Narasi

83 4 0
                                    

Tengah malam merupakan waktu terfavorit bagiku, bagi rindu-rinduku untuk terus mengenangmu.

Seperti radio lama yang berulang-ulang kali memutar lagu kenangannya. Terus begitu, sembari menunggu matahari datang menyelimuti dingin dinding kamarku.

Ditemani gitar kesayangan, kubiarkan diriku larut dalam kesedihan yang menyenangkan.
Kubiarkan diriku menikmati segala perasaan tanpa perlawanan.

...

Separuh hatiku telah terpakai untuk mencoba berkali-kali mencintai orang lain.
Sekalipun mampu, sekalipun bibirku pernah tersenyum atas nama orang lain selain dirimu.
Tetap saja, hanya separuh sebab separuhnya telah karam memeluk erat namamu.

Bagai tinta permanen. Aku kehilangan cara untuk menghapus sisa rasa yang tak kunjung dapat terlepas.
Aku kehilangan akal untuk merebut kembali hatiku yang berhasil kau rampas.

.
.
.

Kisahku dalam ingatanmu memang tak begitu baik. Bagimu hanya kemarau panjang dan paceklik.
Karenanya, kian waktu berjalan. Aku juga akan berjalan bersama keikhlasan melepaskan. Bersama sesakit-sakitnya kehilangan. Bersama pahitnya kesendirian.

...

Dalam setiap narasi. Pintaku hanya bahagiamu. Bila tak kau temukan pada kisah yang lalu. Semoga dapat kau rangkai dengan baik bersama orang baru.
Sebab, inilah cara yang tersisa. Di antara ketidakmampuanku meraihmu. Inilah cara terbaik melepasmu.
Walaupun harus merelakan diriku membiru di antara kejamnya dunia yang terus memburu.

Padamu. Doaku tertuju.

[Agustus 2022]

Hujan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang