Bab 6

603 22 0
                                    

Tuan Purnomo? Kau ini adalah seorang menteri pertahanan yang sangat bijak sekali jika kau masuk ke dalam proyek ini. Jangan kau anggap aku ini musuhmu! Menteri tak pernah memusuhi presiden, kan! Aku akan sangat mengapresiasi bantuanmu, apalagi bantuanmu dalam hal pertahanan akan sangatlah membantu. Maukah kau bekerja sama? Sebagai sebuah tes untuk menguji kepatuhanmu, maka tolong, carikan informasi tentang Adam Fadhillah! Dia adalah informan terbesar kita!

-  Surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Menteri Pertahanan Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro

FAIRUS termenung di tempat duduknya di sebuah mulut gang yang menuju ke rumahnya. Gang tersebut memang berlaku-liku dan bercabang, apalagi gang sebelum dia memasuki gang yang menuju ke rumahnya. Merupakan tempat yang terbaik untuk bermain “Polisi-polisian” dan “Petak Umpat”. Karena hanya ada gang buntu: gang yang menuju rumahnya. Namun, Fairus telah membuat sebuah jalan pintas dari rumahnya ke sebuah gang lain, yaitu dengan melompat dari teras belakang rumahnya melewati sebuah atap dan melompat turun ke sebuah gang melintang. Sehingga, gang di perumahan ini benar-benar tidak ada hentinya. Tapi Fairus tidak berpetualang lebih jauh lagi, dia takut tersesat.

            Dia hanya terus termenung sambil melihat beberapa anak kecil yang sedang ada di luar rumah, memakai seragam sekolah, dengan tas di belakang mereka, serta orang tua dengan mobil atau motornya yang berada di luar, bersiap-siap untuk kerja serta mengantarkan anaknya sekolah. Hmm, kapan ya, aku sekolah lagi, pikirnya sambil memikirkan nasib sekolahnya yang kacau-balau. Dia belum sempat mendengarkan kabar sekolahnya itu. Apakah sudah diperbaiki, ataukah masih dalam proses?

            Tiba-tiba Bik Anis keluar gang sambil membawa tas yang biasa dibawanya saat ke pasar dengan sepeda merahnya. Dia terkejut dengan keberadaan Fairus di mulut gang, karena biasanya Fairus masih berada di tempat tidur di jam-jam seperti ini. Dia langsung bertanya, “Fairus! Apa yang kau lakukan di sini?”

            “Ah, apa Bik Anis tidak tahu apa yang terjadi pada sekolahku?” tanya Fairus balik sambil memandang dirinya.

             Bik Anis menggeleng-geleng. “Apa, Fairus? Kau ingat kan, aku tidak terbiasa menonton TV?”

            Fairus langsung menepuk dahinya. “Oh iya, aku lupa bilang! Sekolahku itu, Bik, hancur! Hancur sehancur-hancurnya, aku tidak tahu penyebabnya, tetapi kacanya pecah semua! Akhirnya diliburkan deh sekolahku itu!”

            “Oh, begitu toh, ya sudah, Bik mau ke pasar dulu! Kamu tidak titip apa-apa?”

            “Tidak, Bik,” kata Fairus sambil memandang jalanan.

            “Baiklah, Bik Anis pergi dulu!” seru Bik Anis dengan tersenyum sambil mengayuh sepedanya keluar gang. Fairus hanya mengembuskan nafas ketika Bik Anis meninggalkannya sendirian. Aku sekarang sendirian lagi, pikirnya. Padahal Fairus mengharapkan ada seseorang yang bisa diajaknya bicara soal kekuatannya. Soal keajaibannya. Tapi, yah sudahlah, tidak ada seorang pun juga yang mengenalnya, karena dia bukanlah tipe orang yang sosialis.

Dia beranjak dari tempat duduknya, dan berniat untuk berjalan-jalan sedikit untuk menjernihkan pikirannya yang sedang berada pada status kelabu itu.

            Dia sedang berpikir. Apa yang akan aku lakukan dengan kekuatan ini? Aku bahkan tidak tahu kegunaan kekuatan ini! Menumpas kejahatan? Apakah ada kejahatan di sekitar sini? Tidak ada! Lalu, kekuatan ini untuk apa? Membantu orang? Apakah ada orang yang perlu ditolong dengan kekuatan ini? Tidak ada! Kalau pun ketika mereka kutolong, mereka tidak akan mengucapkan kata terima kasih, tapi akan mengucapkan kalimat-kalimat yang sangat tidak ingin kudengar seperti, “Kau anak yang aneh!” “Monster!” “Menjauhlah semua, dia mutasi!” dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, aku sangat rentan antara “dikira monster” dengan “benar-benar monster”. Aku tak ingin mengambil risiko. Mungkin memang seharusnya aku menyembunyikan kekuatan ini. Aku akan menggunakannya jika aku terpaksa menggunakannya. Apalagi sesuai dengan kata pepatah, “Kekuatan atau jabatan yang besar memiliki tanggung jawab yang besar pula”. Mungkin itulah aku harus bijak-bijak untuk menggunakan kekuatan ini.

TelekinesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang