya berhenti—tidak bergerak! Seakan-akan dihentikan oleh waktu itu sendiri! Langkah-langkah guru diam begitu saja, murid-murid yang ramai langsung sunyi senyap, tak ada pembicaraan dan suara. Burung-burung yang beterbangan di atas sekolah itu pun juga berhenti mengepakkan sayap. Bola cahaya transparan itu terus dan terus membesar hingga mencakup seluruh sekolah. Setelah lima detik, bola cahaya itu terus menyusut dengan cepat, dan semua langsung berubah menjadi dinamis ketika cahaya itu sudah masuk ke sumbernya.

            Satu detik selanjutnya, sebuah angin berenergi muncul dari Fairus dan membuat seluruh kaca di sekolah itu hancur berkeping-keping. Para murid dan guru menundukkan kepala, mic terjatuh dari tempatnya, membuat suara gelombang tabrakan yang sangat bising dan membuat gendang telinga seseorang hampir pecah. Para guru—terutama pria—langsung dengan segera berbaris di dekat pintu keluar sekolah dan mengevakuasi murid-murid dan guru-guru wanita yang berteriak sesuka hati mereka, berlari sesuka hati mereka asalkan mereka dapat menghindar dari kejadian yang sangat aneh dan mungkin bahkan seharusnya tidak akan pernah terjadi di hari yang seharusnya khidmat ini!

            Mereka berlari keluar gedung dan menuju titik evakuasi yang berada di luar pagar, sementara ada beberapa orang yang langsung berkata, “Panggil polisi! Panggil ambulans!” dan akhirnya beberapa orang menuruti apa kata mereka. Mereka langsung mengambil HP mereka, dan menekan nomor darurat.

            Sementara Fairus hanya diam tak bergerak setelah kejadian itu.

        BEBERAPA polisi sudah datang mengerubungi sekolah itu. Beberapa guru masih ketakutan dan bergetar, mematung di tempat mereka berdiri. Anak-anak sudah dipersilakan pulang, namun beberapa anak lagi masih menunggu untuk dijemput. Para murid dan guru masih was-was dengan apa yang terjadi saat itu. Mungkinkah ini perbuatan seorang teroris? Atau mungkinkah ini perbuatan sebuah eksperimen keji yang dilakukan di sekolah itu dan berakhir gagal atau sukses? Ataukah ini kutukan setan yang terjadi atas kenakalan seorang murid di sekolah tersebut? Ataukah yang lebih buruk lagi, tanda-tanda hari Kiamat telah tiba? Pertanyaan itu masih menjadi perbincangan di antara mereka. Namun polisi tak akan pernah bertanya kepada mereka, karena mereka membutuhkan hasil yang berdasarkan pengamatan sendiri, FAKTA, bukan opini. Namun polisi-polisi ini tampaknya masih belum bisa memberikan bukti bahwa ini kejadian merupakan suatu kecelakaan atau kesengajaan, dikarenakan secara teknis, hal ini terjadi serempak bersamaan atas apa yang terjadi di Malang, Yogyakarta, Solo, Jakarta, dan Bandung. Merupakan suatu hal yang aneh yang kasusnya hampir sama dengan yang terjadi di sini—kaca sekolah pecah bersamaan diikuti dengan sebuah energi yang besar sekali walaupun berbentuk seperti angin.

            Fairus terbangun dari tidurnya sambil mengusap kepalanya yang penuh dengan keringat yang mengering. Dia mendongak, dan melihat salah satu petugas PMR masih duduk di depan pintu. Tampaknya dia menunggu untuk diriku keluar, pikirnya. Fairus langsung bangkit, dan dia menoleh mendengar suara rengekan tempat tidur yang sudah lumayan tua itu. Fairus tersenyum, dan dia membalasnya dengan senyuman.

            Fairus langsung memakai sepatunya dan berjalan keluar. Semula dia merasa aneh dikarenakan sepi, dan dia mematung di depan UKS, melihat sebuah keadaan yang dianggapnya sama seperti habis terkena badai angin topan. Dia bingung, namun petugas di belakangnya langsung berkata, “Kau tidak tahu apa yang terjadi, ya?”

            Fairus hanya menggeleng-geleng.

            “Yah, tadi, aku tidak tahu mengapa, namun aku bisa melihat jelas, bahwa tiba-tiba seluruh kaca sekolah ini pecah. Mungkin karena angin, tapi aku tidak merasakan adanya badai. Tiba-tiba pecah begitu saja. Itu terjadi dua puluh menit yang lalu. Untung kau berada di UKS, sehingga kau tidak terkena pecahan kaca, namun untunglah tidak ada yang terluka. Sebaiknya kau pulang ke rumah, dan sekolah akan diliburkan sampai beberapa minggu ke depan. Tidak ada pengumuman lebih lanjut tentang libur panjang ini.”

            Fairus mengangguk-angguk. Dia langsung berlari ke kelasnya, dan dia melihat bahwa hanya tasnya sendiri yang masih belum diambil oleh pemiliknya. Dia langsung mengambilnya, dan langsung berlari menuju ke pintu keluar. Dia berpapasan dengan beberapa mobil polisi yang masih menyalakan lampunya dan beberapa polisi yang sedang membawa catatan untuk mencatat beberapa penjelasan yang sangat penting untuk dilanjutkan penyelidikan lebih lanjut. Fairus mengambil sepedanya, dan mengayuhnya keluar dari sekolah yang tampak seperti kapal pecah tersebut.

            Ketika Fairus keluar, seorang polisi menatapnya penuh selidik dan keingintahuan. Fairus merasakan hawa aneh di belakangnya, namun dia tetap menghiraukannya. Dia dengan semakin cepat mengayuh sepedanya itu, sementara polisi tersebut hanya dapat mengamatinya dari kejauhan.

            Di tangannya terdapat sebuah simbol garis-garis Barcode hitam.

TelekinesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang