Semestamu, Bukan Lagi Milikku

44 1 0
                                    

Sampai saat ini, sampai detik aku menulis ini, aku masih sering berfikir jika pertanyaannya cuma kujawab dengan "iya" apa mungkin ia akan mengejarku?
Apa mungkin ia akan mengajakku duduk menikmati matcha yang katanya terlalu manis untuk disebut matcha?
Aku rasa kita sama-sama tidak akan tau jawabannya apa.

Empat taun, Tam...
Di taun kedua aku pikir itu adalah satu-satunya taun dimana aku harus kehilangan kamu. Tapi ternyata aku kehilangan kamu lagi di taun-taun berikutnya.
Atau mungkin aku bukan kehilangan kamu? tapi kamu memang nggak pernah sepenuhnya jadi punyaku.

Aku nggak tau, yang aku tau cuma aku capek. Dan bukan cuma aku, aku yakin kamu juga.
Capek karena beberapa hal ternyata nggak sesuai dengan perkiraan.
Capek karena apa yang kita mulai ternyata nggak semudah itu buat dijalanin.

.
.
.

Akhirnya...
Ia memilih untuk jalan sendirian dan pilihan itu ngebuat aku sadar kalo seharusnya aku nggak diem aja di sini, nungguin dia yang udah jelas-jelas nggak bakalan membalikkan badan dan pulang.

Langkahnya yang semakin jauh memaksaku untuk mengambil langkah pertamaku tanpanya.

Sekali lagi kupertegas bahwa "ia tidak akan pulang" karena pilihannya adalah berkenala. Dan konsekuensinya adalah ia harus meninggalkan rumah.

...

Kalau memang rasa sayang ini masih ada, aku pasti menyusulnya, aku pasti tidak akan membiarkannya berkelana lebih jauh lagi. Itu kenapa sampai saat ini menjadi beban karena aku tidak tau perasaanku yang sebenarnya bagaimana, karena berkelana bukanlah pilihan yang baik.

Dan jika ia memang menyayangiku, bukankah ia tidak akan pergi bahkan untuk beberapa kali?
Bukankah ia akan tetap di sini?
Melanjutkan cerita yang sebelumnya sudah aku mulai sendiri dan dengan kehadirannya, ia bisa menciptakan epilog indah di akhir cerita.

Tapi tidak, pilihannya tetap berkelana.

Ini bukan lagi tentang apa yang kamu mau dan apa yang aku inginkan, tapi ini tentang apa yang terbaik untuk dijadikan pilihan.
Dan perpisahan adalah jawaban. Bukan sekedar jawaban, tapi itu adalah keputusan.
Ucapan selamat tinggal jadi titik terang dan tawa terakhir kali itu membuatku sadar bahwa aku menyayanginya. Tapi ternyata sejak empat tahun terakhir aku berjalan bersama rasa ragu dan ia tidak pernah berhasil untuk meyakinkanku.

Maka... Sudah.

Aku tidak punya kendali lagi atas tokoh-tokoh yang akan menemanimu. Tapi aku tau bahwa semesta akan selalu jagain kamu.

Mungkin aku akan rindu kabar dan suaramu, Tam.
Tapi itu bukan masalah karena voice notemu akan selalu tersimpan rapi dalam memori ponselku.

Jadi, selamat tinggal.

Usaha-usaha yang aku lakukan buat bareng sama kamu, aku hentikan di sini.
Karena kita udah terlalu sering berusaha dan kegagalan selalu saja menjadi mimpi buruk dalam cerita ini. 

Kamu benar, Tam. Berkelana tidak akan membuat kita jauh, tapi yang jauh adalah keyakinanku terhadap langkahmu.

Tapi pada bab ini, doaku akan selalu bersama langkah yang kamu pilih.

Hujan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang