⚠️WARNING⚠️ Cerita banyak mengandung adegan dewasa dan memiliki unsur kata² kasar di dalamnya🔞 dimohon untuk yang belum cukup umur 21++ untuk tidak membaca cerita ini....
"Ibu, aku tidak bisa menikah dengannya!" ia berseru. "Apakah ibu tidak meliha...
"Van, aku harus pergi sekarang." Laura menjelaskan lalu segera bangkit.
Pria itu juga berdiri, "Kenapa? Apakah karena Hyden?" ia bertanya dengan menahan tangan Laura.
"Ehm, aku..."
Van menyela, "Kau menumbuhkan perasaan untuknya?" tanyanya dengan mata menyipit.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tidak!" ia berseru. "Bagaimana kau bisa mengatakan itu?"
"Yah, terlihat dari sikapmu baru-baru ini." jawabnya yang masih memperhatikan Laura.
Ia menggelengkan kepalanya.
"Bukan seperti itu. Hanya saja... ini adalah kontrak seperti yang kau tahu dan aku harus menjaga bagianku sendiri dari kesepakatan itu." jelasnya dengan sedikit gugup.
Van menarik nafas dalam-dalam. "Aku mempercayaimu."
Laura mengangguk. "Aku harus pergi sekarang. Aku akan menghubungimu."
_____
Laura mengira Hyden akan meneriakinya, memarahinya atau bahkan mengabaikannya. Dan akan lebih baik jika pria itu melakukan salah satunya, itu lebih baik dari ini.
Laura ingat hari ketika insiden dengan Van terjadi. Ia tidak melihat Hyden di kantor sepanjang hari dan sekretarisnya yang menyebalkan itu mengatakan Hyden memiliki berbagai janji, dan Laura sempat memeriksanya sendiri jadwal untuk hari itu di meja saat Joy tidak ada di tempatnya.
Namun malam itu Hyden pulang ke rumah, dan Laura telah mempersiapkan dirinya untuk menerima omelan yang baik darinya atau bahkan penghinaan dari pria itu. Tetapi Laura tidak mendapatkan keduanya. Sebaliknya, pria itu bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Tentunya Hyden yang ia kenal tidak akan melupakan kejadian seperti yang terjadi pada sore hari itu.
Laura telah menunggunya untuk membahas masalah ini, tetapi pria itu tidak melakukannya. Dan sebaliknya, Hyden bersikap sopan dan sedikit menyendiri, seolah-olah ia tidak memberikan sepeser pun tentang apa yang terjadi, seolah-olah itu bukan tangan istrinya yang dipegang pria lain secara terbuka di restoran umum.
Bahkan seminggu kemudian, masalah itu masih belum dibahas dan Laura sangat ingin mereka membicarakannya, serta menjelaskan apa yang ia katakan saat malam sebelum kejadian.
Laura tidak tahu mengapa ia peduli tentang apa yang pria itu pikirkan tentangnya, tetapi Laura melakukannya. Ia bahkan tidak memiliki perasaan untuknya, tetapi wanita itu ingin mereka tetap damai dan setidaknya berteman dalam tiga tahun selama pernikahan mereka.
***
Bel pintu berbunyi dan Laura pergi untuk melihat siapa yang ada di balik pintu itu.
Matanya membelalak kaget ketika ia melihat seorang wanita berumur empat puluhan yang sedang tersenyum ke arahnya.