Raina : The First Month

105 17 3
                                    

     "Ibuu dirumah apa kabar? Sehat semua kan?" Gue dengan riang menyapa.

Pagi ini terasa unreal banget buat gue. Bangun dengan keadaan meluk Haikal di kosan. Dengan keadaan setengah sadar gue langsung menjauh dari dia. Sampai akhirnya gue sadar kalo cowok yang semalem nginep ini statusnya udah berubah, dari sahabat jadi pacar.

"Baik, kamu kapan pulang Teh? Ini adikmu kangen berat katanya."

"Mana coba ian nya, kangen tapi jarang chat Teteh. Sekalinya chat cuma minta uang jajan tambahan aja."

Ibu cuma bisa ketawa. Iya, gue ini adalah anak sulung dari dua bersaudara, yang paling kecil itu namanya Rian, cuma beda beberapa  taun sama gue. Jadi ya bisa akrab banget. Taun ini Rian lagi nyiapin diri buat ikut seleksi perguruan tinggi. Pada awalnya tuh dia udah meniatkan djri untuk nggak ikut ujian dan langsung daftar aja ke kampus gue. TENTU AJA niat yang seperti itu gue tolak.

Alesannya bukan karena biaya, kalo mengenai hal yang satu itu sih gue juga pasti bisa bantu, mengingat gaji kerja sampingan gue sebagai influencer itu tidak sedikit. Tapi karena otak Rian ini keturunan Ayah, encer banget. Sayangnya, kepintaran dia ini ketutup sama sifat malesnya.

"Dia ini lagi jadi anak gunung dulu. Biasalah anak itu kalau nggak ke gunung sebulan aja kayaknya langsung panas-dingin." Jawab Ibu diiringi dengan decakan kesal.

Gue mengerutkan dahi, khawatir juga habis ngedenger jawaban Ibu. Beberapa minggu ini cuaca lagi nggak nentu banget. Dan Rian malah milih buat mendaki gunung.

"Kok ibu izinin sih? Cuacanya belakangan ini lagi nggak enak banget Bu. Takutnya disana dia pas siang kepanasan banget, terus sore ke malem malah keujanan. Kalau sakit gimana?"

Ibu menanggapi kekhawatiran gue dengan tawa kecil, lalu lanjut mengucapkan kata-kata penenang--yang jujur saja tidak cukup membuat gue tenang. Dan obrolan hari itu berakhir karena ada tamu yang berkunjung.

Gue menghela napas lelah. Terhitung udah dua tahun semenjak Ayah pergi meninggalkan gue, Ibu, dan Rian. Kalau boleh jujur, it's tough. Gue yang waktu itu baru menginjak semester satu, waktu dimana harusnya gue ini haha-hihi baeeng temen kuliah tanpa mikirin kondisi finansial keluarga, tiba-tiba aja dihadapin sama kenyataan bahwa gue harus menjadi tulang punggung keluarga.

Nggak gue sangka bahwa hobi iseng sewaktu SMA akan sangat terpakai di kondisi waktu itu. Gue dan keluarga hidup dari uang hasil endorse. Segala endorse gue terima, dari baju, sepatu, tas, baju bayi, pokoknya segala. Kecuali hal-hal yang mengharuskan gue untuk mengekspos tubuh dan produk yang menipu. Sebenernya dulu gue mempertimbangkan untuk nerima endorse baju renang, cuma Haikal ngomong, "Rai, nggak usah deh lo terima produk-produk kaya begitu. Mending juga lo terima endorse baju bayi. Nanti gue bawain sodara gue yang umurnya masih 2 bulan buat jadi peraga bajunya dah. Tolak aja dah endorse bikini begituan. Lagian followers lo juga nggak akan tertarik liat bikini yang dipake orang tepos kek lo."

Bibir gue otomatis membentuk senyum waktu mengingat omongan Haikal. Dulu otak gue ini sumbunya pendek banget, nggak bisa mikir dengan logis. Gue milih buat nggak mencermati kalimat sebelumnya, dan fokus dengan dia yang ngatain kalau dada gue ini rata. Padahal yang sebenernya tuh kan Haikal juga khawatir ya kalau gue ekspos badan seksi gue begini.

Sebuah tangan tiba-tiba saja melingkar di pinggang, dan bahu gue terasa berat karena menopang kepala seseorang. Tanpa perlu berpikir keras, gue langsung tahu kalau ini Haikal.

"Good morning." Suara serak khas orang bangun tidur menyapa telinga gue. GEMES BANGET, jadi makin suka.

"Morning. Baru jam delapan, tumben banget?" Mata gue ngelirik jam weker yang ada di meja sebelah kasur.

"Kebangun gara-gara ada yang lagi teleponan tadi." Jawab Haikal.

Gue tertawa kecil. Tanpa membalikan badan, tangan kanan gue bergerak mengusap-usap rambut Haikal. "Tidur lagi sana."

GAUSAH HERAN dengan keadaan Haikal yang nginep di kosan gue. Ini bukan pertama kalinya. Dari jaman dulu juga anak satu ini demen banget nginep di kosan gue. Tapi yang membedakan adalah, kalau dulu nginep dengan alesan tugas. Kalau sekarang nginep dengan alesan mau ngapel.

Semalem kita berdua begadang, buat nontonin series kesukaan Haikal, Peaky Blinders. Gue tau Haikal udah seringg banget rewatch series ini, tapi karena gue pertama kali nonton, kita mulai dari season satu lagi and i love how Haikal diem terus nggak dikit-dikit spoiler tentang scene selanjutnya.

"Rai, temen gue bikin workshop buat kelarin project matkulnya gitu, dateng yuk?"

"Workshop apaan?" Tanya gue sambil scroll twitter, kaya ini tuh suatu kewajiban setelah gue bangun. Supaya nggak ketinggalan berita!

"Bikin bento cake, udah dapet lunch juga disana."

"Kapan deh ah itu?" Tanya gue semangat. Jujur, gue ini orangnya suka banget buat eksplor skill-skill baru.

"Sabtu besok." Sayang, pas denger jawaban Haikal semamgat gue langsung down. Sabtu besok itu gue udah ada rencana buat shoot vlog bareng Somi, si duta FEB yang mendadak pengen jadi youtuber dan untuk video pertama dia ngajak gue.

"Sabtu besok, gue harus shoot sama Somi. Sorry," Gue menengokkan kepala, kearah Haikal yang masih bersandar di bahu gue. Memasang muka semenyesal mungkin supaya dia tau kalau sebenernya gue tuh pengen ikut??? Tapi keburu ada janji lain.

"Yaudah, minggu aja deh kita jalan. Ke pasar malam mau?"

"MAU!"

Satu sifat Haikal yang gue suka dari awal jaman kita temenan sampai sekarang jadi HTS begini tuh, dia nggak pernah maksain kehendak dia. Haikal selalu ngertiin gue. Selalu, dan gue harap sifat dia ini nggak berubah.

Ya, nggak akan berubah kan?

rule of thumb

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

rule of thumb; haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang